ASSALAMUALAIKUM

ASSALAMUALAIKUM

Senin, 28 November 2011

Kehormatanmu, Wahai Saudaraku.....(6)

Pengaruh syahwat terhadap manusia Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Bersabar menghadapi nafsu syahwat itu lebih mudah daripada bersabar menghadapi arah yang dituju oleh syahwat, karena syahwat akan menimbulkan rasa sakit dan siksaan. Bisa saja syahwat itu akan memutus kelezatan yang lebih sempurna. Bisa saja ia akan menyia-nyiakan waktu, yang itu merupakan kerugian dan penyesalan. Bisa saja ia akan merobek kehormatan, padahal dimanfaatkannya kehormatan itu untuk mengabdi kepada Allah Ta’ala akan lebih bermanfaat. Bisa saja ia akan menghilangkan harta benda, padahal tetap adanya harta benda itu lebih baik daripada hilang dan habisnya. Bisa saja ia akan menghilangkan kemuliaan dan kedudukan, padahal tetap adanya kemuliaan dan kedudukan itu lebih baik daripada hilangnya. Bisa saja ia akan merampas kenikmatan, padahal tetapnya kenikmatan tersebut lebih dirasakan nikmat dan lebih baik daripada menyalurkan nafsu syahwatnya. Bisa saja ia akan membukakan pintu bagimu kepada jalan yang belum pernah engkau dapatkan sebelumnya. Bisa saja ia akan menimbulkan kegelisahan, kedukaan, kesedihan, dan rasa takut yang tidak pernah mendekati kepada kenikmatan syahwat sedikit pun. Bisa saja ia akan melupakan ilmu, padahal mengingat ilmu lebih dirasakan nikmat daripada menyalurkan nafsu syahwatnya. Bisa saja ia akan menjadikan musuh meguasaimu dan menjadikan teman-temanmu dirundung kesedihan. Bisa saja ia akan memotong jalan yang menuju kepada kenikmatan dimasa mendatang. Bisa saja ia akan menimbulkan aib dan cela yang abadi dan tidak akan pernah bisa hilang. Oleh karena itu, sesungguhnya seluruh amal perbuatan akan mewariskan dan meninggalkan sifat-sifat serta akhlak tertentu.” (Lihat Fawa’idul Fawa’id karya Ibnul Qayyim) Wahai para ikhwan, setelah kita mengetahuinya apa saja yang dapat menjerumuskan kita ke dalam pebuatan keji seperti zina dan hal-hal yang merupakan bentuk tidak menjaga diri, maka terakhir hendaknya kita renungi percakapan yang sangat indah yang terjadi antara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan seorang pemuda. Lihatlah hasilnya! Diriwayatkan dari Abu Usamah radhiallahu ‘anhu bahwa ada seorang anak muda yang mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, berilah aku izin untuk berzina.” Maka manusia yang ada di situ mendatanginya lalu menghardiknya dan berkata, “Pergilah! Pergilah!” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mendekatlah kemari ….” Lalu anak muda itu pun mendekati Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu duduk. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah engkau senang jika ibumu dizinai?” Anak muda itu menjawab, “Demi Allah, aku tidak senang! Allah menjadikanku sebagai tebusanmu.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Begitu juga manusia tidak akan senang jika ibunya dizinai.” Beliau berkata, “Apakah engkau senang jika anak perempuanmu dizinai?” Anak muda itu menjawab, “Demi Allah, aku tidak senang! Allah menjadikanku sebagai tebusanmu.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Begitu juga manusia tidak senang jika anak perempuannya dizinai.” Beliau bertanya lagi, “Apakah engkau senang jika saudara perempuanmu dizinai?” Anak muda itu menjawab, “Demi Allah, aku tidak senang! Allah menjadikanku sebagai tebusanmu.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Begitu juga manusia tidak senang jika saudara perempuannya dizinai.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah engkau senang jika saudara perempuan ayahmu dizinai?” Anak itu menjawab, “Demi Allah, aku tidak senang! Allah menjadikanku sebagai tebusanmu.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Begitu juga manusia tidak senang jika saudara perempuan ayahnya dizinai.” Beliau bertanya lagi, “Apakah engkau senang jika saudara perempuan ibumu dizinai?” Anak muda itu menjawab, “Demi Allah, aku tidak senang! Allah menjadikanku sebagai tebusanmu.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Begitu juga manusia tidak senang jika saudara perempuan ibunya dizinai.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan tangan beliau dikepala anak muda itu dan berdoa “Ya Allah, ampunilah dosa-dosanya, bersihkanlah hatinya, dan jagalah kemaluannya.” Maka setelah itu, anak muda tersebut tidak pernah sedikit pun menoleh kepada perbuatan zina. (H.r. Ahmad; lihat As-Silsilah Ash-Shahihah, jilid 1, hlm. 370) Terdapat sebuah hadits yang seharusnya memotivasi kita agar jangan sampai menjadi orang yang tidak dinaungi oleh Allah Ta’ala kala tidak ada naungan selain dari Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tujuh golongan yang akan dinaungi Allah pada hari yang tiada naungan selain-Nya: (1) Seorang penguasa yang adil. (2) Seorang pemuda yang menghabiskan masa mudanya dengan beribadah kepada Rabbnya. (3). Seorang yang hatinya selalu terkait dengan masjid. (4) Dua orang yang saling mencintai karena Allah berkumpul karena Allah dan berpisah karena Allah. (5) Laki-laki yang diajak oleh seorang wanita yang tepandang dan cantik untuk berzina, lantas ia berkata, ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allah.’ (6) Seseorang yang menyembunyikan sedekahnya hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya. (7) Seorang yang berzikir kepada Allah dengan menepi seorang diri hingga bercucuran air matanya.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, II:143; Fathul Bari; lafal ini adalah lafalnya; Muslim, VII:121–123; An-Nawawi; dari hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu) Wahai para lelaki muslim, kunasihati diriku dan dirimu yang belum menikah agat terus berusaha menjaga diri hingga yang halal menjadi milik kita. Kepada para lelaki muslim yang telah menikah, hendaknya memiliki ghirah (rasa cemburu) terhadap istri mereka. Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Jagalah diri kalian Maka wanita kalian akan terjaga harga dirinya Dalam perkara yang diharamkan Jauhilah perkara yang tidak layak bagi seorang muslim Karena zina adalah utang Yang engkau pinjam Sedang pelunasannya diketahui oleh keluargamu Siapa saja yang berzina Ia akan diukur dengannya Meskipun hanya dengan tembok rumahnya Jika engkau berakal maka pahamilah ini.” Wallahu a’lam. Semoga risalah ini dapat bermanfaat bagi saya khususnya dan bagi kaum muslimin. Semua manfaat datangnya dari Allah Ta’ala dan kesalahan datangnya dari diri saya dan tipu daya setan. Subhanakallahumma wabihamdika, asyhadu an-la ilaha illa anta astaghfiruka wa atubu ilaik. Diselesaikan oleh Penulis di Semarang pada 22 April 2010. Hamba yang selalu menginginkan ampunan dan penjagaan dari Rabbnya. Penulis: Ummu Khaulah Ayu. Muraja’ah: Ustadz Aris Munandar, S.S., M.A. Artikel www.muslimah.or.id

Kehormatanmu , Wahai Saudaraku ...(5)..

Ketujuh: Majalah porno dan kisah-kisah murahan Berbagai bentuk majalah yang mengumbar nafsu, kisah-kisah yang penuh senda gurau, film-film murahan, serta cerita-cerita yang merusak akhlak sangat berperan dalam membangkitkan dan menyebarkan perbuatan zina dan keji. Apa bedanya memandang seorang wanita di majalah-majalah dengan di dunia nyata? Mungkin ada yang mengatakan, “Sudah tentu berbeda karena di dunia nyata objeknya nyata, sedangkan jika melihat di majalah, objeknya tidak nyata.” Mungkin memang benar perkataan itu, namun tidakkah kita tahu bahwasannya hanya dengan melihat gambar-gambar yang tidak senonoh, nafsu para lelaki dapat dibangkitkan dengan mudah? Untuk apa kita melihat gambar-gambar yang ada di majalah membuat pikiran tidak karuan? Allahu a’lam. Majalah-majalah yang berisi aneka bentuk dan tampilan bertujuan mengajak kepada perbuatan fasik dan dosa yang membangkitkan hawa nafsu serta melanggar larangan Allah Ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara tampilan murahan tersebut adalah: Gambar-gambar penuh godaan yang dimuat di sampul-sampul majalah. Begitu juga isinya. Foto para wanita yang mengenakan dengan berbagai perhiasan yang memenuhi tubuhnya, padahal foto-foto itu hanya memuat penipuan belaka. Perkataan-perkataan jorok serta ungkapan dan kalimat yang tersusun memikat, namun jauh dari sifat malu dan kemuliaan. Wallahu a’lam. Kisah-kisah percintaan serta berita-berita seputar selebriti (para artis), penyanyi, dan penari dari kalangan orang-orang fasik, baik dari kaum Adam maupun Hawa. Isi majalah-majalah tersebut jelas-jelas mengajak kepada perbuatan tabarruj (bersolek) di hadapan lelaki yang bukan mahram, ikhtilath (campur baur) antara lelaki dan wanita yang bukan mahram, serta tindakan mencabik-cabik hijab muslimah. Tak lupa pula, pameran busana yang mewah namun telanjang ditujukan kepada para wanita mukminah untuk menjerumuskan mereka dalam budaya telanjang dan tasyabbuh (meniru) para wanita “nakal”. Na’udzubillah min dzalik. Diekspos pula tentang gaya pelukan, ciuman, antara lelaki dengan wanita. Termasuk juga dimuatnya berbagai macam cerita dan perkataan-perkataan menggebu-gebu yang membangkitkan nafsu para pemuda dan pemudi, sehingga cerita tersebut akan mendorong mereka untuk mengikuti jalan hidup yang menyesatkan dan menyimpang. Akhirnya, mereka akan terjerumus dalam perbuatan zina (keji), dosa, dan percintaan yang diharamkan. Kedelapan: Penyimpangan penggunaan alat telekomunikasi (telepon atau HP) Tidaklah menjadi rahasia lagi bagi setiap muslim bahwa segala kenikmatan –yang dilimpahkan Allah Ta’ala kepada kita– tidak terhitung jumlahnya. Di antara nikmat-nikmat tersebut adalah ketersediaan alat komunikasi. Allah Ta’ala yang memudahkannya untuk kita, dengan segala kemurahan dan kemuliaan-Nya. Seorang muslim yang cerdas tidak akan salah menyikapi nikmat-nikmat yang telah Allah berikan. Allah Maha Mengetahui, siapa saja hamba yang bersyukur di antara sekian banyak hamba yang kufur (ingkar). Hendaknya kita tergolong orang yang pandai bersyukur atas nikmat-nikmat tersebut. Allah Ta’ala berfirman, وَاشْكُرُواْ نِعْمَتَ اللّهِ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ “Dan syukurilah nikmat Allah, jika hanya kepada-Nya kamu menyembah.” (Q.s. An-Nahl: 114) لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu. Dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku) maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Q.s. Ibrahim: 7) وَمَا بِكُم مِّن نِّعْمَةٍ فَمِنَ اللّهِ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْأَرُونَ “Dan apa saja nikmat yang ada padamu, maka dari Allah-lah (datangnya). Dan bila kamu ditimpa oleh kemudaratan maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan.” (Qs. An-Nahl : 53) Akan tetapi, jika kita tidak menggunakan nikmat tersebut secara benar atau bahkan memberikan koneksi kepada orang asing tanpa ada pengawasan, berubahlah nikmat alat-alat komunikasi tersebut menjadi hal-hal yang membinasakan dan menghancurkan harga diri dan kemuliaan seseorang. Padahal Allah Ta’ala berfirman, ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ “Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia).” (Q.s. At-Takatsur: 8) Mungkin pada mulanya, sekadar perbuatan iseng yang tidak berguna. Namun ternyata, berakhir dengan kerugian dan kedustaan. Bisa juga berawal dari salah sambung. Mulanya dari sebuah panggilan salah sambung atau SMS salah kirim, akhirnya berlanjut ke pembicaraan yang mengarah kepada perkenalan, atau bahkan menuju kemaksiatan! Saya akan berikan contoh nyata dalam kehidupan kita sekarang ini, yaitu masih adanya fenomena lelaki muslim dan wanita muslimah yang bukan mahram melakukan SMS-an, dengan dalih untuk berdakwah atau menyambung silaturahim. Wahai jiwa-jiwa yang lalai, pahamilah arti dari masing-masing dalih itu. Jika suatu cara dilakukan dengan tujuan baik, namun cara itu harus melanggar syariat Allah Ta’ala, apakah cara itu masih bisa dikatakan baik? Apakah para lelaki muslim yang tidak pandai menjaga dirinya itu tidak berpikir bahwa SMS yang dia kirimkan –walau hanya sekadar ucapan salam atau kiriman hadits-hadits yang berisikan hikmah yang baik– tidak dapat menimbulkan fitnah (godaan) terhadap para wanita yang bukan mahram mereka? Bisakah mereka menjamin tidak akan muncul fitnah (godaan)? Telah saya jelaskan di awal tulisan ini bahwa wanita itu dapat terfitnah juga dengan sesuatu yang ada dalam diri seorang lelaki muslim (baca: ikhwan), baik itu berupa perhatian, kebaikan, kelembutan, dan ungkapan-ungkapan manis terhadapnya. Ini perlu menjadi perhatian para ikhwan agar mereka semua berusaha tidak melakukan pelanggaran dalam penggunaan alat telekomunikasi, khususnya HP (handphone). Bagaimana bisa seseorang yang mengaku paham ilmu agama tidak mengetahui faktor-faktor fitnah (godaan)? Kita berusaha berpikir positif bahwa mungkin saja dia terlupa akan ilmu yang selama ini dipelajari, mungkin ia sedang khilaf, atau bisa juga karena tidak ada teman yang menasihati dan mengingatkannya. Bukan ingin menyalahkan seorang laki-laki dalam penggunaan alat telekomunikasi ini, melainkan hendaknya ikhwan dan akhwat berusaha membuat batas-batas dalam komunikasi yang terjadi antara mereka. Saya berikan sedikit penjelasan agar para ikhwan dapat memahaminya dengan baik, insya Allah. Misalnya, jika ada seorang akhwat yang mengirimkan SMS ke nomor HP si ikhwan, hendaknya dia benar-benar selektif dalam membalasnya. Mengapa demikian? Karena bisa saja wanita ini hanya ingin mengetes ikhwan tersebut, hanya ingin mencari perhatian, atau hanya mengisi waktu luang dengan mengirim SMS kepada lelaki yang bukan mahramnya. Jika memang harus berkomunikasi dengan wanita yang bukan mahram kita, gunakanlah kata-kata yang nadanya datar, maksudnya tidak bertele-tele atau mendayu-dayu layaknya sedang merayu istri, atau dengan basa-basi yang tidak ditahui ujungnya membicarakan apa. Selesai keperluan, tidak perlu harus bertanya hal-hal yang bukan haknya untuk diketahui. Contohnya: Ikhwan: Assalamu ’alaykum, Ukhtiy. Maaf, kitab berjudul A karya siapa? Akhwat: Wa’alaykumus salaam wa rahmatullahi wa barakatuh. Karya B. Selesai urusannya. Tidak perlu harus bertanya yang tidak ada manfaatnya. Contohnya : Ikhwan : Jazaakillahu khoyran ya, Ukhtiy. Waktu itu belinya di mana? Dengan siapa? Oiya, anti sudah baca? Kalau sudah, bagus tidak? Kapan-kapan, saya boleh pinjam ya, Ukhtiy? Apa anti sekarang lagi membacanya ya? Semangat ya, Ukhtiy! Mungkin juga dapat berupa pertanyaan yang jauh lebih aneh dan memalukan. Contohnya: Ikhwan: Assalamu ’alaykum, Ukhtiy. Apa info kajian hari ini telah dikirim? Akhwat: Wa’alaykumus salaam wa rahmatullahi wa barakatuh. Sudah. Ikhwan: Jazaakillahu khoyran ya, Ukhtiy. Nanti berangkat atau tidak? Sama siapa berangkatnya? Jangan lupa membawa buku catatan ya, Ukhtiy…! Subhanallah …. Wahai para lelaki muslim, sungguh semua ini pertanda seorang laki-laki tidak pandai menjaga dirinya. Mengapa? Bisa saja, bermula dari percakapan yang ringan dan sederhana, hingga percakapan yang semakin lama semakin tidak ada faedahnya. Haruskah pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya tidak ditujukan pada orang yang bukan mahram kita keluar dari lisan kita? Ataukah rasa takut akan munculnya fitnah (godaan) telah hilang dari jiwa ini? Sekali saja seorang laki-laki membuka kesempatan kepada seorang wanita untuk melakukan percapakan yang tidak penting, maka wanita tersebut akan berusaha membuka percakapan-percakapan selanjutnya yang jauh lebih tidak penting lagi. Ini telah terjadi di zaman sekarang. Mungkin bisa saja kita menghapus pesan-pesan yang ada di dalam HP kita, atau dengan mengganti nama lelaki menjadi nama wanita di dalam phonebook HP kita, atau sebaliknya. Wahai para lelaki, bersikap jujurlah dan jangan hancurkan diri dengan kedustaan. “Sesungguhnya kejujuran adalah sebuah kebajikan, sedangkan kebajikan akan menuntun seseorang menuju surga. Sesungguhnya seorang hamba bermaksud untuk jujur sampai ia tercatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Sesungguhnya kedustaan merupakan sebuah kekejian, sedangkan kekejian akan menuntun seseorang menuju neraka. Sesungguhnya seorang hamba bermaksud untuk berdusta hingga ia tercatat di sisi Allah sebagai seorang pendusta.” (H.r. Muslim, no. 4720) Dalam memberikan nomor HP pun sebaiknya harus selektif agar kita tidak terganggu oleh orang-orang yang kurang kadar tauhidnya kepada Allah. Mungkin ada orang yang akan menjawab “Kalo gitu, kita enggak usah beli pulsa, biar enggak bisa SMS-an. Kalo gitu, kembali aja ke zaman dulu, biar enggak perlu pakai HP.” Mungkin juga ada yang berucap, “Salah siapa SMS ke nomor HP saya!” Mungkin juga ada jawaban seperti ini, “Baiklah, kalo gitu, saya enggak perlu beli HP, biar enggak bisa komunikasi dengan lawan jenis!” Demi Allah, bukan itu semua yang dimaksud. Pesan yang ingin disampaikan melalui nasihat ini hanyalah agar hendaknya setiap muslim dan muslimah membuat batas-batas dan aturan-aturan dalam menggunakan HP serta mengamalkan ilmu agama yang telah dipelajari dan dipahami. Sungguh bijak petuah Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, “Inti ilmu adalah rasa takut kepada Allah Ta’ala.” Kesembilan: Internet dan penggunaannya yang buruk dan menyimpang Internet bisa bermanfaat, sekaligus bisa mendatangkan musibah dan bahaya. Faedahnya sangat banyak dan tak terhitung jumlahnya. Bahayanya juga sangat banyak dan tidak terhitung lagi. Ini adalah perkara yang nyata dan tidak diragukan lagi! Sedang kenyataan yang ada menjadi bukti atas kebaikan dan keburukan internet. Kemudahan dalam mengoperasikan, menggunakannya, dan menikmati segala fungsinya membuat internet menjadi pisau bermata dua. Pada penyebab kesepuluh ini, saya tidak akan banyak menjelaskan hingga detail karena jika kita memahami perkataan Ibnu Mas’ud bahwa inti ilmu adalah rasa takut kepada Allah, maka insya Allah kita dapat mengamalkan perintah-perintah Allah Ta’ala dalam penggunaan internet. Pada zaman sekarang ini, teknologi sudah semakin canggih sehingga jika kita mau bermaksiat, itu bukanlah hal yang sulit. Kendati demikian, hendaknya kita membaca dan memahami firman Allah Ta’ala, فَإِنَّهُ يَعْلَمُ السِّرَّ وَأَخْفَى “Dia mengetahui perkara rahasia dan perkara yang lebih tersembunyi lagi.” (Q.s. Thaha: 7) فَيُنَبِّئُهُم بِمَا عَمِلُوا أَحْصَاهُ اللَّهُ وَنَسُوهُ “Allah mengumpulkan (mencatat) amal perbuatan itu, padahal mereka telah melupakannya.” (Q.s. Al-Mujadalah: 6) يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ “Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan segala hal yang disembunyikan oleh hati.” (Q.s. Ghafir: 19) إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولـئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً “Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban.” (Q.s. Al-Isra’: 36) Apalagi dengan adanya situs jejaring facebook (FB). Tentu sudah tidak asing lagi namanya bagi kita. Telah ada artikel yang menasehatkan tentang bahayanya jika kita melakukan “add” atau “confirm” terhadap lawan jenis atau artikel tentang cara ber-FB agar kita tidak terjerumus dalam kemaksiatan. Akan tetapi, hanya sebagian orang yang mengambil hikmahnya. Renungkanlah …. Bukan berarti jika kita tidak melakukan “add” atau “confirm” terhadap lawan jenis lantas kita telah aman dari fitnah (godaan). Kembali ingatlah perkataan Ibnu Mas’ud, bahwa inti ilmu adalah rasa takut kepada Allah Ta’ala. Sebaiknya kita pun cerdas dalam menilai suatu pesan itu penting atau tidak jika kita kirimkan untuk lawan jenis. Bisa saja tidak terlalu penting, namun dibuat agar terkesan penting. Bisa jadi pula, pertanyaan yang diajukan tidak terlalu bermanfaat, namun dibuat-buat agar terlihat bermanfaat. Semua fenomena ini bisa saja terjadi pada ikhwan maupun akhwat. Masalah ini hendaknya jangan diremehkan. Jangan sampai kita tenggelam dalam dosa hanya gara-gara penggunaan FB yang melampaui batas. Cermatilah sebuah syair dari Ibnu Mu’taz berikut ini. “Tinggalkan dosa-dosa, baik yang kecil maupun yang besar Itulah takwa Bersikaplah seperti orang yang berjalan di atas tanah berduri Ia akan berhati-hati kepada perkara yang dilihatnya Janganlah kau remehkan sesuatu yang kecil Karena gunung itu berasal dari kerikil-kerikil kecil.” (Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, I:402) Mungkin kita pernah mendengar sebagian orang menjawab seperti ini jika menjumpai pembahasan “add” atau “confirm“ terhadap orang yang bukan mahramnya, “Cuma seperti itu saja diributkan. Yang penting ‘kan niatnya baik. Tujuannya ‘kan baik, yaitu untuk berdakwah. Jadi, kalau ada FB ikhwan atau akhwat di FB kita, ya tidak apa-apa lah! Jangan dibuat ribet!” Mari kita tanyakan kepada hati kita yang paling dalam, apakah kita bisa menjamin keadaan hati kita dari adanya fitnah (godaan)? Apakah kita sudah mampu mendirikan benteng kokoh agar tidak ada fitnah yang datang menggerogoti kehidupan kita? Ataukah kita telah memiliki kemampuan untuk menerka waktu akan datangnya fitnah (godaan) ke dalam hari-hari kita? Sementara, hati kita ini diciptakan dalam keadaan lemah …. Allah Ta’ala berfirman, وَخُلِقَ الإِنسَانُ ضَعِيفاً “Manusia itu diciptakan dalam keadaan lemah.” (Q.s. An-Nisa’: 28) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Segeralah beramal sebelum datangnya fitnah. Fitnah yang bagaikan potongan gelapnya malam; seseorang yang beriman di pagi hari kemudian menjadi kafir di sore hari, atau seorang yang beriman di sore hari kemudian menjadi kafir di pagi harinya. Dia menukar agamanya dengan sebagian perhiasan dunia.” (H.r. Muslim, no. 328) Ingatlah, hati kita ini terletak di antara dua jari-jemari Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa, “Ya Allah, Dzat yang Maha membolak-balikkan hati, tetapkanlah hati kami di atas agama-Mu.” Kemudian ada yang bertanya tentang doa tersebut. Lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya, tidaklah anak Adam melainkan hatinya berada di antara dua jari dari jemari-jemari Allah. Siapa saja yang dikehendaki maka Allah akan luruskan dia, dan siapa yang dikehendaki maka Allah akan simpangkan dia.” (H.r. Tirmidzi, no. 3517; Syekh Al-Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih) Mungkin juga, kita meremehkan dosa-dosa kecil dengan melakukan “add” atau “confirm”, hingga akhirnya kita bermudah-mudahan dalam berinteraksi dengan lawan jenis yang bukan mahram kita, lalu penghujungnya adalah datangnya badai musibah dalam kehidupan kita. وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَن كَثِيرٍ “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (Q.s. Asy-Syura`: 30) Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Tidaklah musibah tersebut turun melainkan karena dosa. Oleh karena itu, tidaklah bisa musibah tersebut hilang melainkan dengan taubat.” (Al-Jawabul Kafi, hlm. 87) Perkataan Ali radhiallahu ‘anhu tersebut selaras dengan firman Allah Ta’ala, وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَن كَثِيرٍ “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (Q.s. Asy-Syura`: 30) Para ulama salaf pun mengatakan yang serupa dengan perkataan di atas. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah mengatakan, “Di antara akibat dari perbuatan dosa adalah hilangnya nikmat, dan akibat dosa adalah datangnya bencana (musibah). Oleh karena itu, hilangnya suatu nikmat dari seorang hamba adalah karena dosa. Begitu pula, datangnya berbagai musibah juga disebabkan oleh dosa.” (Al-Jawabul Kafi, hlm. 87) Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah mengatakan, “Tidaklah suatu kejelekan (kerusakan) disandarkan pada sebuah hal melainkan pada disandarkan pada dosa karena semua musibah disebabkan oleh dosa.” (Latha’if Al-Ma’arif, hlm. 75) Wahai para lelaki muslim, pahami dan renungilah perkataan-perkataan berikut ini! Umar bin Abdul Aziz mewanti-wanti penasihatnya, Maimun bin Mahran, agar tidak berdua-duaan dengan wanita meskipun dengan alasan mengajarkan Alquran, “Aku memberi wasiat kepadamu dengan wasiat yang harus kau jaga. Janganlah engkau berdua-duaan dengan wanita yang bukan mahrammu, walau batinmu berkata bahwa kau akan mengajarinya Alquran.” (Lihat kitab Hilyatul Auliya’ wa Thabaqatul Ashfiya’, V:272) Hendaknya, kita pun memegang erat-erat wasiat Umar bin Abdul Aziz tersebut. Jangan merasa diri kita aman dari fitnah (godaan). Oleh karena itu, semoga Allah merahmatimu …. Berhati-hatilah dalam menghadapi faktor-faktor bencana. Orang yang mendekati fitnah akan sulit selamat darinya. Sebagaimana kehati-hatian diiringi oleh keselamatan, tindakan mendekati fitnah itu akan diiringi oleh kebinasaan. Jarang ada orang yang selamat dari fitnah setelah dia mencoba mendekatinya. Yaitu, ia tidak terbebas dari memikirkan, membayangkan, dan menginginkannya. Semua ini menggelincirkan. (Dzammul Hawa’, hlm.153) Melanjutkan perkataan di atas, Ibnul Jauzi menguraikan nasihat, “Seandainya berduaan dengan wanita ajnabiyyah (bukan mahram) diperbolehkan, kamu tetap tidak dapat selamat dari penyakit-penyakit ini. Terlebih lagi, ternyata itu diharamkan.” (Dzammul Hawa’, hlm.153) Terdapat sebuah nasehat dari seorang sahabat wanita muslimah di seberang sana, ketika saya bertanya padanya apakah dia melakukan “add” atau “confirm” pada lelaki yang bukan mahram. Jawabannya sederhana dan membuat saya kagum. Ketika itu saya bertanya, “Maaf, Ukhti. Apakah anti melakukan ‘add‘ atau ‘confirm‘ kepada yang bukan mahram?” Beliau menjawab, “Tidak, Ukhti. Di facebook saya hanya ada mahram saya, sehingga hanya ada 35 orang yang memang jelas mahram saya.” Kemudian beliau pun berkata kepada saya “Wahai saudariku, kapan kita akan menaati perintah Allah Ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertakwa kepada Allah Ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika bukan sekarang!!” Padahal tidak pernah sedikit pun kita mengetahui arah kedatangan maut. Memiliki facebook bukan untuk bermaksiat, namun seharusnya setiap kaum muslimin semakin hati-hati dalam menggunakan kenikmatan tersebut agar tidak terjerumus ke dalam lubang hitam kemaksiatan. Begitulah jawabannya. Padahal beliau telah menikah dan memiliki tiga orang anak. Lantas, bagaimana kita yang belum menikah? Apakah kita telah merasa aman dari fitnah? Tentu saja, ini berlaku bagi para lelaki muslim maupun wanita muslimah. Allah berfirman, وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ “… Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.s. Al-Baqarah: 231) وَاتَّقُواْ يَوْماً تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللّهِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَّا كَسَبَتْ وَهُمْ لاَ يُظْلَمُونَ “Dan peliharalah dirimu (dari azab yang terjadi) pada hari (ketika) kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian setiap orang diberi balasan sempurna sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukannya, dan mereka tidak dizalimi (dirugikan).” (Q.s. Al-Baqarah: 281) Kesepuluh: Racun yang mematikan yaitu pandangan yang diharamkan Tahukah engkau apa itu “mata yang berkhianat”? Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Al-Mu’min, ayat 19. يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ “Dia mengetahui (pandangan) mata yang berkhianat ….” Apa yang dimaksud dengan “mata yang berkhianat” itu? Sebaik-baik penafsiran adalah tafsir para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, mari kita merujuk kepada penafsiran seorang Turjumanul Qur’an (Penerjemah Alquran), Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu; beliau berkata, “Seseorang berada di tengah banyak orang lalu seorang wanita melintasi mereka. Maka, ia memperlihatkan kepada kawan-kawannya bahwa ia menahan pandangannya dari wanita tersebut. Jika ia melihat mereka lengah, ia pandangi wanita tersebut. Jika ia khawatir kawan-kawannya memergokinya, ia menahan pandangannya. Padahal, Allah ‘Azza wa Jalla mengetahui isi hatinya bahwa ia ingin melihat aurat wanita tersebut .” Ketahuilah … Sedikitnya rasa malumu terhadap siapa yang berada di sebelah kanan dan sebelah kirimu –saat kamu melakukan dosa– itu lebih besar daripada dosa itu sendiri! Dan tertawamu saat kamu tidak tahu apa yang akan Allah perbuat terhadapmu, itu lebih besar dari pada dosa itu sendiri! Dan kegembiraanmu dengan dosa ketika kamu melakukannya, itu lebih besar daripada dosa itu sendiri! Perhatikanlah wasiat salaf berikut ini, “Penglihatanmu tidak lain adalah nikmat dari Allah. Janganlah mendurhakai-Nya dengan menggunakan nikmat-Nya. Perlakukanlah penglihatan tersebut dengan menahannya dari perkara yang haram, niscaya kamu akan beruntung. Jangan sampai engkau mendapat hukuman berupa hilangnya kenikmatan itu. Waktu berjihad untuk menahan pandangan itu sejenak. Jika kau melakukannya, kau ‘kan dapatkan kebaikan yang banyak dan selamat dari keburukan yang panjang.” Perhatikan pula untaian kata mutiara yang dikutip Ibnul Jauzi, “Seorang pemberani bukanlah orang yang melindungi tunggangannya pada saat berada di medan laga dan ketika api peperangan tengah berkecamuk. Akan tetapi, pemuda yang menahan padangannya dari yang haram, itulah Sang Ksatria!” (Dzammul Hawa, hlm. 143–181) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pandangan merupakan anak panah beracun dari anak-anak panah Iblis. Maka, barang siapa yang menahan pandangannya karena Allah dari kecantikan seorang wanita, niscaya Allah akan mewariskan rasa manis dalam hatinya sampai hari pertemuan dengan-Nya.” Demikianlah makna hadits tersebut. (Lafal hadits yang disebutkan tercantum dalam kitab Ad-Da’ wa Dawa’ karya Ibnul Qayyim tersebut diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (IV:313), Al-Qudha’i dalam Musnad Asy-Syihah (no. 292), dan Ibnul Jauzi dalam Dzammul Hawa (hlm. 139) dari jalur Hudzaifah) Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Tundukkanlah pandangan kalian dan peliharalah kemaluan kalian.” (H.r. Ahmad, V:323; Al-Hakim, IV:358; Ibnu Hibban, no. 2547, Ibnu Abi Dun-ya dalam Ash-Shamt, no. 446; Al-Kharaithi dalam Makarimul Akhlaq, hlm. 31; Al-Baihaqi, VI:288; diriwayatkan dari ‘Ubadah. Al-Haitsami dalam Al-Majma’, IV:145; dan Al-Mundziri dalam At-Targhib, III:64, menyatakan bahwa hadits tersebut mempunyai cacat, berupa keterputusan sanad antara Al-Muththalib bin ‘Abdullah dan ‘Ubadah. Namun, hadits tersebut mempunyai penguat yang diriwayatkan oleh Al-Hakim, IV:359; Abu Ya’la, no. 4257; dan Al-Kharaithi, hlm. 30; dari Anas, dengan sanad hasan, insya Allah) Ada seorang yang berkata, “Setiap bencana berawal dari pandangan mata, sebagaimana api yang besar berasal dari percikan bara. Betapa banyak pandangan sanggup menembus relung hati pemiliknya, seperti kekuatan anak panah yang lepas dari busur dan talinya! Seorang hamba, selama mengumbar pandangannya untuk memandang selainnya, maka dia berada dalam bahaya. Ia menyenangkan mata dengan sesuatu yang membahayakan hatinya, maka janganlah menyambut kesenangan yang akan membawa bencana. Di antara bencana yang ditimbulkan adalah warisan penyesalan, kehadiran malapetaka, dan kobaran nafsu. Tatkala seorang hamba melihat suatu perkara yang tidak mampu diraihnya, juga tidak mampu bersabar atasnya, sesungguhnya hal ini merupakan salah satu bentuk siksaan yang paling pedih. Yaitu, (penderitaan yang menerpa) manakala kamu melihat perkara yang kamu tidak mampu bersabar atas perkara tersebut, tidak juga atas sebagiaannya, bahkan kamu tidak mempunyai kemampuan sama sekali untuk meraihnya.” (Dinukil dari kitab Ad-Da’ wa Dawa’, hlm. 351–352) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kamu mengikutkan sebuah pandangan dengan pandangan berikutnya sebab hanya pandangan pertama yang dibolehkan bagimu, tidak untuk pandangan setelahnya.” (H.r. Abu Daud, no. 2149; At-Tirmidzi, no. 2777; Ahmad, V:353 dan 357; Al-Baihaqi, VII:90) Kesebelas: Teman yang buruk “Seseorang itu tergantung kepada agama teman dekatnya, maka hendaklah salah seorang di antara kalian melihat siapa yang dijadikan teman karibnya.” (Hadits hasan; riwayat Tirmidzi, no. 2387; Ahmad, no. 8212; Abu Daud, no. 4833) “Sesungguhnya perumpamaan teman yang shalih dengan teman yang buruk adalah seperti penjual minyak wangi dan pandai besi. Seorang penjual minyak wangi bisa memberimu atau kamu membeli darinya, atau kamu bisa mendapatkan wanginya. Seorang pandai besi bisa membuat pakaianmu terbakar, atau kamu mendapat baunya yang tidak sedap.” (Hadits shahih, riwayat Bukhari, no. 5534; Muslim, no. 2638; Ahmad, no. 19163) Dari Musayyab bin Hazn radhiallahu ‘anhu; ia berkata, “Menjelang kematian Abu Thalib, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang menemuinya. Ternyata di sana sudah ada Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umayyah bin Mughirah. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Wahai pamanku, ucapkanlah ‘la ilaha illallah’, ucapan yang dapat kujadikan saksi terhadapmu di sisi Allah.’ Namun, Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umayyah berkata, ‘Wahai Abu Thalib, apakah engkau membenci agama Abdul Muthalib?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terus-menerus menawarkan kalimat tersebut dan mengulang-ulang ucapan itu kepada Abu Thalib, sampai ia mengatakan ucapan terakhir kepada mereka bahwa ia tetap pada agama Abdul Muthalib dan tidak mau mengucapkan ‘la ilaha illallah’. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Sungguh, demi Allah, aku pasti akan memintakan ampunan untukmu, selama aku tidak dilarang melakukan hal itu untukmu. Kemudian Allah Ta’ala menurunkan firman-Nya (yang artinya), ‘Nabi dan orang-orang beriman tidak pantas memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat mereka, sesudah jelas bagi mereka bahwasanya orang-orang musyrik itu penghuni neraka jahim.’ Mengenai Abu Thalib, Allah Ta’ala menurunkan firman-Nya (yang artinya), ‘Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.’” (H.r. Al-Bukhari, no. 4675 dan 4772) Kebutuhan manusia akan lingkungan yang baik laksana kebutuhan tanaman akan tanah yang subur. Manakala tanah itu bagus, cukup kandungan unsur haranya, suhunya cocok, dan airnya cukup, maka tanaman tersebut akan bersemi, tumbuh berkembang, dan berbuah sesuai dengan harapan. Namun, manakala tanah tersebut kering dan tandus, suhunya tidak cocok, dan airnya tidak cukup, maka tanaman tersebut tidak akan berkembang dengan baik dan sangat mungkin tanaman tersebut akan sakit atau bahkan mati. Sebagaimana tanaman yang harus ditempatkan dalam tanah yang baik, dalam hubungan pertemanan pun, hendaklah kita mencari teman yang shalih yang dapat mendukung kita untuk selalu istiqamah dalam kebaikan dan ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Dengan adanya teman-teman yang “bergizi” baik, keimanan kita akan tetap terjaga. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُم بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَن ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطاً “Dan sabarkanlah dirimu beserta orang-orang yang menyeru Rabbnya di waktu pagi dan petang dengan mengharap keridhaan-Nya, dan janganlah kamu palingkan wajahmu dari mereka hanya karena kamu menghendaki perhiasan dunia, dan janganlah kamu ikuti orang-orang yang telah Kami lalaikan hatinya dari mengingat Kami, dan menuruti hawa nafsunya, dan adalah keadaannya sangat melewati batas.” (Q.s. Al-Kahfi: 28) Bersambung, insya Allah …. Penulis: Ummu Khaulah Ayu. Muraja’ah: Ustadz Aris Munandar, S.S., M.A. Artikel www.muslimah.or.id

Kehormatanmu, Wahai Saudaraku.....(4)

Keempat: Ikhtilath (bercampurnya laki-laki dan wanita yang bukan mahram) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah salah seorang di antara kalian berkhalwat (berdua-duaan) dengan seorang wanita karena sesungguhnya setan menjadi orang ketiga di antara mereka berdua.” (H.r. Ahmad, 1:18; Ibnu Hibban (lihat Shahih Ibnu Hibban, 1:463); At-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Aushath, 2:184; Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Baihaqi, 7:91; dinilai shahih oleh Syekh Al-Albani dalam Ash-Shahihah, 1:792, no. 430) “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia berkhalwat (berdua-duaan) dengan seorang wanita tanpa ada mahram wanita tersebut karena setan menjadi orang ketiga di antara mereka berdua.” (H.r. Ahmad dari hadits Jabir, 3:339; dinilai shahih oleh Syekh Al-Albani dalam Irwaul Ghalil, jilid 6, no. 1813) Dari Ibnu Abbas, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah seorang laki-laki berkhalwat (berdua-duaan) dengan seorang wanita, kecuali jika bersama dengan mahram wanita tersebut.” Lalu seseorang pun berdiri dan berkata, “Wahai Rasulullah, istriku keluar untuk berhaji; aku telah mendaftarkan diriku untuk berjihad pada perang ini atau itu.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Kembalilah dan berhajilah bersama istrimu!” (H.r. Al-Bukhari, no. 5233; Muslim, 2:975) Al-Munawi berkata, “(Maksudnya) yaitu setan menjadi penengah (orang ketiga) di antara keduanya, dengan cara membisiki mereka (untuk melakukan kemaksiatan), menjadikan syahwat mereka berdua bergejolak, menghilangkan rasa malu dan sungkan dari keduanya, serta menghiasi kemaksiatan hingga tampak indah di hadapan mereka berdua. Sampai akhirnya, setan pun menyatukan mereka berdua dalam kenistaan (yaitu berzina) atau minimal menjatuhkan mereka pada perkara-perkara yang lebih ringan dari zina –yaitu perbuatan yang menjadi jalan pembuka zina– yang hampir saja menjatuhkan mereka dalam perzinaan.” (Faidhul Qadir, 3:78) Permasalahan ini kadang dianggap remeh oleh sebagian orang. Ada yang berpendapat, “Yang penting ‘kan tidak melakukan hubungan layaknya suami-istri … yang penting ‘kan tidak bersentuhan ….” Bagaimana bisa mereka mengatakan seperti itu sedangkan zina itu tidak hanya pada kemaluan, melainkan hampir semua tubuh manusia dapat berzina! Wallahu a’lam. Ikhtilath dengan berbagai macam bentuk dan modelnya adalah sebuah kemungkaran yang tidak dapat diperbolehkan, baik ikhtilath yang terjadi di antara kaum kerabat maupun di antara keluarga. Kita perhatikan orang-orang keluar rumah menuju tempat-tempat rekreasi, seperti: pantai, tempat-tempat rekreasi, dan taman-taman bermain, sembari para wanita dalam rombongan itu memperlihatkan auratnya kepada orang-orang yang bukan mahramnya. Dari sinilah kemungkinan bahaya yang sangat bersembunyi. Demikian samar itu semua, sehingga api syahwat akan terpercik dan membesar, lalu nafsu yang sakit akan semakin menyala-nyala. Oleh sebab itu, hendaklah setiap muslim waspada dan berhati-hati, serta selalu memiliki rasa cemburu terhadap orang-orang yang menjadi mahramnya. Jangan sampai mereka mengadakan piknik-piknik dan rekreasi yang terlarang. Selain itu, hendaklah berpegang teguh kepada aturan syariat yang mulia ini, baik dalam perkataan maupun perbuatan. Orang yang benar-benar memperhatikan dan mengawasi akan memahami bahwa ikhtilath adalah salah satu penyebab terjerembabnya manusia ke dalam perangkap setan. Betapa banyak mata memandang hal-hal yang haram, kemudian setan menghiasinya! Ini terjadi gara-gara ikhtilath. Betapa banyak percintaan yang keji nan nista terjadi di antara para remaja karena ikhtilath! Betapa banyak nomor telepon diberikan tanpa keperluan syar’i kepada lawan jenis yang bukan mahram, tidak lain karena ikhtilath! Betapa banyak tulisan-tulisan murahan di tulis di tempat-tempat tersebut, tidak lain karena ikhtilath! Lantas, masihkah seorang hamba Allah dianggap memiliki akal sehat jika tempat-tempat tersebut menjadi tujuan yang selalu dikunjungi? Jika engkau masih menjaga diri dan jiwamu, lantas apakah dosa yang akan didapatkan oleh orang yang bergabung bersamamu dalam rekreasi tersebut, dari kalangan remaja pria dan wanita? Tanyakanlah pertanyaan ini kepada diri kita sendiri dengan penuh keterbukaan …. Ikhtilath adalah sebuah keburukan, bencana dan fitnah. Karenanya, hendaklah kita tutup semua pintu ikhtilath dan menjauhkan diri dari tempat-tempat ikhtilath dan syubhat tersebut. Dari shahabat Nu’man bin Basyir radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘allaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya, perkara yang halal sudah jelas kehalalannya dan perkara yang haram juga sudah jelas keharamannya. Di antara keduanya ada perkara syubhat (rancu, tidak jelas hukumnya); hal ini tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Dengan demikian, barang siapa yang menjaga dirinya dari perkara syubhat itu, sungguh ia telah menjaga kehormatan dirinya. Barang siapa yang terjerumus ke dalam perkara syubhat maka sungguh ia telah terjerumus ke dalam perkara yang haram. Bagaikan seorang penggembala yang menggembalakan binatangnya di sekitar kawasan terlarang, sehingga dikhawatirkan ia akan masuk ke tempat larangan itu. Ketahuilah, sesungguhnya setiap raja memiliki larangan, dan ketahuilah bahwa larangan Allah Ta’ala adalah perkara yang diharamkan-Nya. Ketahuilah, bahwa di dalam setiap tubuh ada segumpal daging. Jika daging ini jelek maka seluruh tubuh akan ikut jelek. Ketahuilah, segumpal daging yang dimaksud tersebut adalah hati.” (H.r. Al-Bukhari, no. 52 dan 2051; Muslim, no. 1599 [107]) Wahai lelaki muslim, hendaknya kita menjaga diri dan keluarga kita karena kita semua akan dimintai pertanggungjawaban tentang mereka, kelak pada hari kiamat. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang berbahan bakar manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, tidak mendurhakai perintah Allah kepada mereka, dan selalu mengerjakan setiap hal yang diperintahkan.” (Q.s. At-Tahrim: 6) Kelima: Lemahnya sikap cemburu Ibnul Qayyim mengatakan, “Pokok agama ini adalah ghirah (kecemburuan), maka siapa yang tidak memiliki ghirah berarti ia tidak memiliki agama. Ghirah ini akan melindungi hati sehingga terlindungi pula anggota badan lainnya, tertolaklah dengannya segala perbuatan jelek dan keji. Sementara, ketiadaan ghirah menyebabkan hati mati hingga anggota badan lainnya pun ikut mati. Akibatnya, tidak ada penolakan terhadap perbuatan jelek dan keji.” (Ad-Da` wad Dawa’, hlm. 109–110) “Tenggelam dalam lumpur dosa termasuk salah satu sebab padamnya api ghirah di dalam hati. Hal ini merupakan hukuman atas dosa yang diperbuat.” (Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah, Ad-Da` wad Dawa’, hlm. 106) Sesungguhnya salah satu penyebab utama yang bisa menjerumuskan ke dalam perbuatan zina ini adalah lemahnya sikap cemburu dalam diri sebagian lelaki terhadap orang-orang yang menjadi mahramnya. Karena itulah, kita akan melihat salah seorang dari mereka menunggu di dalam mobilnya, sementara istrinya atau pun saudari-saudari yang merupakan mahramnya turun dan pergi menuju pasar atau ke toko-toko seorang diri.; sendirian tanpa ditemani oleh mahramnya, dan berlama-lama di tempat tersebut. Di sisi lain, suaminya, ayahnya, atau kakak laki-lakinya yang merupakan mahramnya tidak mengetahui keberadaan mereka dan tindak-tanduk yang sedang mereka lakukan. Wallahu a’lam. Bukan berarti kita tidak memercayai mereka atau ingin ikut campur dengan urusan mereka. Akan tetapi, nasihat ini disampaikan dalam rangka melaksanakan perintah Allah Ta’ala dan Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu menjaga kehormatan para wanita dan menutup segala pintu setan. Dalam agama yang mulia ini, seorang suami dituntut memiliki ghirah atau rasa cemburu kepada istrinya, sehingga ia tidak menjerumuskan istrinya kepada perkara yang mengikis rasa malu dan mengeluarkannya dari kemuliaan. “Sesungguhnya dunia ini manis dan hijau. Allah menjadikan kalian sebagai pengatur di dalamnya secara turun temurun, lalu Dia melihat cara kalian bersikap. Oleh sebab itu, berhati-hatilah dari dunia dan berhati-hatilah dari wanita karena awal bencana yang menimpa Bani Israil adalah karena wanitanya.” (Hadits shahih; diriwayatkan oleh Muslim, no. 2742) Sa‘ad bin ‘Ubadah radhiallahu ‘anhu berkata, “Sekiranya aku melihat seorang pria bersama istriku, niscaya aku akan menebasnya dengan pedang, tanpa peduli lagi!” Hal ini kemudian sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda, “Apakah kalian heran dengan kecemburuan Sa’ad? Demi Allah, aku lebih cemburu daripadanya dan Allah lebih cemburu daripadaku. Disebabkan oleh kecemburuan Allah, Dia mengharamkan perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi.” (H.r. Al-Bukhari, no. 6454; Muslim, no. 2760) Wahai para lelaki muslim, ada sebuah kisah di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membuat saya berpikir, apakah di zaman sekarang ini ada seorang suami yang benar-benar merasa cemburu kepada istrinya? Asma bintu Abi Bakar Ash-Shiddiq radhiallahu ‘anha bertutur tentang dirinya dan kecemburuan suaminya, “Az-Zubair menikahiku dalam keadaan ia tidak memiliki harta dan tidak memiliki budak. Ia tidak memiliki apa pun kecuali hanya seekor unta dan seekor kuda. Akulah yang memberi makan dan minum kudanya. Aku yang menimbakan air untuknya dan mengadon tepung untuk membuat kue. Aku tidak pandai membuat kue sehingga tetangga-tetanggaku dari kalangan Anshar-lah yang membuatkannya; mereka adalah wanita-wanita yang jujur. Aku yang memikul biji-bijian di atas kepalaku dari tanah milik Az-Zubair yang diserahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai bagiannya; jarak tempat tinggalku dengan tanah tersebut adalah 2/3 farsakh. Suatu hari, aku datang dari tanah Az-Zubair dengan memikul biji-bijian di atas kepalaku, kemudian aku bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta sekelompok orang dari kalangan Anshar. Beliau memanggilku, kemudian menderumkan untanya untuk memboncengkan aku di belakangnya. Namun, aku malu untuk berjalan bersama para lelaki dan aku teringat dengan Az-Zubair dan kecemburuannya, sementara dia adalah orang yang sangat pencemburu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui bahwa aku malu maka beliau pun berlalu. Aku kembali berjalan hingga menemui Az-Zubair. Lalu kuceritakan padanya, ‘Tadi aku berjumpa dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan aku sedang memikul biji-bijian di atas kepalaku. Ketika itu, beliau disertai beberapa orang shahabatnya. Beliau menderumkan untanya agar aku dapat menaikinya, namun aku malu dan aku tahu kecemburuanmu.’” (Hadits shahih; diriwayatkan oleh Al-Bukhari, no. 5224; Muslim, no. 2182) Lihatlah wahai para lelaki muslim, bagaimana balutan kecemburuan Az-Zubair terhadap Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam ketika istrinya akan berjalan bersama para lelaki untuk memboncengkannya dikarenakan istri Az-Zubair memikul biji-bijian di atas kepalanya! Bandingkan dengan zaman sekarang ini; para lelaki hanya bersikap biasa saja kala wanita yang menjadi mahram mereka tengah asyik berbicara atau bertemu dengan lelaki yang bukan mahram mereka. Juga terdapat sebuah syair yang membuat saya merasa kagum dengan kecemburuan seorang shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kayu siwak. Semoga kenikmatan selalu dilimpahkan kepada ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu; beliau pernah melihat Fathimah radhiallahu ‘anha (istrinya) bersiwak, maka ia cemburu kepadanya jika siwak itu menyentuh mulut Fathimah. Lalu ia bersenandung dengan syair, Wahai kayu siwak, Engkau sungguh beruntung Bisa menyentuh mulutnya Dan engkau tidak merasa takut Tatkala aku melihatmu Andai aku orang yang ahli berperang Pastilah engkau telah kubunuh Namun aku tak miliki siwak Selain hanya engkau yang kumiliki. (Lihat Shalahul Ummah fii ‘Uluwwil Himmah, jilid 5; secara ringkas) Semoga Allah meridhai mereka semua …. Keenam: Mendengar musik dan nyanyian Syekhul Islam rahimahullah berkata, “Nyanyian dan musik adalah mantra pembangkit zina karena dialah faktor paling utama yang menyebabkan manusia terjatuh ke dalam perbuatan keji. Sungguh, laki-laki, anak-anak, dan wanita atau seseorang itu sangat menjaga diri, tetapi setelah mendengar musik, ia tidak mampu mengendalikan diri dan mudah berbuat kekejian serta condong kepadanya, baik sebagai subjek atau objek, sebagaimana yang terjadi di kalangan para pecandu khamr.” (Ibnu Taimiyyah, Majmu’ Fatawa, 10:417–418) Ibnu Qayyim rahimahullah berkata, “Di antara bentuk tipu daya musuh Allah Ta’ala dan perangkapnya yang menipu orang-orang yang memiliki sedikit ilmu, akal, atau agama, serta bisa menjerat hati orang-orang yang bodoh dan selalu berbuat kesalahan, yaitu mendengarkan siulan, tepuk tangan, dan nyanyian yang diiringi dengan alat-alat yang diharamkan, yang akan menyebabkan seseorang selalu berada di atas kefasikan dan perbuatan maksiat. Itulah al-qur’an (bacaan, ed.) milik setan, sekaligus menjadi hijab (tabir) yang tebal dari Ar-Rahman (Allah Ta’ala yang Maha Pengasih). Al-qur’an milik setan itu sangat erat hubungannya dengan perbuatan liwath (homoseks) dan zina. Dengan menggunakan itu, setan dapat menipu dan memperdaya jiwa-jiwa yang berdosa serta menganggap baik perbuatan ini, menjadikannya sebagai tipuan syaithan. Setan juga membisikkan syubhat-syubhat (hal-hal yang menjurus kepada perkara haram) yang batil, sehingga bisikan-bisikan itu diterima, serta menyebabkan Alquran (yang merupakan wahyu dari Allah, red.) ditinggalkannya.” (Lihat Ighatsatul Lahafan, 1:232) Abu Malik Al-Asy’ari berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh akan ada sekelompok manusia dari umatku yang meminum khamr, mereka memberi nama dengan bukan namanya, mereka berdendang diiringi musik dan para biduanita, Allah Ta’ala menenggelamkan mereka ke dalam bumi, dan Allah Ta’ala mengubah (beberapa orang) di antara mereka menjadi monyet dan babi.” (Hadits shahih; diriwayatkan Imam Ahmad, 1:290; Abu Daud, no. 3988; Ibnu Majah, no. 4020) Ibnu Qayyim rahimahullah berkata bahwa menurut sebagian ulama, jika hati sudah terbiasa dengan kebiasaan menipu, makar, dan kefasikan, serta terwarnai dengan sifat keburukan secara lengkap maka pelakunya akan bertingkah laku seperti hewan kera dan babi. (Ibnul Qayyim, Ighatsatul Lahafan, hlm. 269) Karenanya, wahai para pemuda-pemudi, berhati-hati terhadap salah satu penyakit akhlak yang berbahaya, yaitu menyenangi nyanyian atau tarian, dengan berbagai cara dan sarana yang mengakibatkan banyak pemuda-pemudi tergila-gila. Jika seseorang yang tidak sedang dilanda asmara mendengarkan nyanyian, hatinya akan bergejolak. Lirik-lirik lagu akan membuat pikirannya membayangkan hal-hal yang tidak seharusnya dia bayangkan dalam benaknya. Lalu bagaimana dengan seorang yang sedang terfitnah atau dilanda mabuk asmara? Bukankah lirik-lirik lagu akan semakin membuatnya gila dengan asmara? Maka waspadalah dan berhati-hatilah terhadap suara-suara setan tersebut. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُواً أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ “Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan, dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.” (Q.s. Luqman: 6) Bersambung, insya Allah …. Penulis: Ummu Khaulah Ayu. Muraja’ah: Ustadz Aris Munandar, S.S., M.A. Artikel www.muslimah.or.id

Kehormatanmu, Wahai Saudaraku ....(3)...Timbulnya zina

Setelah kita mengetahui serentetan kejelekan dan keburukan perbuatan zina maka alangkah pentingnya bagi kita mengetahui beberapa penyebab yang dapat menjerumuskan seseorang ke dalam perbuatan zina ini. Berbaris-baris kalimat yang termuat dalam majalah-majalah dan koran-koran telah mengoyak kehormatan dan harga diri umat manusia. Berbagai media lahir dalam rangka membinasakan manusia dan mempersembahkan sebuah konspirasi yang sangat nyata dalam memerangi dan menihilkan harga diri serta kehormatan jiwa manusia, sembari menyebarkan kehinanaan dan kerendahan akhlak. Media elektronik maupun media cetak ikut berperan menyebarkan semua hal itu. Hendaklah semua pemilik sarana-sarana di atas memahami makna yang benar dari firman Allah Ta’ala, إِنَّ رَبَّكَ لَبِالْمِرْصَادِ “Sesungguhnya Rabbmu benar-benar mengawasi.” (Q.s. Al-Fajr: 14) Hendaklah mereka juga menyadari bahwa mereka itu adalah orang-orang yang merugi dalam peperangan yang mereka gelar ini, kendati mereka akan bersorak senang walaupun hanya sesaat. Ingatlah, hasil sebuah pekerjaan itu dinilai berdasarkan keadaan akhirnya. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَن تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ “Sesungguhnya orang-orang yang menginginkan tersebarnya perbuatan yang amat keji itu berasal dari kalangan orang-orang yang beriman. Bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah Mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (Q.s. An-Nur: 19) Wahai para lelaki muslim, hendaknya kita semua mengetahui bahwa ketika setan mendatangi seorang manusia, dia tidak akan bersikap jujur dengan mengatakan, “Lakukan perbuatan dosa ini! Kerjakan perbuatan keji ini! Kerjakan perbuatan yang akan merajammu sehingga engkau mati! Kerjakan kesalahan yang menjadikan dirimu dihukum cambuk dan terhina di hadapan manusia!” Sebaliknya, setan akan membisikkan perkataan-perkataan yang buruk dan menipu. Perbuatan zina tidak akan pernah terjadi dalam satu kesempatan dengan begitu saja. Namun, ada langkah-langkah, sarana-sarana, beragam penyebab, dan jerat-jerat setan yang sering disebut dengan istilah “langkah-langkah setan”. Semua kebusukan inilah yang akan menipu orang yang telah tersesat dari jalan hidayah (petunjuk) dan yang mulai tergoda untuk mengikuti jalan setan. Allah Ta’ala berfirman, وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى. قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنتُ بَصِيراً. قَالَ كَذَلِكَ أَتَتْكَ آيَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذَلِكَ الْيَوْمَ تُنسَى. وَكَذَلِكَ نَجْزِي مَنْ أَسْرَفَ وَلَمْ يُؤْمِن بِآيَاتِ رَبِّهِ وَلَعَذَابُ الْآخِرَةِ أَشَدُّ وَأَبْقَى. “Dan barang siapa yang berpaling dari peringatan-Ku maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunnya pada hari kiamat dalam keadaan buta. Dia pun berkatalah, ‘Wahai Rabbku, mengapa Engkau menghimpunku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seseorang yang melihat?’ Allah berfirman, ‘Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamu pun dilupakan.’ Dan demikianlah Kami membalas orang yang melampaui batas dan tidak percaya kepada ayat-ayat Rabbnya. Dan sesungguhnya azab di akhirat itu lebih berat dan lebih kekal.” (Q.s. Thah : 124–127) Wahai lelaki muslim, ada banyak penyebab yang menjerumuskan manusia ke dalam jurang zina; bukan hanya satu sebab. Berikut ini adalah penyebab-penyebab keterjerumusan tersebut. Pertama: Lemahnya tauhid dan keimanan kepada Allah Ta’ala Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Ketauhidan adalah sesuatu yang paling lembut, paling suci dari segala kekejian dan murni. Jika sesuatu yang sangat kecil saja mengotorinya, ia akan terpengaruh. Ia laksana sesuatu yang putih bersih, yang mudah tercemari oleh sesuatu, kendati sangat kecil. Laksana sebuah cermin yang sangat jernih, yang akan berbekas karena tergores oleh sesuatu.” Jika kadar tauhid seseoran itu kurang, bisa saja dia tidak akan malu untuk melakukan maksiat. Sebagai contoh, munculnya golongan pemuda-pemudi yang mengagungkan hawa nafsu dan kurang memahami batas-batas pergaulan antara pria dan wanita. Seluruh aktivitasnya seputar pemenuhan kebutuhan syahwatnya: makan, minum, dan kebutuhan biologis. Coba perhatikan firman Allah Ta’ala ini, tentang gambaran manusia yang terpasung oleh hawa nafsunya, أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلاً. أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلاً “Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai sesembahannya. Maka apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu terdengar atau memahami? Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya dari binatang ternak itu.” (Q.s. Al-Furqan: 43–44) Sekumpulan qalbu yang kosong ini telah terjerat oleh hawa nafsu. Ketika harus berhadapan dengan syahwat yang memikat, ia tak kuasa bertahan. Terlebih lagi bagi mereka yang waktu luangnya banyak. Syekh Utsaimin rahimahullah menyebut waktu luang sebagai sebagai virus berbahaya bagi pikiran, akal, dan fisik seseorang. Alasannya, setiap orang harus bergerak dan beraktivitas. Apabila waktunya kosong dari segala aktivitas, pikirannya menjadi tumpul, akalnya menjadi dingin, dan gerakannya pun lemah. Akibatnya, was-was dan pikiran-pikiran buruk akan mendominasi hatinya. Tidak menutup kemungkinan, muncul niat-niat buruk dalam rangka menghabiskan waktu kosong ini. (Min Musykilatis Syabab, hlm. 16) Seorang penyair berkata, Jerat nafsu menghampiriku Sebelum kumengenalnya Menempati hati kosong, Hingga kini berhasil menetap. (Syekh ‘Abdul Aziz bin Baz, Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 5:254) Sungguh akan sangat baik kiranya jika kita memahami perkataan Ibnul Qayyim berikut ini, “… Dan terus-menerus tenggelam dalam lingkaran nafsu syahwat itu disebabkan oleh kelemahan tauhid kepada Allah Ta’ala. Sesungguhnya kala tauhid di hati ini melemah maka semakin sedikit pula rasa ikhlasnya kepada Allah Ta’ala. Akibatnya, ia akan semakin banyak berbuat keji dan menuruti nafsu syahwat.” (Lihat “Ubudiyyatus Syahawat” dalam kitab Al-Fawa’id, karya Ibnul Qayyim) Kedua: Tidak peduli terhadap akibat sebuah perbuatan Faktor penyebab terjadinya maksiat –sebagaimana dituturkan oleh Syekhul Islam rahimahullah– ada dua: kelalaian dan jeratan syahwat. Itulah sumber kejelekan! Hal ini merujuk firman Allah Ta’ala, وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَن ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطاً “… Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, dia menuruti hawa nafsunya, dan keadaannya itu melewati batas.” (Q.s. Al-Kahfi: 28) Hawa nafsu tidak bisa sendirian memunculkan kejelekan-kejelekan. Pasti dia disertai dengan kebodohan. Kalau tidak demikian adanya, jika seseorang terjerat hawa nafsu, lalu ia mengetahui bahwa perbuatan maksiatnya akan benar-benar membahayakan, niscaya ia akan menghindarinya; itu akan terjadi secara otomatis. Syekh ‘Abdul ‘Aziz As-Sadhan hafizhahullah berkata, “Sesungguhnya perbuatan maksiat adalah ibarat rahim seorang ibu yang melahirkan, sebagaimana ketaatan juga ibarat rahim yang banyak melahirkan. Oleh karena itu, terkait maksiat itu sendiri, jika pelakunya tidak menghentikannya dengan taubat dan penyesalan, batangnya akan semakin bertambah kuat dan durinya akan bertambah banyak. Duri maksiat itu akan selalu ada bersama pelaku dalam setiap kondisi dan keadaan. Duri maksiat tersebut juga akan masuk ke dalam kehidupannya sehingga menjadikan dadanya sempit dan menambah parah lukanya.” Alangkah indahnya perkataan Imam Ibnul Qayyim rahimahullah ketika menggambarkan kondisi sebuah hati, “… Setiap kali hati lengah dan jauh dari Allah Ta’ala, segala penyakit akan semakin cepat mendatanginya. Setiap kali ia bertambah dekat kepada Allah Ta’ala maka segala penyakit akan bertambah jauh dan menjauhinya. Menjauh dari Allah Ta’ala itu ada beberapa tingkatannya, yang sebagian lebih parah dari beberapa tingkatannya, yang sebagian lebih parah dari sebagian yang lain. Kelalaian akan menjauhkan seorang hamba dari Allah Ta’ala. Menjauhkan diri dari perbuatan maksiat itu lebih utama daripada menjauhi kelalaian. Menjauhkan diri dari perbuatan bid’ah itu lebih diutamakan daripada menjauhkan diri dari perbuatan maksiat. Adapun menjauhkan diri dari kenifakan dan kesyirikan maka itu lebih diistimewakan dari semua itu.” (Lihat Al-Jawabul Kafi, hlm. 75) Ketiga: Siaran-siaran televisi Wahai lelaki muslim, bagaimana mungkin seseorang mampu menahan hawa nafsunya jika duduk dan menikmati acara-acara TV walau hanya 1 jam? Melihat suguhan acara-acara TV yang membuat hati miris dan merasa malu jika menontonnya. Adakah yang bisa menjamin bahwa hawa nafsu tidak akan bangkit? Sesungguhnya bahaya dari siaran-siaran televisi tidak terbatas banyaknya, meskipun banyak pihak yang selalu menutupinya. Bahaya sudah sangat nyata dan sangat berpengaruh sekali, yang mana hal ini tidak diragukan lagi bahwa bahayanya lebih besar daripada manfaatnya. Tidak ada yang mengingkari dan membantah hal ini kecuali orang yang sombong dan hatinya telah tertutup oleh perbuatan dosa. Allahu a’lam. Siaran-siaran televisi masa kini mayoritas telah menyuguhkan berbagai tayangan yang sangat rendah, hina, dan murahan, dengan tujuan semakin menjerumuskan manusia, menghancurkan dan membinasakan manusia di dalam kubangan dosa dan maksiat. Di antara tayangan yang diekspos tersebut adalah tentang perbuatan zina, minimal adalah zina mata (dengan memandang hal-hal yang menampakkan aurat). Tidakkah engkau mendengar firman Allah Ta’ala, إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولـئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً “Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (Q.s. Al-Isra’: 36) Tidakkah pula engkau melihat atau membacanya dari firman Allah Ta’ala, قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman bahwa hendaklah mereka menahan pandangannnya dan memelihara kemaluannya. Yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala gerak-gerik yang mereka perbuat.” (Q.s. An-Nur: 30) Tidakkah kita dengarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Telah dituliskan bagi anak Adam bagiannya dari zina. Ia adalah sesuatu yang pasti akan menimpa, bukan sesuatu yang mustahil. Kedua mata berzina; zinanya dengan melihat (perkara yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala) ….” (Lihat Shahih At-Targhib wat Tarhib, no. 1904) Hasil apa yang akan diperoleh akibat tayangan yang berulang-ulang dan terus-menerus keberadaannya dalam setiap jam dan detik? Hasilnya adalah tersebarnya perbuatan keji (zina) dengan berbagai macam versi dan bentuknya, disertai kerusakan moral masyarakat. Sesungguhnya, penayangan acara-acara semacam itu pasti akan memberi pengaruh negatif terhadap para pemuda dan pemudi, khususnya bagi mereka yang belum menikah. Namun, sungguh aneh! Masih saja ada yang beranggapan bahwa tayangan gambar-gambar bebas dan obrolan-obrolan yang bebas, bercampurnya laki-laki dengan wanita, kisah-kisah romantik percintaan antara laki-laki dan wanita, “pameran” bagian-bagian tubuh yang menimbulkan godaan birahi merupakan hiburan dan kesenangan semata, untuk melepaskan ketegangan syaraf dan meringankan tekanan jiwa yang menghimpit. Kenyataannya, opini semacam ini adalah sebuah kekeliruan yang sangat telak! Apakah setiap orang sudah mengetahui bahaya dari tayangan-tayangan yang menghancurkan yang selalu muncul setiap pagi dan sore? Karenanya, waspadalah! Berhati-hatilah! Sekali terjerumus, penyesalan hanya tinggal penyesalan. Bersambung, insya Allah …. Penulis: Ummu Khaulah Ayu. Muraja’ah: Ustadz Aris Munandar, S.S., M.A. Artikel www.muslimah.or.id

Kehormatanmu, Wahai Saudaraku.....(2)....Menjaga Kemuliaan Diri

Sesungguhnya, salah satu metode yang paling sukses dan berhasil meluruskan kesalahan dan penyimpangan dalam masyarakat adalah dengan cara membahas kesalahan-kesalahan tersebut, penyebabnya, serta cara pengobatannya, kendati hal tersebut sangat peka. Sementara, mendiamkan kesalahan-kesalahan tersebut dan berpura-pura tidak mengetahuinya –meski sekecil atau seremeh apa pun– merupakan jalur menuju puncak marabahaya dan jalan menuju kebinasaan. Perbuatan keji itu bisa saja datang karena lemahnya iman seorang hamba, serta berkuasanya setan terhadap umat manusia. Juga, disebabkan oleh pergaulan dengan teman-teman yang buruk, ditambah lagi dengan minimnya perasaan selalu diawasi Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dzat yang Maha Esa. Kukenal keburukan Bukan untuk terjerumus ke dalamnya Namun untuk berjaga-jaga darinya. Barang siapa yang tidak mengenal keburukan dari kebaikan Ia akan terjerumus ke dalamnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memperingatkan kita dari keburukan, bahkan memperingatkan kita agar jangan sampai mendekati keburukan tersebut dan penyebabnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Alquran yang jelas dan tegas isinya, وَلاَ تَقْرَبُواْ الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاء سَبِيلاً “Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji dan jalan yang buruk.” (Q.s. Al-Isra’: 32) Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan kita dari segala keburukan tersebut, dengan sabdanya, “Tidaklah seorang pezina dikatakan beriman pada saat dia berzina, dan tidaklah seseorang dikatakan beriman pada saat dia minum khamr.” (H.r. Bukhari, no. 2995; Muslim, no. 86) Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Apabila seorang hamba berzina maka keimanannya keluar dari dirinya; iman tersebut laksana sebuah bayangan yang melindungi di atas kepalanya. Jika ia meninggalkan zina maka iman akan kembali kepadanya.” (Lihat Shahih Al-Jami’, no. 586; dan As-Silsilah Ash-Shahihah, no. 509) Wahai para lelaki muslim, perlu diketahui, yang dinamakan zina bukan hanya pada kemaluan, melainkan mencakup mata, telinga, lisan, tangan, kaki, dan hati. Kemaluan yang akan membenarkan atau mendustakannya. Dari Abu Hurairah radhialahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam; beliau bersabda, “Telah dituliskan bagi anak Adam bagiannya dari zina. Karenanya, itu pasti akan menimpanya, bukan sesuatu yang mustahil. Kedua mata berzina; zinanya dengan melihat (perkara yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala). Kedua telinga berzina; zinanya dengan mendengar (perkara yang diharamkan). Lisan juga berbuat zina; zinanya dengan berkata-kata (melontarkan ucapan yang diharamkan). Tangan juga berzina; zina tangan dengan memegang (perkara yang diharamkan). Kaki juga berzina; zina kaki dengan melangkah ketempat yang diharamkan. (Zinanya) hati dengan menginginkan dan mengkhayal (berangan-angan). Kemudian semua itu dibuktikan oleh kemaluan atau didustakan olehnya.” (Lihat Shahih At-Targhib wat Tarhib, no. 1904) Khususnya yang menimpa kita pada zaman ini. Zaman yang penuh dengan segala bentuk fitnah, ketika segala pintu penyimpangan telah dibuka semua pihak dari segala arah, ketika segala bencana dan cobaan telah merata, saat asingnya agama Islam dan kaum muslimin yang istiqamah mengamalkan agamanya. Kenyataanlah yang menjadi saksi atas semuanya! Waspadalah! Jangan sampai terjerumus ke dalam berbagai perbuatan dosa dan maksiat. Jangan sampai terjerumus ke dalam perkara-perkara yang menyebabkan kemurkaan Allah Ta’ala. Kita semua yakin bahwa tidaklah manusia berbeda-beda dalam tingkatan kemuliaan dan kehormatan, tidak pula manusia akan tertimpa segala macam kesedihan, kecuali karena perkara yang menjadi kesenangan hawa nafsunya. Dengan demikian, seseorang yang memiliki kemauan kuat akan mewujudkan kemuliaan dirinya yang tampak jelas dalam kepribadian yang terpuji. Sebaliknya, kelemahan dan kehinaan bisa menjatuhkan seseorang dari derajat manusia yang sangat mulia menuju derajat binatang yang sangat hina. Oleh karena itu, harga diri manusia akan muncul kala dia menolak kehinaan dan teguh dalam pendirian, dengan segala pertimbangan yang dimilikinya, kebersihan hati dan pendengarannya dari semua kejelekan, juga kehormatan diri dalam kesuciannya, keharuman nama dan kehormatannya, serta memilih perkara terbaik di akhir kehidupannya. Sungguh, orang-orang yang mulia di setiap umat dan generasi –kendati dimasa jahiliah yang penuh dengan kegelapan sekalipun–berbangga dengan kemuliaan dan keharuman nama mereka serta penjagaan terhadap kehormatan dan harga diri mereka. Mereka tegak berdiri dengan dasar itu semua, laksana harimau dan singa nan buas. Mereka cuci kehinaan diri mereka dengan menggunakan ujung panah dan pedang mereka. Mereka tidak pernah tidur dalam kehinaan. Mereka tak pernah bisa bersabar atas kehinaan, juga tak pernah mau menerima kehinaan tersebut. Hindun binti ‘Utbah radhiallahu ‘anhuma pernah berkata ketika beliau berbai’at kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, apakah wanita yang merdeka itu mungkin akan berbuat zina?” (Lihat Qabasat min Khuthabi Al-Haramain, karya Ibnu Humaid) Pertanyaan ini diajukan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena penjagaan akan kehormatan diri serta kemuliaannya. Wallahu a’lam. Wahai lelaki muslim, lihatlah seorang wanita di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menanyakan hal itu kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam! Lantas bagaimana dengan para lelaki muslim di zaman sekarang ini? Faktor pendorong segala perbuatan keji Tidak lain, aktor di belakang semua perbuatan keji itu adalah setan yang terkutuk bersama semua pengikutnya. Mereka yang berada di balik segala perbuatan keji, yang kecil maupun yang besar. Dialah musuh kita yang sebenarnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan kepada kita semua di dalam Kitab-Nya, tentang permusuhan dan peperangan tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوّاً إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ “Sesungguhnya syaithan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh (mu), karena sesungguhnya syaithan-syaithan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni Naar yang menyala-nyala.” (Q.s. Fathir: 6) Tatkala seorang manusia merasakan keberadaan medan pertempuran yang kekal abadi antara ia dengan musuhnya –yakni setan– maka ia akan selalu siap sedia dengan segala kekuatan dan kesiagaannya serta diiringi oleh jiwa pembelaannya terhadap diri sendiri. Ia akan siap sedia membela dirinya untuk menolak segala penyesatan dan penyimpangan. Ia juga akan terjaga dari segala pintu-pintu gangguan setan yang masuk ke dalam dirinya. Dia akan selalu berusaha mencari tahu hakikat segala kekhawatiran dan kecemasan, lalu ia akan selalu berusaha memalingkannya secepatnya kepada timbangan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang ditegakkannya agar semakin jelas bagi dirinya. Bisa jadi, segenap kekhawatiran dan kecemasan itu merupakan tipuan yang tersembunyi dari musuh bebuyutannya yang sudah lama, yaitu setan. Sesungguhnya musuh bebuyutan bagi semua keturunan Adam ini terus-menerus membuat makar dan segala tipu daya. Ia pun sudah mengikrarkan bahwa ia akan terus masuk ke dalam pertempuran sepanjang masa, dengan berbagai tingkatan yang sangat rapi dan teratur. Ia akan terus-menerus menyusun siasat untuk mengganggu manusia selangkah demi selangkah …. (Lihat Maqami’usy Syaithan, karya Al-Hilali) Wahai para lelaki muslim, ketahuilah bahwa ketika seorang mukmin telah menyadari bahwa langkah di hadapannya adalah langkah-langkah setan maka wajib baginya untuk mengangkat kakinya lalu segera berbalik arah menuju jalan cahaya. Terkadang iblisakan memberikan gambaran palsu dalam pikiran orang-orang yang beriman serta membuat kerancuan bahwa jalan-jalan yang terbentang di hadapannya adalah jalan kebaikan. Meski demikian, hendaknya seorang mukmin bersikap cerdas dan berbekal ilmu agar dia bisa membedakan langkah-langkah setan dan jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Maha Pemurah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ وَمَن يَتَّبِعْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ فَإِنَّهُ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاء وَالْمُنكَرِ “Janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Barang siapa yang mengikuti langkah-langkah setan maka sesungguhnya setan itu menyuruh untuk mengerjakan perbuatan yang keji dan mungkar.” (Q.s. An-Nur: 21) “Sesunggunya setan benar-benar akan membukakan 99 pintu kebaikan bagi seorang hamba, untuk tujuan membuka satu pintu keburukan.” (Hilyatul Auliya’ wa Thabaqatul Ashfiya’, jilid V, hlm. 331) Wahai lelaki muslim, kalian harus mengetahui kenyataan bahwa setan mampu dan sanggup untuk merasuk hingga ke dalam pemikiran dan hati manusia, tanpa ia sadari dan ia ketahui. Ia akan dibantu oleh tabiat asli penciptaan setan itu sendiri. Inilah yang sering kita sebut “was-was/bisikan jahat setan”. Allahu a’lam. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengabarkan kepada kita tentang hal itu dengan firman-Nya, مِن شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ. الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ “Dari kejahatan (bisikan) setan yang bisa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia”, (Qs. An-Naas : 4-5) “Sesungguhnya, jika seorang muslim memegang teguh agama dan Islamnya, baik dalam perkataan maupun perbuatan, maka setan tidak akan memperoleh jalan untuk menyesatkannya. Namun, jika ia meremehkan dan bermalas-malasan dalam sebagian perkara –yaitu kebaikan– maka setan akan mendapat kesempatan dan pintu masuk untuk menyesatkannya.” (Lihat Alamus Syaithan, karya Dr. Al-Asyqar) Dengan demikian, hendaklah seorang muslim selalu waspada dan berhati-hati dari segala gangguan dan bisikan jahat setan! Wahai para lelaki muslim, coba kita renungkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini. Shafiyyah radhiallahu ‘anha berkata, “Dahulu Nabi (shalallahu ‘alaihi wa sallam) i’tikaf [pada sepuluh (hari) terakhir bulan Ramadhan]. Aku datang mengunjunginya pada malam hari, [ketika itu di sisinya ada beberapa isteri beliau sedang bergembira ria] maka aku pun berbincang sejenak, kemudian aku bangun untuk kembali, [maka beliau pun berkata, 'Jangan tergesa-gesa sampai aku bisa mengantarmu]. Kemudian beliau berdiri bersamaku untuk mengantarkanku pulang; tempat tinggal Shafiyyah itu pada kemudian hari berubah menjadi rumah Usamah bin Zaid. [Sesampainya di samping pintu masjid yang terletak di samping pintu Ummu Salamah], lewatlah dua orang laki-laki dari kalangan Anshar. Ketika keduanya melihat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam maka keduanya pun bergegas, kemudian Nabi pun bersabda, ‘Tenanglah [Janganlah kalian terburu-buru, ini bukanlah sesuatu yang kami benci], ini adalah Shafiyyah bintu Huyay (istri Rasulullah sendiri, red.).’ Kemudian keduanya berkata, ‘Subhanallah (Mahasuci Allah), wahai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.’ Beliau pun bersabda, ‘Sesungguhnya setan itu menjalari anak Adam pada aliran darahnya; sesungguhnya aku khawatir kejelekan akan bersarang di hati kalian –atau beliau berkata, ‘… sesuatu …’).” (Dikeluarkan oleh Bukhari, 4:240, Muslim, no. 2157; tambahan yang terakhir terdapat pada riwayat Abu Dawud, 7:142–143 dalam ‘Aunul Ma’bud) Seorang hamba Allah Ta’ala yang paling mulia dan paling suci saja berupaya menjelaskan secara terus-terang, sebagaimana sabda beliau, “Tenanglah, sesungguhnya wanita yang bersamaku adalah Shafiyyah binti Huyay.” Ucapan ini ditujukan agar harga diri, kehormatan, dan agama ini tetap terjaga dari segala noktah hitam yang mengotori dan merusaknya. Allahu a’lam. Bagaimana denganmu, wahai para lelaki muslim? Apakah engkau telah berusaha menjaga agama dan kehormatanmu? Apakah dirimu juga telah mengantisipasi segala penyebab yang bisa merusak agama dan kehormatanmu? Jawablah dengan hatimu, wahai para lelaki muslim! Duhai … semua perbuatan zina adalah perjanjian yang sangat zalim. Zina adalah akhlak yang sangat hina dan rendah. Telah hilang seluruh kenikmatan karenanya dan tinggalah kerugian dan keluh kesah yang berkepanjangan. Imam Ahmad rahimahullah sering kali melantunkan syairnya, Hilanglah kelezatan Dari orang yang melakukan perbuatan haram Tinggalah dosa dan kehinaan Tinggalah akibat-akibat yang jelek Tidak ada kebaikan dalam kenikmatan Dengan sesuatu yang berakibat neraka Bersambung, insya Allah …. Penulis: Ummu Khaulah Ayu. Muraja’ah: Ustadz Aris Munandar, S.S., M.A. Artikel www.muslimah.or.id

Kehormatanmu, Wahai Saudaraku......(1)

Telah banyak tulisan atau pun buku yang membahas mengenai kewajiban seorang wanita untuk menjaga diri dan kehormatannya. Telah banyak juga artikel yang berisikan kewajiban seorang wanita menjadi manusia yang mulia dengan terus menjaga harga dirinya. Nasihat-nasihat yang ditujukan kepada wanita untuk menjaga ‘iffah (kehormatan diri) sering terdengar dan terucap dari para lelaki. Namun, tulisan ini tidak akan membahas cara agar seorang wanita menjaga diri, melainkan membahas arti kehormatan dan bentuk penjagaan diri seorang laki-laki. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ (١)الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاتِهِمْ خَاشِعُونَ (٢)وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ (٣)وَالَّذِينَ هُمْ لِلزَّكَاةِ فَاعِلُونَ (٤)وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (٥)إِلا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (٦)فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ (٧) “Sesungguhnya, beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang orang yang khusyu’ dalam shalatnya, orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa yang mencari hal lain di balik itu, mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (Qs. Al-Mu’minun, 1–7) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan kita dalam sabdanya, مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنْ النِّسَاءِ “Tidaklah kutinggalkan suatu ujian yang lebih berat bagi laki-laki, melebihi (ujian terkait) wanita.” (Hr. Bukhari, no. 4808; Muslim, no. 2740; dari Usamah bin Zaid) إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإِنَّ اللَّهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ “Sesungguhnya, dunia ini manis dan hijau. Allah menjadikan kalian sebagai pengatur di dalamnya secara turun temurun, lalu Dia melihat sikap kalian perbuat. Karena itu, berhati-hatilah kalian terhadap dunia, dan berhati-hatilah kalian terhadap wanita karena awal bencana yang menimpa Bani Israil adalah pada wanitanya.” (Hadits sahih; Hr. Muslim, no. 2742) Telah jelaslah bagi kita, baik muslim maupun muslimah, bahwa seorang wanita itu dapat melemahkan iman seorang laki-laki. Wallahu a’lam. Meski begitu, pernahkah kita berpikir dan merenungi bahwasan seorang laki-laki pun dapat menjadi fitnah (ujian, ed.) untuk seorang wanita? Memang, tidak ada hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyatakan bahwa seorang laki-laki dapat menjadikan fitnah bagi wanita, tetapi hendaknya seorang laki-laki menyadari bahwa di dalam kehidupan ini terdapat dua jenis insan: wanita dan laki-laki. Setiap sebab dan akibat tentulah memiliki koherensi atau kesinambungan satu sama lain. Apakah mungkin ada akibat tanpa ada sebab? Atau, sebaliknya? Wallahu a’lam. Bagaimana bisa? Penulis berikan contoh yang menggambarkan bahwa seorang lelaki muslim pun dapat menjadi fitnah bagi seorang muslimah. Jika ada seorang laki-laki dengan kemampuan ilmu yang tinggi, baik ilmu agama atau pun ilmu dunia (misalnya, kemampuan dalam bidang teknologi, dengan di dukung penampilan fisik yang menyejukkan mata, kefasihan dalam berbahasa, atau tingkat keuangan yang mencukupi), maka apakah semua ini akan berlalu begitu saja bagi seorang wanita? Tentu tidak, wahai lelaki muslim! Seorang wanita itu juga memiliki hawa nafsu, layaknya seorang lelaki, walaupun tingkat hawa nafsunya tidak sebanding dengan laki-laki. Allahu a’lam. Asy-Syaukani berkata, “Sebabnya adalah lelaki senang kepada wanita karena demikianlah ia telah diciptakan –memiliki kecondongan kepada wanita–. Demikian juga, karena sifat yang telah dimilikinya, berupa syahwat untuk menikah. Demikian juga, wanita senang kepada lelaki karena sifat-sifat alami dan naluri yang telah tertancap dalam dirinya. Oleh karena itu, setan menemukan sarana untuk mengobarkan syahwat yang satu kepada yang lainnya, sehingga terjadilah kemaksiatan.” (Nailul Authar, 9:231) ‘Iffah berlaku untuk lelaki maupun wanita “‘Iffah“, sebuah kata yang pernah atau biasa kita dengar. “Si Fulan adalah seorang yang ‘afif“ atau “Si Fulanah adalah seorang yang ‘afifah“ merupakan sebutan bagi lelaki dan wanita yang memiliki iffah. Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan “‘iffah” itu? Secara bahasa, “‘iffah“ adalah ‘menahan’. Adapun secara istilah, artinya ‘menahan diri sepenuhnya dari perkara-perkara yang Allah haramkan’. Dengan demikian, seorang yang ‘afif adalah orang yang bersabar dari perkara-perkara yang diharamkan, walaupun jiwanya cenderung mengarah kepada perkara tersebut dan menginginkannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّى يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ “Dan orang-orang yang belum mampu untuk menikah hendaklah menjaga kesucian dirinya sampai Allah menjadikan mereka mampu dengan karunia-Nya.” (Qs. An-Nur:33) Termasuk dalam makna “‘iffah” adalah menahan diri dari meminta-minta kepada manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ “Orang yang tidak tahu tersebut menyangka bahwa mereka (orang-orang fakir) itu adalah orang-orang yang berkecukupan karena mereka ta’affuf (menahan diri dari meminta-minta kepada manusia).” (Qs. Al-Baqarah:273) Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu mengabarkan bahwa orang-orang dari kalangan Anshar pernah meminta-minta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada seorang pun dari mereka yang meminta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melainkan beliau berikan, hingga habislah harta yang ada pada beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda kepada mereka ketika itu, مَا يَكُونُ عِنْدِي مِنْ خَيْرٍ فَلَنْ أَدَّخِرَهُ عَنْكُمْ وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللَّهُ وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللَّهُ وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللَّهُ وَمَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنْ الصَّبْرِ “Tidak ada harta di sisiku yang tidak kuberikan kepada kalian. Sesungguhnya, barang siapa yang menahan diri dari meminta-minta maka Allah akan memelihara dan menjaganya, barang siapa yang menyabarkan dirinya dari meminta-minta maka Allah akan menjadikannya sabar, dan barang siapa yang merasa cukup dengan Allah –sehingga dia tidak meminta kepada selain-Nya– maka Allah akan memberikan kecukupan kepadanya. Tidaklah kalian diberi suatu pemberian yang lebih baik dan lebih luas selain daripada kesabaran.” (Hr. Al-Bukhari, no. 6470; Muslim, no. 1053) Al-Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk ta’affuf (menahan diri dari meminta-minta), qana’ah (merasa cukup), dan bersabar atas kesempitan hidup dan hal lainnya dari beragam kesulitan (perkara yang tidak disukai) di dunia.” (Syarah Shahih Muslim, 7:145) Memang, usaha yang dilakukan untuk menjaga sebuah ‘iffah bukanlah usaha yang ringan. Perlu perjuangan jiwa yang sungguh-sungguh dengan meminta tolong kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyatakan, وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ “Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk mencari keridhaan Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (Qs. Al-Ankabut:69) Bagi seorang wanita muslimah, menjaga diri dan kehormatan itu sangatlah penting, namun bukan berarti perkara ini tidaklah penting bagi para lelaki muslim. Bisa jadi, berawal dari tidak pandainya seseorang menjaga diri dan kehormatan akan muncul berbagai bahaya dalam diri orang tersebut, sehingga akhirnya seorang anak Adam terpelosok ke dalam kubangan maksiat. Hal ini bisa disebabkan beberapa faktor, misalnya: penyimpangan dalam penggunaan sarana telekomunikasi, seperti: telepon, internet, dan sejenisnya. Juga, maraknya peredaran majalah dan VCD porno, serta yang semisalnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala befirman, لا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ وَمَنْ يَتَّبِعْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ فَإِنَّهُ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ “Janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Barang siapa yang mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya setan itu menyuruh untuk mengerjakan perbuatan yang keji dan mungkar.” (Qs. An-Nur:21) Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ (١٣٥)أُولَئِكَ جَزَاؤُهُمْ مَغْفِرَةٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَجَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَنِعْمَ أَجْرُ الْعَامِلِينَ (١٣٦) “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu mereka memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka; dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedangkan mereka mengetahui. Bagi mereka ada balasan berupa ampunan dari Rabb mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai dan mereka kekal di dalamnya. Itulah sebaik-baik pahala bagi orang-orang yang beramal.” (Qs. Ali Imran:135–136) Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Seandainya orang yang berakal disuruh untuk memilih antara memenuhi keinginan nafsunya sesaat atau menghabiskan sisa umurnya dalam kerugian akibat mengikuti keinginan nafsu tersebut, pastilah orang itu memilih untuk tak akan pernah mendekati nafsunya tadi kendati ia diberi dunia dengan seluruh isinya. Hanya saja, karena mabuk untuk mengikuti hawa nafsu itu telah menghalangi untuk membedakan antara akal pikiran dan hawa nafsu.” (At-Taubah Wazhifatul ‘Umr, hlm. 213) Bersambung, insya Allah …. Penulis: Ummu Khaulah Ayu. Muraja’ah: Ustadz Aris Munandar, S.S., M.A. Artikel www.muslimah.or.id

Hukum Bulan Madu

Terkait masalah bulan madu yang banyak tersebar di eropa, terkadang disertai dengan keyakinan yang aneh-aneh dari doktri agamanya. Apakah jika ada sebagian kaum muslimin yang melakukannya, termasuk bentuk meniru kebiasaan orang barat, meskipun hanya melakukan perjalanan di negeri islam? Semoga Allah memberikan balasan yang terbaik bagi anda.. Jawaban Syaikh Abdurrahman as-Suhaim: Dalam masalah ini perlu dirinci. Pertama, jika fenomena tersebut merupakan bagian dari perkara ibadah orang kafir, baik menurut yahudi maupun nasrani maka tidak boleh diamalkan sama sekali, apapun keadaannya, kecuali jika perkara tersebut juga ditetapkan dalam syariat kita, berdasarkan al-Quran dan sunnah, sehingga menjadi bagian dari ajaran semua syariat. Seperti masalah hukuman had (hukuman tindak kriminal) atau menutup aurat atau yang lainnya. Kedua, fenomena yang merupakan perkara dunia. Untuk yang kedua ini bisa dirinci sebagai berikut: a. Jika diiringi dengan keyakinan tertentu maka tidak boleh ditiru, seperti: cincin tunangan. b. Tidak diiringi keyakinan tertentu dan sudah tersebar di tengah masyarakat islam, sehingga orang islam yang melakukannya menyadari bahwa kegiatan ini hanya semata adat masyarakat di negerinya. Untuk kasus kedua ini, saya berharap tidak mengapa dilakukan. Termasuk dalam jenis yang kedua ini adalah kebiasaan yang dikenal dengan ‘bulan madu’. Hanya saja tidak selayaknya terlalu terikat dengan penamaan ini dan batasan waktu tertentu. Karena kehidupan seorang muslim, jika dibangun di atas prinsip al-Quran dan sunnah maka semuanya adalah kehidupan yang indah dan menyenangkan. Selanjutnya untuk masalah safar, pada asalnya hukumnya adalah mubah. Karena itu, boleh bagi suami untuk melakukan safar bersama istrinya, terutama ketika masa pengantin baru. Karena kegiatan ini akan semakin mengikat rasa cinta dan kasih sayang. Akan tetapi tidak boleh safar ke negeri kafir atau ke tempat-tempat yang banyak digunakan untuk maksiat. Karena para ulama telah menegaskan bahwa wali berhak melarang orang yang menjadi tanggungannya untuk pergi ke tempat-tempat campur baur laki-laki perempuan. Syaikh Abdurrahman as-Suhaim merupakan seorang dai dari Kementrian Agama, Wakaf, Dakwah dan Bimbingan Masyarakat Kerajaan Arab Saudi. Disadur dari: http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=138993 Allahu a’lam *** muslimah.or.id Diterjemahkan Oleh Ustadz Ammi Nur Baits

Kamis, 03 November 2011

TIPS MERAWAT RAMBUT (BERJILBAB)

Tips Merawat Rambut (berjilbab) Rambut yang sering ditutupi jilbab biasanya mudah berkeringat dan sangat lembab. Terlebih jika wanita berjilbab ini mempunyai aktivitas yang sangat tinggi. Berikut ini tips yang bisa ukhtiy gunakan untuk mencegah kerontokan pada rambut: 1. Keramas secara teratur ... 2. Rajin menyisir rambut (3 x dalam sehari). Dengan menyisir rambut sama halnya dengan melakukan pemijitan kulit kepala, yang berarti dapat membantu kelancaran peredaran darah. 3. Gunakan sisir plastik yang bergigi jarang. 4. Hindari menarik garis belahan rambut hanya pada 1 sisi, karena kerontokan bisa berawal di garis belahan rambut. 5. Hindari mengikat rambut dengan ikatan yang kencang, apalagi dengan menggunakan karet gelang. Hal ini akan mengakibatkan trauma bagi rambut. Gunakan ikat rambut yang berlapis kain untuk mengikat rambut. 6. Jangan biarkan rambut terikat terus. 7. Hindari memakai kerudung/jilbab saat rambut dalam keadaan basah. Karena akan mempertinggi kadar kelembaban rambut yang menyebabkan rambut menjadi rontok. 8. Sampo yang digunakan pun harus sesuai dengan kondisi rambut berjilbab. Sebaiknya memakai sampo yang banyak mengandung sari lidah buaya. Tanaman itu berkhasiat memperbaiki pertumbuhan rambut dan mengurangi kerontokan. Bisa pula memakai sampo kelapa hijau dan yang berasal dari sari akar wortel. Wallahu a’lam bishowab. Maroji’: 1. Sentuhan Nilai Kefikihan untuk Wanita Syekh Dr. Shaleh bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan 2. Kafemuslimah.com 3. Atti Melati K. (Pikiran Rakyat) di kutip dari www.muslimah.or.id

PUASA AYYAMUL BAIDH PADA HARI TASYRIQ

Hari tasyriq adalah tiga hari setelah hari nahr yaitu tanggal 11, 12, 13 Dzulhijjah. Hari tasyriq adalah hari terlarang untuk berpuasa kecuali bagi orang yang punya kewajiban hadyu (sembelihan yang dihadiahkan pada penduduk Makkah), namun tidak mampu menunaikan hadyu, maka ia menggantinya dengan puasa pada hari tasyriq. Lalu bagaimana dengan orang yang punya kebiasaan puasa ayyamul bidh (tanggal 13, 14, 15 Hijriyah setiap bulan) dan ketika itu bertepatan dengan hari tasyriq? Syaikh ‘Abdul Karim Khudair ditanya, “Jika seseorang punya kebiasaan puasa ayyamul bidh (13, 14, 15 Hijriyah setiap bulannya), apakah ia dibolehkan puasa pada hari tasyriq?” Jawab Syaikh rahimahullah, “Puasa pada hari tasyriq diharamkan kecuali bagi orang yang tidak mendapati hadyu, maka ia boleh berpuasa tiga hari pada masa haji. Jika mampu ia berpuasa sebelum hari Idul Adha. Jika tidak bisa saat itu, maka tidak mengapa berpuasa pada hari tasyriq.” (Fatwa diambil dari situs pribadi beliau: http://www.khudheir.com/text/4104) Namun tetap setiap bulan disunnahkan untuk melakukan puasa minimal tiga hari. Jika tidak bisa dilakukan pada ayyamul bidh, maka boleh dilakukan di hari lainnya, asalkan setiap bulan ada tiga hari puasa. Baca tentang keutamaan puasa ayyamul bidh dan puasa tiga hari setiap bulannya, di sini. Wallahu waliyyut taufiq. @ Ummul Hamam, Riyadh KSA 1 Dzulhijjah 1432 H (28/10/2011) www.rumaysho.com --------------------------------------------------------------------------------

BERSETUBUH DI SAAT HAIDH

Seperti kita ketahui bersama bahwa seorang pria haram menyetubuhi istrinya yang sedang haidh. Akan tetapi, beberapa berita meyakinkan akan nikmatnya bersetubuh ketika itu. Namun itu hanyalah suara orang-orang barat yang ingin menggelapkan mata umat Islam dan agar kita tidak lagi mengindahkan aturan Allah dan Rasul-Nya. Artikel sederhana berikut akan menyingkap beberapa hukum seputar hukum bersetubuh dengan wanita haidh. Moga bermanfaat. Haramnya Menyetubuhi Wanita Haidh Para ulama sepakat bahwa menyetubuhi wanita haidh di kemaluannya dihukumi haram. Allah Ta’ala berfirman, وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al Baqarah: 222) Dari Anas bin Malik disebutkan bahwa orang Yahudi biasanya ketika istri-istri mereka haidh, mereka tidak makan bersamanya dan tidak kumpul-kumpul dengan istrinya di rumah. Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akhirnya menanyakan tentang hal itu. Allah Ta’ala lantas menurunkan ayat di atas. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, اصْنَعُوا كُلَّ شَىْءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ “Lakukanlah segala sesuatu selain jima’ (hubungan badan).” (HR. Muslim no. 302) Imam Nawawi rahimahullah berkata, أجمع المسلمون علي تحريم وطئ الحائض للآية الكريمة والاحاديث الصحيحة “Kaum muslimin sepakat akan haramnya menyetubuhi wanita haidh berdasarkan ayat Al Qur’an dan hadits-hadits yang shahih.” (Al Majmu’, 2/359) Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, وَوَطْءُ النُّفَسَاءِ كَوَطْءِ الْحَائِضِ حَرَامٌ بِاتِّفَاقِ الْأَئِمَّةِ “Menyetubuhi wanita nifas adalah sebagaimana wanita haidh yaitu haram berdasarkan kesepakatan para ulama.” (Majmu’ Al Fatawa, 21/624) Menyetubuhi Wanita Haidh Termasuk Dosa Besar Dalam hadits disebutkan, مَنْ أَتَى حَائِضًا أَوِ امْرَأَةً فِى دُبُرِهَا أَوْ كَاهِنًا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ -صلى الله عليه وسلم- “Barangsiapa yang menyetubuhi wanita haidh atau menyetubuhi wanita di duburnya, maka ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.” (HR. Tirmidzi no. 135, Ibnu Majah no. 639. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih) Al Muhamili dalam Al Majmu’ berkata bahwa Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang menyetubuhi wanita haidh, maka ia telah terjerumus dalam dosa besar.” Ulama Syafi’iyah dan selainnya berkata bahwa barangsiapa yang menganggap halal menyetubuhi wanita haidh, maka ia dihukumi kafir. Barangsiapa yang melakukannya atas dasar tidak tahu adanya haidh, tidak tahu akan haramnya, lupa, atau dipaksa, maka tidak ada dosa untuknya dan tidak ada kafaroh. (Dinukil dari Al Majmu’, 2/359) Apakah Ada Kafaroh dalam Hal Ini? Para ulama berselisih pendapat kafaroh (tebusan) bagi orang yang menyetubuhi istrinya ketika haidh. Ada empat pendapat dalam masalah ini: Pertama, banyak memohon ampun pada Allah dan tidak ada kafaroh. Inilah pendapat Imam Malik, pendapat terbaru Imam Asy Syafi’i, ulama Zhohiriyah (Ibnu Hazm, cs), dan Abu Hanifah. Kedua, bersedakah dengan satu dinar atau setengah dinar. Demikian pendapat Imam Ahmad bin Hambal dari dua pendapat beliau yang dinilai lebih kuat. Ketiga, jika menyetubuhinya ketika masih keluar darah haidh, maka wajib bersedekah dengan satu dinar. Jika menyetubuhinya setelah darah berhenti (namun belum mandi wajib), maka wajib bersedekah dengan setengah dinar. Demikian dikatakan oleh sebagian ulama hadits. Keempat, bersedekah dengan 5 dinar. Demikian kata Al Auza’i. Sebab perselisihan di atas karena penilaian keshahihan hadits Ibnu ‘Abbas. Dalam satu riwayat, Ibnu ‘Abbas memerintahkan bersedekah dengan satu dinar. Riwayat lain disebutkan dengan setengah dinar. Dalam hadits lainnya dirinci seperti pendapat ketiga di atas. Dalam hadits lainnya disebutkan kafaroh sebagaimana pendapat Al Auza’i. (Lihat Al Jaami’ Al Mufiid fii Asbaabi Ikhtilafil Fuqoha, Dr. ‘Abdul Karim Hamidi, 1/190-191) Jumhur (mayoritas) ulama menganggap lemahnya (dhoifnya) hadits-hadits[1] yang membicarakan wajibnya sedekah karena menyetubuhi wanita haidh. Sehingga yang tepat, tidak ada kewajiban kafaroh (sedekah).[2] Kewajibannya adalah bertaubat (taubatan nasuha) dengan penuh penyesalan dan bertekad tidak akan mengulanginya lagi. Karena ingat yang dilakukan adalah dosa besar sebagaimana dijelaskan di atas. Bercumbu dengan Wanita Haidh Boleh bercumbu dengan wanita haidh selama tidak melakukan jima’ di kemaluan. Dalam hadits disebutkan, اصْنَعُوا كُلَّ شَىْءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ “Lakukanlah segala sesuatu (terhadap wanita haidh) selain jima’ (di kemaluan).” (HR. Muslim no. 302) Dalam riwayat yang muttafaqun ‘alaih disebutkan, عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَتْ إِحْدَانَا إِذَا كَانَتْ حَائِضًا ، فَأَرَادَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - أَنْ يُبَاشِرَهَا ، أَمَرَهَا أَنْ تَتَّزِرَ فِى فَوْرِ حَيْضَتِهَا ثُمَّ يُبَاشِرُهَا . قَالَتْ وَأَيُّكُمْ يَمْلِكُ إِرْبَهُ كَمَا كَانَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - يَمْلِكُ إِرْبَهُ Dari 'Aisyah, ia berkata bahwa di antara istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ada yang mengalami hadidh. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin bercumbu dengannya. Lantas beliau memerintahkannya untuk memakai sarung agar menutupi tempat memancarnya darah haidh, kemudian beliau tetap mencumbunya (di atas sarung). Aisyah berkata, “Adakah di antara kalian yang bisa menahan hasratnya (untuk berjima’) sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menahannya?” (HR. Bukhari no. 302 dan Muslim no. 293). Imam Nawawi menyebutkan judul bab dari hadits di atas, “Bab mencumbu wanita haidh di atas sarungnya”. Artinya di selain tempat keluarnya darah haidh atau selain kemaluannya. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, لَكِنْ لَهُ أَنْ يَسْتَمْتِعَ مِنْ الْحَائِضِ وَالنُّفَسَاءِ بِمَا فَوْقَ الْإِزَارِ وَسَوَاءٌ اسْتَمْتَعَ مِنْهَا بِفَمِهِ أَوْ بِيَدِهِ أَوْ بِرِجْلِهِ فَلَوْ وَطِئَهَا فِي بَطْنِهَا وَاسْتَمْنَى جَازَ . وَلَوْ اسْتَمْتَعَ بِفَخِذَيْهَا فَفِي جَوَازِهِ نِزَاعٌ بَيْنَ الْعُلَمَاءِ . وَاَللَّهُ أَعْلَمُ . “Boleh bagi seorang suami mencumbu wanita haidh atau wanita yang mengalami nifas di atas sarungnya. Ia boleh mencumbunya dengan mulut, tangan atau kakinya. Seandainya ia menyetubuhinya di perutnya, lalu keluarlah mani, maka itu masih dibolehkan. Namun jika ia mencumbu istrinya pada kedua paha istrinya (belum sampai kemaluan, pen), maka tentang bolehnya diperselisihkan para ulama.” (Majmu’ Al Fatawa, 21/624) Kapan Mulai Boleh Disetubuhi? Penyebutan dalam ayat amatlah jelas, “Dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.” (QS. Al Baqarah: 222). Jadi barulah boleh menyetubuhi wanita haidh ketika darah haidhnya telah berhenti dan telah bersuci. Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Penyebutan dalam ayat ‘sampai wanita tersebut bersuci’, menunjukkan haramnya .... Haramnya menyetubuhi wanita haidh itu hilang dengan berhentinya darah haidh dan dibolehkan untuk menyetubuhinya dengan syarat wanita tersebut telah mandi.” (Majmu’ Al Fatawa, 21/625) Bagaimana jika tidak mampu menggunakan air untuk wanita itu bersuci? Sebagai ganti dari mandi adalah tayammum jika memang sulit mendapati air atau tidak bisa menggunakan air. Setelah bertayamum, suaminya boleh menyetubuhinya. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Adapun wanita haidh ketika darahnya berhenti, maka suaminya tidak boleh menyetubuhinya sampai ia mandi jika ia mampu mandi. Jika tidak mampu, maka sebagai gantinya adalah tayamum. Demikian pendapat jumhur ulama seperti Imam Malik, Imam Ahmad dan Imam Asy Syafi’i.” (Majmu’ Al Fatawa, 21/624-625 21/624-625) Semoga Allah selalu menambahkan pada kita ilmu yang bermanfaat. Wallahu waliyyut taufiq. -Alhamdulilahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat- Riyadh-KSA, 8 Rajab 1432 H (09/06/2011) www.rumaysho.com --------------------------------------------------------------------------------