ASSALAMUALAIKUM

ASSALAMUALAIKUM

Minggu, 21 Agustus 2011

APA ITU SALAFIYAH


Hakikat Dakwah Salafiyah
Penulis: Al Ustadz Abu Muhammad Dzulqarnain

Pertanyaan:

Berkembangnya dakwah Salafiyyah di kalangan masyarakat dengan pembinaan yang mengarah kepada perbaikan ummat di bawah tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alahi wa alihi wa sallam adalah suatu hal yang sangat disyukuri. Akan tetapi di sisi lain, orang-orang menyimpan dalam benak mereka persepsi yang berbeda-beda tentang pengertian Salafiyah itu sendiri sehingga bisa menimbulkan kebingunan bagi orang-orang yang mengamatinya, maka untuk itu dibutuhkan penjelasan yang jelas tentang hakikat Salafiyah itu. Mohon keterangannya!


Jawab (Cukup mewakili untuk membantah tuduhan bahwa dakwah salaf, salaf adalah muhdats, red):

Salafiyah adalah salah satu penamaan lain dari Ahlussunnah Wal Jama’ah yang menunjukkan ciri dan kriteria mereka.

Salafiyah adalah pensifatan yang diambil dari kata سَلَفٌ (Salaf) yang berarti mengikuti jejak, manhaj dan jalan Salaf. Dikenal juga dengan nama سَلَفِيُّوْنَ (Salafiyyun). Yaitu bentuk jamak dari kata Salafy yang berarti orang yang mengikuti Salaf. Dan juga kadang kita dengar penyebutan para ‘ulama Salaf dengan nama As-Salaf Ash-Sholeh (pendahulu yang sholeh).

Dari keterangan di atas secara global sudah bisa dipahami apa yang dimaksud dengan Salafiyah. Tapi kami akan menjelaskan tentang makna Salaf menurut para ‘ulama dengan harapan bisa mengikis anggapan/penafsiran bahwa dakwah Salafiyah adalah suatu organisasi, kelompok, aliran baru dan sangkaan-sangkaan lain yang salah dan menodai kesucian dakwah yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alahi wa alihi wa sallam ini.

Kata Salaf ini mempunyai dua definisi; dari sisi bahasa dan dari sisi istilah.

Definisi Salaf secara bahasa

Berkata Ibnu Manzhur dalam Lisanul ‘Arab: “Dan As-Salaf juga adalah orang-orang yang mendahului kamu dari ayah-ayahmu dan kerabatmu yang mereka itu di atas kamu dari sisi umur dan keutamaan karena itulah generasi pertama dikalangan tabi’in mereka dinamakan As-Salaf Ash-Sholeh.”

Berkata Al-Manawi dalam At-Ta’arif jilid 2 hal.412: “As-Salaf bermakna At-Taqoddum (yang terdahulu). Jamak dari salaf adalah أََسْلاَفٌ (aslaf).”

Masih banyak rujukan lain tentang makna salaf dari sisi bahasa yang ini dapat dilihat dalam Mauqif Ibnu Taimiyyah minal ‘asya’irah jilid 1 hal.21.

Jadi arti Salaf secara bahasa adalah yang terdahulu, yang awal dan yang pertama. Mereka dinamakan Salaf karena mereka adalah generasi pertama dari ummat Islam.

Definisi Salaf secara Istilah

Istilah Salaf dikalangan para ‘ulama mempunyai dua makna; secara khusus dan secara umum.

Pertama: Makna Salaf secara khusus adalah generasi permulaan ummat Islam dari kalangan para shahabat, Tabi’in (murid-murid para Shahabat), Tabi’ut Tabi’in (murid-murid para Tabi’in) dalam tiga masa yang mendapatkan kemulian dan keutamaan dalam hadits mutawatir yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary, Muslim dan lain-lainnya dimana Rasulullah shallallahu ‘alahi wa alihi wa sallam menyatakan:

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ

“Sebaik-baik manusia adalah generasiku kemudian generasi setelahnya kemudian generasi setelahnya.”

Makna khusus inilah yang diinginkan oleh banyak ‘ulama ketika menggunakan kalimat Salaf dan saya akan menyebutkan beberapa contoh dari perkataan para ‘ulama yang mendefinisikan Salaf dengan makna khusus ini atau yang menggunakan istilah Salaf dan mereka inginkan dengannya makna Salaf secara khusus.

Berkata Al-Bajury dalam Syarah Jauharut Tauhid hal.111: “Yang dimaksud dengan salaf adalah orang-orang yang terdahulu dari para Nabi dan para shahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka”.

Berkata Al-Qolasyany dalam Tahrirul Maqolah Syarah Ar-Risalah: “As-Salaf Ash-Sholeh yaitu generasi pertama yang mapan di atas ilmu, yang mengikuti petunjuk Nabi shollahu ‘alahi wa alihi wa sallam lagi menjaga sunnah-sunnah beliau. Allah memilih mereka untuk bersahabat dengan Nabi-Nya dan memilih mereka untuk menegakkan agama-Nya dan mereka itulah yang diridhoi oleh para Imam ummat (Islam) dan mereka berjihad di jalan Allah dengan sebenar-benar jihad dan mereka mencurahkan (seluruh kemampuan mereka) dalam menasehati ummat dan memberi manfaat kepada mereka dan mereka menyerahkan diri-diri mereka dalam menggapai keridhoan Allah”.

Dan berkata Al-Ghazaly memberikan pengertian terhadap kata As-Salaf dalam Iljamul ‘Awwam ‘An ‘ilmil Kalam hal.62: “Yang saya maksudkan dengan salaf adalah madzhabnya para shahabat dan Tabi’in”.

Lihat Limadza Ikhtartu Al-Manhaj As-Salafy hal.31 dan Bashoir Dzawisy Syaraf Bimarwiyati Manhaj As-Salaf hal.18-19.

Berkata Abul Hasan Al-Asy’ary dalam Kitab Al-Ibanah Min Ushul Ahlid Diyanah hal.21: “Dan (diantara yang) kami yakini sebagai agama adalah mencintai para ‘ulama salaf yang mereka itu telah dipilih oleh Allah ‘Azza Wa Jalla untuk bershahabat dengan Nabi-Nya dan kami memuji mereka sebagaimana Allah memuji mereka dan kami memberikan loyalitas kepada mereka seluruhnya”.

Berkata Ath-Thahawy dalam Al-‘Aqidah Ath-Thohawiyah: “Dan ulama salaf dari generasi yang terdahulu dan generasi yang setelah mereka dari kalangan Tabi’in (mereka adalah) Ahlul Khair (ahli kebaikan) dan Ahli Atsar (hadits) dan ahli fiqh dan telaah (peneliti), tidaklah mereka disebut melainkan dengan kebaikan dan siapa yang menyebut mereka dengan kejelekan maka dia berada di atas selain jalan (yang benar)”.

Dan Al-Lalika`i dalam Syarah Ushul I’tiqod Ahlis Sunnah Wal Jama’ah jilid 2 hal.334 ketika beliau membantah orang yang mengatakan bahwa Al-Qura dialah yang berada di langit, beliau berkata: “Maka dia telah menyelisihi Allah dan Rasul-Nya dan menolak mukjizat Nabi-Nya dan menyelisihi para salaf dari kalangan Shahabat dan tabi’in dan orang-orang setelahnya dari para ‘ulama ummat ini”.

Berkata Al-Baihaqy dalam Syu’abul Iman jilid 2 hal.251 tatkala beliau menyebutkan pembagian ilmu, beliau menyebutkan diantaranya: “Dan mengenal perkataan-perkataan para salaf dari kalangan shahabat, Tabi’in dan orang-orang setelah mereka”.

Dan berkata Asy-Syihristany dalam Al-Milal Wa An-Nihal jilid 1 hal.200: “Kemudian mengetahui letak-letak ijma’ (kesepakatan) shahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in dari Salafus Sholeh sehingga ijtihadnya tidak menyelisihi ijma’ (mereka)”.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Bayan Talbis Al-Jahmiyah jilid 1 hal.22: “Maka tidak ada keraguan bahwasanya kitab-kitab yang terdapat di tangan-tangan manusia menjadi saksi bahwasanya seluruh salaf dari tiga generasi pertama mereka menyelesihinya”.

Dan berkata Al-Mubarakfury dalam Tuhfah Al-Ahwadzy jilid 9 hal.165: “…Dan ini adalah madzhab Salafus Sholeh dari kalangan shahabat dan Tabi’in dan selain mereka dari para ‘ulama -mudah-mudahan Allah meridhoi mereka seluruhnya-”.

Dan hal yang sama dinyatakan oleh Al-’Azhim Abady dalam ‘Aunul Ma’bud jilid 13 hal.7.

Kedua: Makna salaf secara umum adalah tiga generasi terbaik dan orang-orang setelah tiga generasi terbaik ini, sehingga mencakup setiap orang yang berjalan di atas jalan dan manhaj generasi terbaik ini.

Dan berkata Al-’Allamah Muhammad As-Safariny Al-Hambaly dalam Lawami’ Al-Anwar Al-Bahiyyah Wa Sawathi’ Al-Asrar Al-Atsariyyah jilid 1 hal.20: “Yang diinginkan dengan madzhab salaf yaitu apa-apa yang para shahabat yang mulia -mudah-mudahan Allah meridhoi mereka- berada di atasnya dan para Tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik dan yang mengikuti mereka dan para Imam agama yang dipersaksikan keimaman mereka dan dikenal perannya yang sangat besar dalam agama dan manusia menerima perkataan-perkataan mereka…”.

Berkata Ibnu Abil ‘Izzi dalam Syarah Al ‘Aqidah Ath-Thohawiyah hal.196 tentang perkataan Ath-Thohawy bahwasanya Al-Qur`an diturunkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala: “Yakni merupakan perkataan para shahabat dan yang mengikuti mereka dengan baik dan mereka itu adalah Salafus Sholeh”.

Dan berkata Asy-Syaikh Sholeh Al-Fauzan dalam Nazharat Wa Tu’uqqubat ‘Ala Ma Fi Kitab As-Salafiyah hal.21: “Dan kata Salafiyah digunakan terhadap jama’ah kaum mukminin yang mereka hidup di generasi pertama dari generasi-generasi Islam yang mereka itu komitmen di atas Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kalangan shahabat Muhajirin dan Anshor dan yang mengikuti mereka dengan baik dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mensifati mereka dengan sabdanya: “Sebaik-baik manusia adalah zamanku kemudian zaman setelahnya kemudian zaman setelahnya….”

Dan beliau juga berkata dalam Al-Ajwibah Al-Mufidah ‘An As`ilah Al-Manahij Al-Jadidah hal.103-104: “As-Salafiyah adalah orang-orang yang berjalan di atas Manhaj Salaf dari kalangan Shahabat dan tabi’in dan generasi terbaik, yang mereka mengikutinya dalam hal aqidah, manhaj, dan metode dakwah”.

Dan berkata Syaikh Nashir bin ‘Abdil Karim Al-‘Aql dalam Mujmal Ushul I’tiqod Ahlus Sunnah Wal Jama’ah hal.5: “As-Salaf, mereka adalah generasi pertama ummat ini dari para shahabat, tabi’in dan imam-imam yang berada di atas petunjuk dalam tiga generasi terbaik pertama. Dan kalimat As-Salaf juga digunakan kepada setiap orang yang berada pada setelah tiga generasi pertama ini yang meniti dan berjalan di atas manhaj mereka”.

Asal Penamaan Salaf Dan Penisbahan Diri Kepada Manhaj Salaf

Asal penamaan Salaf dan penisbahan diri kepada manhaj Salaf adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada putrinya Fathimah radihyallahu ‘anha:

فَإِنَّهُ نِعْمَ السَّلَفُ أَنَا لَكِ

“Karena sesungguhnya sebaik-baik salaf bagi kamu adalah saya.” Dikeluarkan oleh Bukhary no.5928 dan Muslim no.2450.

Maka jelaslah bahwa penamaaan salaf dan penisbahan diri kepada manhaj Salaf adalah perkara yang mempunyai landasan (pondasi) yang sangat kuat dan sesuatu yang telah lama dikenal tapi karena kebodohan dan jauhnya kita dari tuntunan syari’at yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka muncullah anggapan bahwa manhaj salaf itu adalah suatu aliran, ajaran, atau pemahaman baru, dan anggapan-anggapan lainnya yang salah.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa jilid 4 hal 149 : “Tidak ada celaan bagi orang yang menampakkan madzhab salaf dan menisbahkan diri kepadanya dan merujuk kepadanya, bahkan wajib menerima hal tersebut menurut kesepakatan (para ulama). Karena sesungguhnya madzhab salaf itu adalah tak lain kecuali kebenaran”.

Berikut ini saya akan memberikan beberapa contoh untuk menunjukkan bahwa penggunaan nama salaf sudah lama dikenal.

Berkata Imam Az-Zuhry (wafat 125 H) tentang tulang belulang bangkai seperti bangkai gajah dan lainnya: “Saya telah mendapati sekelompok dari para ulama salaf mereka bersisir dengannya dan mengambil minyak darinya, mereka menganggap (hal tersebut) tidak apa-apa.” Lihat: Shohih Bukhary bersama Fathul Bary jilid 1 hal.342.

Tentunya yang diinginkan dengan ‘ulama salaf oleh Az-Zuhry adalah para shahabat karena Az-Zuhry adalah seorang Tabi’i (generasi setelah shahabat).

Dan Sa’ad bin Rasyid (wafat 213 H) berkata: “Adalah para salaf, lebih menyenangi tunggangan jantan karena lebih cepat larinya dan lebih berani”. Lihat : Shohih Bukhary dengan Fathul Bary jilid 6 hal.66 dan Al-Hafizh menafsirkan kata salaf: “Yaitu dari shahabat dan setelahnya”.

Berkata Imam Bukhary (wafat 256 H) dalam Shohihnya dengan Fathul Bary jilid 9 hal.552: “Bab bagaimana para ‘ulama salaf berhemat di rumah-rumah mereka dan di dalam perjalanan mereka dalam makanan, daging dan lainnya.”

Imam Ibnul Mubarak (wafat 181 H) berkata: “Tinggalkanlah hadits ‘Amr bin Tsabit karena ia mencerca para ‘ulama salaf.” Baca: Muqoddimah Shohih Muslim jilid 1 hal.16.

Tentunya yang diinginkan dengan kata salaf oleh Imam Bukhary dan Ibnul Mubarak tiada lain kecuali para shahabat dan tabi’in.

Dan juga kalau kita membaca buku-buku yang berkaitan dengan pembahasan nasab, akan didapatkan para ’ulama yang menyebutkan tentang nisbah Salafy (penisbahan diri kepada jalan para ‘ulama salaf), dan ini lebih memperjelas bahwa nisbah kepada manhaj salaf juga adalah sesuatu yang sudah lama dikenal dikalangan para ‘ulama.

Berkata As-Sam’any dalam Al-Ansab jilid 3 hal.273: “Salafy dengan difathah (huruf sin-nya) adalah nisbah kepada As-Salaf dan mengikuti madzhab mereka”.

Dan berkata As-Suyuthy dalam Lubbul Lubab jilid 2 hal.22: “Salafy dengan difathah (huruf sin dan lam-nya) adalah penyandaran diri kepada madzhab As-Salaf.”

Dan saya akan menyebutkan beberapa contoh para ‘ulama yang dinisbahkan kepada manhaj (jalan) para ‘ulama salaf untuk menunjukkan bahwa mereka berada diatas jalan yang lurus yang bersih dari noda penyimpangan:

1. Berkata Imam Adz-Dzahaby dalam Siyar A’lam An-Nubala` jilid 13 hal.183 setelah menyebutkan hikayat bahwa Ya’qub bin Sufyan Al-Fasawy rahimahullah menghina ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu: “Kisah ini terputus, Wallahu A’lam. Dan saya tidak mengetahui Ya’qub Al-Fasawy kecuali beliau itu adalah seorang Salafy, dan beliau telah mengarang sebuah kitab kecil tentang As-Sunnah”.

2. Dan dalam biografi ‘Utsman bin Jarzad beliau berkata: “Untuk menjadi seorang Muhaddits (ahli hadits) diperlukan lima perkara, kalau satu perkara tidak terpenuhi maka itu adalah suatu kekurangan. Dia memerlukan: Aqal yang baik, agama yang baik, dhobth (hafalan yang kuat), kecerdikan dalam bidang hadits serta dikenal darinya sifat amanah”.

Kemudian Adz-Dzahaby mengomentari perkataan tersebut, beliau berkata: “Amanah merupakan bagian dari agama dan hafalan bisa masuk kepada kecerdikan. Adapun yang dibutuhkan oleh seorang hafizh (penghafal hadits) adalah: Dia harus seorang yang bertaqwa, pintar, ahli nahwu dan bahasa, bersih hatinya, senantiasa bersemangat, seorang salafy, cukup bagi dia menulis dengan tangannya sendiri 200 jilid buku hadits dan memiliki 500 jilid buku yang dijadikan pegangan dan tidak putus semangat dalam menuntut ilmu sampai dia meninggal dengan niat yang ikhlas dan dengan sikap rendah diri. Kalau tidak memenuhi syarat-syarat ini maka janganlah kamu berharap.” Lihat dalam Siyar A’lam An-Nubala` jilid 13 hal.280.

3. Dan Adz-Dzahaby berkata tentang Imam Ad-Daraquthny: “Beliau adalah orang yang tidak akan pernah ikut serta mempelajari ilmu kalam (ilmu mantik) dan tidak pula ilmu jidal (ilmu debat) dan beliau tidak pernah mendalami ilmu tersebut, bahkan beliau adalah seorang salafy.” Baca Siyar A’lam An-Nubala` jilid 16 hal.457.

4. Dan dalam Tadzkirah Al-Huffazh jilid 4 hal.1431 dalam biografi Ibnu Ash-Sholah, berkata Imam Adz-Dzahaby: “Dan beliau adalah seorang Salafy yang baik aqidahnya.” Dan lihat: Thobaqot Al-Huffazh jilid 2 hal.503 dan Siyar A’lam An-Nubala` jilid 23 hal.142.

5. Dalam biografi Imam Abul ‘Abbas Ahmad bin ‘Isa bin ‘Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah Al-Maqdasy, Imam Adz-Dzahaby berkata: “Beliau adalah seorang yang terpercaya, tsabt (kuat hafalannya), pandai, seorang Salafy….” Baca Siyar A’lam An-Nubala` jilid 23 hal.18.

6. Dan dalam Biografi Abul Muzhoffar Ibnu Hubairah, Imam Adz-Dzahaby berkata: “Dia adalah seorang yang mengetahui madzhab dan bahasa arab dan ilmu ‘arudh, seorang salafy, atsary.” Baca Siyar A’lam An-Nubala` jilid 20 hal.426.

7. Berkata Imam Adz-Dzahaby dalam biografi Imam Az-Zabidy: “Dia adalah seorang Hanafy, Salafy.” Baca Siyar A’lam An-Nubala` jilid 20 hal.316.

8. Dan dalam Biografi Musa bin Ibrahim Al-Ba’labakky, Imam Adz-Dzahaby berkata: “Dan demikian pula beliau seorang perendah hati, seorang Salafy.” Lihat: Mu’jamul Muhadditsin hal.283.

9. Dan dalam biografi Muhammad bin Muhammad Al-Bahrony, Imam Adz-Dzahaby Berkata: “Dia seorang yang beragama, orang yang sangat baik, seorang Salafy.” Lihat: Mu’jam Asy-Syuyukh jilid 2 hal.280 (dinukil dari Al-Ajwibah Al-Mufidah hal.18).

10. Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolany dalam Lisanul Mizan Jilid 5 hal.348 dalam biografi Muhammad bin Qasim bin Sufyan Abu Ishaq: “Dan Ia adalah Seorang yang bermadzhab Salafy.”

Penamaan-Penamaan Lain Ahlus Sunnah Wal Jama’ah

Sebelum terjadi fitnah bid’ah perpecahan dan perselisihan dalam ummat ini, ummat Islam tidak dikenal kecuali dengan nama Islam dan kaum muslimin, kemudian setelah terjadinya perpecahan dan munculnya golongan-golongan sesat yang mana setiap golongan menyerukan dan mempropagandakan bid’ah dan kesesatannya dengan menampilkan bid’ah dan kesesatan mereka di atas nama Islam, maka tentunya hal tersebut akan melahirkan kebingungan ditengah-tengah ummat. Akan tetapi Allah Maha Bijaksana dan Maha Menjaga agama-Nya. Dialah Allah yang berfirman:

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz-Dikr, dan sesungguhnya Kami benar-benar menjaganya.” (Q.S. Al Hijr ayat 9).

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda:

لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ كَذَلِكَ

“Terus menerus ada sekelompok dari ummatku yang mereka tetap nampak di atas kebenaran, tidak membahayakan mereka orang mencerca mereka sampai datang ketentuan Allah (hari kiamat) dan mereka dalam keadaan seperti itu.”

Maka para ‘ulama salaf waktu itu yang merupakan orang-orang yang berada di atas kebenaran dan yang paling memahami aqidah yang benar dan tuntunan syari’at Islam yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang murni yang belum ternodai oleh kotoran bid’ah dan kesesatan, mulailah mereka menampakkan penamaan-penamaan syari’at diambil dari Islam guna membedakan pengikut kebenaran dari golongan-golongan sesat tersebut.

Berkata Imam Muhammad bin Sirin rahimahullah:

لَمْ يَكُوْنُوْا يَسْأَلُوْنَ عَنِ الْإِسْنَادِ فَلَمَّا وَقَعَتِ الْفِتْنَةُ قَالُوْا سَمّوْا لَنَا رِجَالَكُمْ فَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ السُّنَّةِ فَيُؤْخَذُ حَدِيْثُهُمْ وَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ الْبِدَعِ فَلاَ يُؤْخَذُ حَدِيْثُهُمْ

“Tidaklah mereka (para ‘ulama) bertanya tentang isnad (silsilah rawi). Tatkala terjadi fitnah mereka pun berkata: “Sebutkanlah kepada kami rawi-rawi kalian maka dilihatlah kepada Ahlus Sunnah lalu diambil hadits mereka dan dilihat kepada Ahlil bid’ah dan tidak diambil hadits mereka.””

Maka Ahlus Sunnah Wal Jama’ah selain dikenal sebagai Salafiyah, mereka juga mempunyai penamaan lain yang menunjukkan ciri dan kriteria mereka.

Berikut ini kami akan mencoba menguraikan penamaan-penamaan tersebut dengan ringkas.

1. AL-FIRQOH AN-NAJIYAH

Al-Firqoh An-Najiyah artinya golongan yang selamat. Penamaan ini diambil dari apa yang dipahami dari hadits perpecahan ummat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan:

افْتَرَقَتِ الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَافْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَإِنَّ أُمَّتِيْ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً وَهِيَ الْجَمَاعَةُ وَ فِيْ رِوَايَةٍ : مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيِوْمَ وَأَصْحَابِيْ.

“Telah terpecah orang–orang Yahudi menjadi tujuh puluh satu firqoh (golongan) dan telah terpecah orang-orang Nashoro menjadi tujuh puluh dua firqoh dan sesungguhnya ummatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga firqoh semuanya dalam neraka kecuali satu dan ia adalah Al-Jama’ah dalam satu riwayat: “Apa yang aku dan para shahabatku berada di atasnya sekarang ini.” Hadits shohih, dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Dzilalil Jannah dan Syaikh Muqbil dalam Ash-Shohih Al-Musnad Mimma Laisa Fi Ash-Shohihain rahimahumullah.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Minhaj As-sunnah jilid 3 hal.345: “Maka apabila sifat Al-Firqoh An-Najiyah mengikuti para shahabat di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan itu adalah syi’ar (ciri, simbol) Ahlus Sunnah maka Al-Firqoh An-Najiyah mereka adalah Ahlus Sunnah”.

Dan beliau juga menyatakan dalam Majmu’ Al Fatawa jilid 3 hal.345: “Karena itu beliau (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) menyifati Al-Firqoh An-Najiyah bahwa ia adalah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan mereka adalah jumhur yang paling banyak dan As-Sawad Al-A’zhom (kelompok yang paling besar)”.

Berkata Syaikh Hafizh Al-Hakamy: “Telah dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam -yang selalu benar dan dibenarkan- bahwa Al-Firqoh An-Najiyah mereka adalah siapa yang di atas seperti apa yang beliau dan para shahabatnya berada di atasnya, dan sifat ini hanyalah cocok bagi orang-orang yang membawa dan menjaga sifat itu, tunduk kepadanya lagi berpegang teguh dengannya. mereka yang saya maksud ini adalah para imam hadits dan para tokoh (pengikut) Sunnah.” Lihat Ma’arijul Qobul jilid 1 hal.19.

Maka nampaklah dari keterangan di atas asal penamaan Al-Firqoh An-Najiyah dari hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam.

Diringkas dari: Mauqif Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Min Ahli Ahwa`i Wal Bid’ah jillid 1 hal.54-59.

Dan Berkata Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wad’iy rahimahullah setelah meyebutkan dua hadits tentang perpecahan ummat: “Dua hadits ini dan hadits-hadits yang semakna dengannya menunjukkan bahwa tidak ada yang selamat kecuali satu golongan dari tujuh puluh tiga golongan, dan adapun golongan-golongan yang lain di Neraka, (sehingga) mengharuskan setiap muslim mencari Al-Firqoh An-Najiyah sehingga teratur menjalaninya dan mengambil agamanya darinya.” Lihat Riyadhul Jannah Fir Roddi ‘Ala A’da`is Sunnah hal.22.

2. ATH-THOIFAH AL MANSHUROH

Ath-Thoifah Al-Manshuroh artinya kelompok yang mendapatkan pertolongan. Penamaan ini berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ كَذَلِكَ

“Terus menerus ada sekelompok dari ummatku yang mereka tetap nampak di atas kebenaran, tidak membahayakan mereka orang mencerca mereka sampai datang ketentuan Allah (hari kiamat) dan mereka dalam keadaan seperti itu.” Dikeluarkan oleh Muslim dari hadits Tsauban dan semakna dengannya diriwayatkan oleh Bukhary dan Muslim dari hadits Mughiroh bin Syu’bah dan Mu’awiyah dan diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir bin ‘Abdillah. Dan hadits ini merupakan hadits mutawatir sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Iqtidho` Ash-Shirath Al-Mustaqim 1/69, Imam As-Suyuthy dalam Al-Azhar Al-Mutanatsirah hal.216 dan dalam Tadrib Ar-Rawi, Al Kattany dalam Nazhom Al-Mutanatsirah hal.93 dan Az-Zabidy dalam Laqthul `Ala`i hal.68-71. Lihat: Bashoir Dzawisy Syaraf Bimarwiyati Manhaj As-Salaf.

Berkata Imam Bukhary tentang Ath-Thoifah Al-Manshuroh: “Mereka adalah para ‘ulama”.

Berkata Imam Ahmad: “Kalau mereka bukan Ahli Hadits saya tidak tahu siapa mereka.”

Al-Qodhi Iyadh mengomentari perkataan Imam Ahmad dengan berkata: “Yang diinginkan oleh (Imam Ahmad) adalah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan siapa yang meyakini madzhab Ahlul Hadits.” Lihat: Mauqif Ahlus Sunnah Wal Jama’ah 1/59-62.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Muqoddimah Al ‘Aqidah Al Washitiyah: “Amma ba’du; Ini adalah i’tiqod (keyakinan) Al Firqoh An-Najiyah, (Ath-Thoifah) Al-Manshuroh sampai bangkitnya hari kiamat, (mereka) Ahlus Sunnah.”

Dan di akhir Al ‘Aqidah Al Washitiyah ketika memberikan definisi tentang Ahlus Sunnah, beliau berkata: “Dan mereka adalah Ath-Thoifah Al-Manshuroh yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang mereka: “Terus menerus sekelompok dari ummatku diatas kebenaran manshuroh (tertolong) tidak membahayakan mereka orang yang menyelisihi dan mencerca mereka sampai hari kiamat” mudah-mudahan Allah menjadikan kita bagian dari mereka dan tidak memalingkan hati-hati kita setelah mendapatkan petunjuk.”

Lihat: Bashoir Dzawisy Syaraf Bimarwiyati Manhaj As-Salaf hal. 97-110.

3. AHLUL HADITS

Ahlul Hadits dikenal juga dengan Ashhabul hadits atau Ashhabul Atsar. Ahlul hadits artinya orang yang mengikuti hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan istilah Ahlul hadits ini juga merupakan salah satu nama dan kriteria Salafiyah atau Ahlus Sunnah Wal Jama’ah atau Ath-Thoifah Al-Manshurah.

Berkata Ibnul Jauzi: “Tidak ada keraguan bahwa Ahlun Naql Wal Atsar (Ahlul Hadits) yang mengikuti jejak-jejak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam mereka di atas jalan yang belum terjadi bid’ah.”

Berkata Al-Khathib Al-Baghdady dalam Ar-Rihlah Fii Tholabil Hadits hal.223: “Dan sungguh (Allah) Rabbul ‘alamin telah menjadikan Ath-Thoifah Al-Manshurah sebagai penjaga agama dan telah dipalingkan dari mereka makar orang-orang yang keras kepala karena mereka berpegang teguh dengan syari’at (Islam) yang kokoh dan mereka mengikuti jejak para shahabat dan tabi’in.”

Dan telah sepakat perkataan para ‘ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah bahwa yang dimaksud dengan Ath-Thoifah Al-Manshurah adalah para ‘ulama Salaf Ahlul Hadits. Hal ini ditafsirkan oleh banyak Imam seperti ‘Abdullah bin Mubarak, ‘Ali bin Madiny, Ahmad bin Hambal, Bukhary, Al-Hakim dan lain-lainnya. Perkataan-perkataan para ‘ulama tersebut diuraikan dengan panjang lebar oleh Syaikh Robi’ bin Hady Al-Madkhaly dan juga Syaikh Al-Albany dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shohihah hadits no.270.

Lihat: Haqiqitul Bid’ah 1/269-272, Mauqif Ibnu Taymiyah 1/32-34, Ahlul Hadits Wa Ath-Thoifah Al-Manshurah An-Najiyah, Limadza Ikhtartu Al-Manhaj As-Salafy, Bashoir Dzawisy Syaraf Bimarwiyati Manhaj As-Salaf dan Al-Intishor Li Ashhabil Hadits karya Muhammad ‘Umar Ba Zamul.

4. Al-Ghuraba`

Al-Ghuraba` artinya orang-orang yang asing. Asal penyifatan ini adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah riwayat Muslim No.145:

بَدَأَ الْإِسْلاَمُ غَرِيْبًا وَسَيَعُوْدُ غَرِيْبًا كَمَا بَدَأَ فَطُوْبَى لِلْغُرَبَاءِ

“Islam mulai muncul dalam keadaan asing dan akan kembali asing sebagaimana awal munculnya maka beruntunglah orang-orang asing itu”. Dan hadits ini adalah hadits yang mutawatir.

Berkata Imam Al-Ajurry dalam Sifatil Ghuraba` Minal Mu’minin hal.25: “Dan perkataan (Nabi) shallallahu ‘alaihi wa sallam “Dan akan kembali asing” maknanya Wallahu A’lam sesungguhnya hawa nafsu yang menyesatkan akan menjadi banyak sehingga banyak dari manusia tersesat karenanya dan akan tetap ada Ahlul Haq yang berjalan diatas syari’at islam dalam keadaan asing di mata manusia, tidakkah kalian mendengar perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Akan terpecah ummatku menjadi 73 golongan semuanya masuk neraka kecuali satu, maka dikatakan siapa mereka yang tertolong itu? Maka kata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Apa-apa yang saya dan para shahabatku berada di atasnya pada hari ini.””

Berkata Imam Ibnu Rajab dalam Kasyful Kurbah fi washfi hali Ahlil Ghurbah hal 22-27: “Adapun fitnah syubhat (kerancuan-kerancuan) dan pengikut hawa nafsu yang menyesatkan sehingga hal tersebut menyebabkan terpecahnya Ahlul Qiblah (kaum muslimin) dan menjadilah mereka berkelompok-kelompok, sebagian dari mereka mengkafirkan yang lainnya dan mereka menjadi saling bermusuhan, bergolong-golongan dan berpartai-partai setelah mereka dulunya sebagai saudara dan hati-hati mereka diatas hati satu orang (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) sehingga tidak akan selamat dari kelompok-kelompok tersebut kecuali satu golongan yang selamat. Mereka inilah yang disebut dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Terus menerus ada diantara ummatku satu kelompok yang menampakkan kebenaran, tidak mencelakakan mereka orang-orang yang menghinakan dan membenci mereka sampai datang ketetapan Allah subhanahu wa ta’ala (hari kiamat) dan mereka tetap dalam keadaan tersebut.” Mereka inilah al-Ghuraba` di akhir zaman yang tersebut dalam hadits-hadits ini.…”

Demikianlah penamaan-penamaan syari’at bagi pengikut Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuai dengan pemahaman para ‘ulama salaf, yang apabila dipahami dengan baik akan menambah keyakinan akan wajibnya mengikuti jalan para ‘ulama salaf dan kebenaran jalan mereka serta keberuntungan orang-orang yang mengikuti jalan mereka.

Cukuplah sebagai satu keistimewaan yang para salafiyun berbangga dengannya bahwa penamaan-penamaan ini semuanya dari Islam dan menggambarkan Islam hakiki yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tentunya hal ini sangat membedakan salafiyun dari ahlu bid’ah yang bernama atau dinamakan dengan penamaan-penamaan yang hanya sekedar menampakkan bid’ah, pimpinan atau kelompok mereka seperti Tablighy nisbah kepada Jama’ah Tabligh yang didirikan oleh Muhammad Ilyas, Ikhwany nisbah kepada gerakan Ikhwanul Muslimin yang dipelopori oleh Hasan Al-Banna, Surury nisbah kepada kelompok atau pemikiran Muhammad Surur Zainal ‘Abidin, Jahmy nisbah kepada Jahm bin Sofwan pembawa bendera bid’ah keyakinan bahwa Al-Qur`an adalah makhluk. Mu’tazily nisbah kepada kelompok pimpinan ‘Atho` bin Washil yang menyendiri dari halaqah Hasan Al-Bashry. Asy’ary nisbah kepada pemikiran Abu Hasan Al-Asy’ary yang kemudian beliau bertobat dari pemikiran sesatnya. Syi’iy nisbah kepada kelompok Syi’ah yang mengaku mencintai keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan masih ada ratusan penamaan lain, sangat meletihkan untuk menyebutkan dan menguraikan seluruh penamaan tersebut, maka nampaklah dengan jelas bahwa penamaan Salafiyun-Ahlus Sunnah Wal Jama’ah-Ath-Thoifah Al-Manshurah-Al-Firqoh An-Najiyah-Ahlul Hadits adalah sangat berbeda dengan penamaan-penamaan yang dipakai oleh golongan-golongan yang menyimpang dari beberapa sisi:

Satu: Penamaan-penamaan syari’at ini adalah nisbah kepada generasi awal ummat Islam yang berada di atas tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka penamaan ini akan mencakup seluruh ummat pada setiap zaman yang berjalan sesuai dengan jalan generasi awal tersebut baik dalam mengambil ilmu atau dalam pemahaman atau dalam berdakwah dan lain-lainnya.

Dua: Kandungan dari penamaan-penamaan syari’at ini hanyalah menunjukkan tuntunan Islam yang murni yaitu Al-Qur`an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa ada penambahan atau pengurangan sedikit pun.

Tiga: Penamaan-penamaan ini mempunyai asal dalil dari sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Empat: Penamaan-penamaan ini hanyalah muncul untuk membedakan antara pengikut kebenaran dari jalan para pengekor hawa nafsu dan golongan-golongan sesat, dan sebagai bantahan terhadap bid’ah dan kesesatan mereka.

Lima: Ikatan wala’ (loyalitas) dan baro’ (kebencian, permusuhan) bagi orang-orang yang bernama dengan penamaan ini, hanyalah ikatan wala’ dan baro’ di atas Islam (Al-Qur`an dan Sunnah) bukan ikatan wala’ dan baro’ karena seorang tokoh, pemimpin, kelompok, organisasi dan lain-lainnya.

Enam: Tidak ada fanatisme bagi orang-orang yang memakai penamaan-penamaan ini kecuali kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena pemimpin dan panutan mereka hanyalah satu yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, berbeda dengan orang-orang yang menisbahkan dirinya ke penamaan-penamaan bid’ah fanatismenya untuk golongan, kelompok/pemimpin.

Tujuh: Penamaan-penamaan ini sama sekali tidak akan menjerumuskan ke dalam suatu bid’ah, maksiat maupun fanatisme kepada seseorang atau kelompok dan lain-lainnya.

Lihat: Hukmul Intima` hal 31-37 dan Mauqif Ahlus Sunnah wal Jama’ah 1/46-47.

Wallahu Ta’ala A’lam.

(Dikutip dari tulisan Al Ustadz Abu Muhammad Dzulqarnain, judul asli Hakikat Dakwah Salafiyah. URL Sumber http://www.an-nashihah.com/isi_berita.php?id=39)

Sumber: http://www.an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=Manhaj&article=29

BERSABARLAH WAHAI SAUDARAKU


posted in Akhlak & Adab, Untaian Nasehat |
Oleh Ustadz Abu Rosyid Ash-Shinkuan

Senang, bahagia, suka cita, sedih, kecewa dan duka adalah sesuatu yang biasa dialami manusia. Ketika mendapatkan sesuatu yang menggembirakan dari kesenangan-kesenangan duniawi maka dia akan senang dan gembira. Sebaliknya ketika tidak mendapatkan apa yang diinginkan maka dia merasa sedih dan kecewa bahkan kadang-kadang sampai putus asa.
Akan tetapi sebenarnya bagi seorang mukmin, semua perkaranya adalah baik. Hal ini diterangkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Sungguh menakjubkan perkaranya orang mukmin. Sesungguhnya semua perkaranya adalah baik dan tidaklah hal ini dimiliki oleh seorangpun kecuali oleh orang mukmin. Jika dia diberi kenikmatan/kesenangan, dia bersyukur maka jadilah ini sebagai kebaikan baginya. Sebaliknya jika dia ditimpa musibah (sesuatu yang tidak menyenangkan), dia bersabar, maka ini juga menjadi kebaikan baginya.” (HR. Muslim)

Kriteria Orang yang Paling Mulia
Sesungguhnya kesenangan duniawi seperti harta dan status sosial bukanlah ukuran bagi kemuliaan seseorang. Karena Allah Ta’ala memberikan dunia kepada orang yang dicintai dan orang yang tidak dicintai-Nya. Akan tetapi Allah akan memberikan agama ini hanya kepada orang yang dicintai-Nya. Sehingga ukuran/patokan akan kemuliaan seseorang adalah derajat ketakwaannya. Semakin bertakwa maka dia semakin mulia di sisi Allah.
Allah berfirman:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS.Al-Hujurat: 13)

Jangan Sedih ketika Tidak Dapat Dunia
Wahai saudaraku, ingatlah bahwa seluruh manusia telah Allah tentukan rizkinya -termasuk juga jodohnya-, ajalnya, amalannya, bahagia atau pun sengsaranya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya salah seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya selama 40 hari dalam bentuk nuthfah (air mani) kemudian berbentuk segumpal darah dalam waktu yang sama lalu menjadi segumpal daging dalam waktu yang sama pula. Kemudian diutus seorang malaikat kepadanya lalu ditiupkan ruh padanya dan diperintahkan dengan empat kalimat/perkara: ditentukan rizkinya, ajalnya, amalannya, sengsara atau bahagianya.” (HR. Al-Bukhariy dan Muslim)

Tidaklah sesuatu menimpa pada kita kecuali telah Allah taqdirkan. Allah Ta’ala berfirman:
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada diri kalian sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kalian jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kalian, dan supaya kalian jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepada kalian. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri, (yaitu) orang-orang yang kikir dan menyuruh manusia berbuat kikir. Dan barangsiapa yang berpaling (dari perintah-perintah Allah) maka sesungguhnya Allah Dia-lah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS.Al-Hadiid: 22-24)

Kalau kita merasa betapa sulitnya mencari penghidupan dan dalam menjalani hidup ini, maka ingatlah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Tiada suatu amalan pun yang mendekatkan ke surga kecuali aku telah perintahkan kalian dengannya dan tiada suatu amalan pun yang mendekatkan ke neraka kecuali aku telah larang kalian darinya. Sungguh salah seorang di antara kalian tidak akan lambat rizkinya. Sesungguhnya Jibril telah menyampaikan pada hatiku bahwa salah seorang dari kalian tidak akan keluar dari dunia (meninggal dunia) sampai disempurnakan rizkinya. Maka bertakwalah kepada Allah wahai manusia dan perbaguslah dalam mencari rizki. Maka apabila salah seorang di antara kalian merasa/menganggap bahwa rizkinya lambat maka janganlah mencarinya dengan bermaksiat kepada Allah karena sesungguhnya keutamaan/karunia Allah tidak akan didapat dengan maksiat.” (HR. Al-Hakim)

Maka berusahalah beramal/beribadah dengan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan jangan membuat perkara baru dalam agama (baca:bid’ah).

Dan berusahalah mencari rizki dengan cara yang halal serta hindari sejauh-jauhnya hal-hal yang diharamkan.

Hendaklah Orang yang Mampu Membantu
Hendaklah bagi orang yang mempunyai kelebihan harta ataupun yang punya kedudukan agar membantu saudaranya yang kurang mampu dan yang mengalami kesulitan. Allah berfirman:
“Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS.Al-Maidah: 2)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa menghilangkan satu kesusahan dari kesusahan-kesusahan dunia dari seorang mukmin, maka Allah akan hilangkan darinya satu kesusahan dari kesusahan-kesusahan hari kiamat. Dan barangsiapa yang memudahkan orang yang mengalami kesulitan maka Allah akan mudahkan baginya di dunia dan di akhirat. Dan barangsiapa yang menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan tutupi aibnya di dunia dan akhirat. Dan Allah akan senantiasa menolong hamba selama hamba tersebut mau menolong saudaranya.” (HR. Muslim)

Berdo’a ketika Sedih
Jika kita merasa sedih karena sesuatu menimpa kita seperti kehilangan harta, sulit mencari pekerjaan, kematian salah seorang keluarga kita, tidak mendapatkan sesuatu yang kita idam-idamkan, jodoh tak kunjung datang ataupun yang lainnya, maka ucapkanlah do’a berikut yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Tidaklah seseorang ditimpa suatu kegundahan maupun kesedihan lalu dia berdo’a: “Ya Allah, sesungguhnya saya adalah hamba-Mu, putra hamba laki-laki-Mu, putra hamba perempuan-Mu, ubun-ubunku ada di Tangan-Mu, telah berlalu padaku hukum-Mu, adil ketentuan-Mu untukku. Saya meminta kepada-Mu dengan seluruh Nama yang Engkau miliki, yang Engkau menamakannya untuk Diri-Mu atau yang Engkau ajarkan kepada seseorang dari makhluk-Mu atau yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu atau yang Engkau simpan dalam ilmu ghaib yang ada di sisi-Mu. Jadikanlah Al-Qur`an sebagai musim semi (penyejuk) hatiku dan cahaya dadaku, pengusir kesedihanku serta penghilang kegundahanku.” kecuali akan Allah hilangkan kegundahan dan kesedihannya dan akan diganti dengan diberikan jalan keluar dan kegembiraan.” Tiba-tiba ada yang bertanya: “Ya Rasulullah, tidakkah kami ajarkan do’a ini (kepada orang lain)? Maka Rasulullah menjawab: “Bahkan selayaknya bagi siapa saja yang mendengarnya agar mengajarkannya (kepada yang lain).” (HR. Ahmad)

Juga do’a berikut ini:
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari gundah gulana, sedih, lemah, malas, kikir, penakut, terlilit hutang dan dari tekanan/penindasan orang lain.” (HR. Bukhariy)

Ilmu adalah Pengganti Segala Kelezatan
Di antara hal yang bisa menghibur seseorang ketika mengalami kesepian atau ketika sedang dilanda kesedihan adalah menuntut ilmu dan senantiasa bersama ilmu.

Berkata Al-Imam Al-Mawardiy: “Ilmu adalah pengganti dari segala kelezatan dan mencukupi dari segala kesenangan…. Barangsiapa yang menyendiri dengan ilmu maka kesendiriannya itu tidak menjadikan dia sepi. Dan barangsiapa yang menghibur diri dengan kitab-kitab maka dia akan mendapat kesenangan…. Maka tidak ada teman ngobrol sebaik ilmu dan tidak ada sifat yang akan menolong pemiliknya seperti sifat al-hilm (sabar dan tidak terburu-buru).“ (Adabud Dunya wad Diin)

Duhai kiranya kita dapat mengambil manfaat dari ilmu yang kita miliki sehingga kita tidak akan merasa kesepian walaupun kita sendirian di malam yang sunyi tetapi ilmu itulah yang setia menemani.

Contoh Orang-orang yang Sabar
Cobaan yang menimpa kita kadang-kadang menjadikan kita bersedih tetapi hendaklah kesedihan itu dihadapi dengan kesabaran dan menyerahkan semua permasalahan kepada Allah, supaya Dia menghilangkan kesedihan tersebut dan menggantikannya dengan kegembiraan.

Allah berfirman mengisahkan tentang Nabi Ya’qub:
“Dan Ya`qub berpaling dari mereka (anak-anaknya) seraya berkata: “Aduhai duka citaku terhadap Yusuf”, dan kedua matanya menjadi putih karena kesedihan dan dia adalah seorang yang menahan amarahnya (terhadap anak-anaknya). Mereka berkata: “Demi Allah, senantiasa kamu mengingati Yusuf, sehingga kamu mengidapkan penyakit yang berat atau termasuk orang-orang yang binasa.” Ya`qub menjawab: “Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kalian tiada mengetahuinya.” (QS.Yusuf: 84-86)

Allah juga berfirman mengisahkan tentang Maryam:
“Maka Maryam mengandungnya, lalu ia menyisihkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh. Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma, ia berkata: “Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi sesuatu yang tidak berarti, lagi dilupakan.” Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah: “Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu. Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu.” (QS.Maryam: 22-25)

Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita sebagai orang-orang yang sabar dan istiqamah dalam menjalankan syari’at-Nya, amin. Wallaahu A’lam.

(Sumber: Buletin Al Wala’ wa Bara’, Edisi ke-4 Tahun ke-3/17 Desember 2004 M/05 Dzul Qo’dah 1425 H. Judul asli ‘Janganlah Bersedih Wahai Saudaraku’ Diterbitkan Yayasan Forum Dakwah Ahlussunnah Wal Jamaah Bandung) http://www.ahlussunnah-jakarta.com/buletin_detil.php?id=40

TANYA JAWAB SEPUTAR HUBUNGAN SUAMI ISTRI DI BULAN RAMADHAN


posted in Fatwa Ulama |
Berikut ini kami ketengahkan beberapa fatwa ulama berkaitan seputar hubungan suami istri di bulan Ramadhan. Semoga bermanfaat.

PERTANYAAN: Apakah boleh bagi orang yang berpuasa menyetubuhi istrinya di malam-malam bulan Ramadhan? Dan apa dalilnya?

JAWABAN:

Ya, hal itu dibolehkan dan dalil untuk hal itu adalah firman Allah Ta’ala:

“Dihalalkan buat kalian pada malam puasa untuk menggauli istri-istri kalian.” (QS. Al-Baqarah: 187)
PERTANYAAN: Apa hukum orang yang bersetubuh dengan istrinya di siang hari bulan Ramadhan dan apakah dibolehkan bagi musafir apabila ia telah berbuka kemudian menyetubuhi istrinya?

JAWABAN:

Bagi orang yang menyetubuhi istrinya di siang hari bulan Ramadhan padahal dia sedang puasa dengan puasa wajib, maka wajib baginya membayar kaffarah, yakni -yang saya maksud- kaffarah adz-dzihar, disertai dengan wajibnya mengqadha serta bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas apa yang dia terjerumus darinya. Adapun jika dia dalam keadaan musafir atau sakit dengan sakit yang membolehkan baginya untuk berbuka, maka tidak ada kaffarah baginya dan tidak mengapa serta wajib baginya mengqadha puasa dari hari yang dia melakukan hubungan badan dengan istrinya tersebut. Karena musafir dan orang yang sakit diperkenankan bagi keduanya berbuka dan melakukan hubungan seks dengan istrinya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Barangsiapa dari kalian sakit atau dalam keadaan safar, maka gantilah di hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 184)

Hukum bagi seorang wanita dalam hal ini sama seperti hukum bagi seorang lelaki, jika puasanya wajib, maka wajib baginya untuk membayar kaffarah disertai dengan qadha dan jika dalam keadaan musafir atau sakit dengan sakit yang memberatkan bila dia berpuasa, maka tidak ada kaffarah baginya.

PERTANYAAN: Apa hukum bagi bagi seorang yang sedang berpuasa makan dan minum atau bersetubuh dengan istrinya dengan perkiraan bahwa matahari telah tenggelam atau waktu fajar belum terbit?

JAWABAN:

Yang benar, baginya qadha dan kaffarah adz-dzihar dari jima’ [1], menurut pendapat jumhur ulama, dalam rangka menutup pintu sikap penggampangan/peremehan dan berhati-hati terhadap puasa.

PERTANYAAN: Apa penyebab turunnya firman Allah Ta’ala:

“Dihalalkan buat kalian pada malam puasa untuk menggauli istri-istri kalian.” (QS. Al-Baqarah: 187)

JAWABAN:

Sebab turunnya (asbabun nuzul) ayat yang mulia ini -sebagaimana yang telah dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan selainnya dari hadits Al-Baraa’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu ia berkata: “Dahulu para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam apabila seorang sedang berpuasa, kemudian tiba waktu berbuka, lalu tertidur/sengaja tidur sebelum berbuka tidak makan pada malam hari dan tidak pula pada siang hingga sore harinya. Dan sesungguhnya Qais bin Sharmah Al-Anshari sedang berpuasa, maka ketika tiba waktu berbuka ia mendatangi istrinya dan berkata kepadanya: “Adakah kamu mempunyai makanan?” Ia berkata: “Tidak, aku akan pergi mencarikan untukmu.” Pada hari itu ia bekerja (cukup) keras, sehingga ia pun tertidur kecapaian, lalu datanglah istrinya dan si istri menjumpainya dalam keadaan tidur, seraya berkata: “Kerugian untukmu.” Maka ketika sudah masuk pertengahan siang ia terbangun. Dan disampaikanlah hal itu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian turunlah ayat:

“Dihalalkan buat kalian pada malam puasa untuk menggauli istri-istri kalian ….” [2] (QS. Al-Baqarah: 187)

Maka bergembiralah mereka dengan kegembiraan yang sangat, dan turunlah ayat:

“Dan makan serta minumlah kalian sampai nampak bagi kalian benang putih dari benang hitam.” (QS. Al-Baqarah: 187)

Dan dalam riwayat Al-Bukhari disebutkan: Ketika turun perintah puasa di bulan Ramadhan, mereka tidak mendekati (menggauli -ed.) wanita selama bulan Ramadhan penuh dan para suami mereka mengkhianati diri-diri mereka, lalu Allah turunkan ayat-Nya:

“Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu.” (QS. Al-Baqarah: 187)

PERTANYAAN: Seseorang menyetubuhi istrinya, padahal si istri sedang berpuasa apakah batal puasanya?

JAWABAN:

Ya, apabila dia menyetubuhi istrinya dan si istri sedang berpuasa, maka batallah puasanya [3], tanpa ada khilaf -sepengetahuan saya-, kecuali dalam satu keadaan saja yaitu: bila si istri dipaksa untuk melakukan persetubuhan, sesungguhnya apabila si istri dipaksa oleh sang suami untuk melakukan hubungan seksual di siang hari bulan Ramadhan dan ia menyerah dengan pasrah kepada sang suami, maka yang nampak bagiku -wallahu a’lam- bahwasanya si wanita tersebut tidak batal puasanya. Wallahu a’lam.

PERTANYAAN: Apabila seorang suami menyetubuhi istrinya (keduanya sedang berpuasa) tetapi tidak sampai mengeluarkan sperma, apakah mengharuskan keduanya melakukan apa yang dilakukan oleh orang yang bersetubuh sampai selesai?

JAWABAN:

Ya, mengharuskan keduanya melakukan sebagaimana yang harus dilakukan oleh orang yang menggauli (bersetubuh dengan) istrinya sampai selesai, selama al-hasyafah (bagian kepala dzakar laki-laki -pent.) telah terbenam di dalam kemaluan wanita (walaupun keduanya tidak sampai mengeluarkan sperma -pent.), demikianlah pendapat kebanyakan para ulama. Wallahu a’lam.

PERTANYAAN: Apakah wajib bagi seorang wanita membayar kaffarah apabila ia disetubuhi oleh suaminya pada bulan Ramadhan, padahal ia sedang berpuasa?

JAWABAN:

Dalam hal ini terjadi khilaf di antara para ahli ilmu. Sumbernya memandang kepada hadits orang yang melakukan jima’ di bulan Ramadhan -yang telah dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dan selain keduanya dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dan di dalamnya disebutkan: “Ketika kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tiba-tiba datang seseorang dan berkata: “Ya Rasulullah, celaka aku!” Beliau berkata: “Ada apa dengan kamu?” Ia berkata: “Aku menyetubuhi istriku, sedang aku dalam keadaan berpuasa.” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apakah kamu memiliki budak yang bisa kamu merdekakan?” Ia menjawab: “Tidak.” Beliau bersabda: “Apakah kamu mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Ia menjawab: “Tidak.” Beliau bersabda: “Apakah kamu bisa memberi makan enam puluh orang miskin?” Sekali lagi ia menjawab: “Tidak.” Lalu diamlah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan ketika kami masih berada dalam keadaan hening (terdiam), didatangkanlah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebuah keranjang yang berisi kurma. Beliau bersabda: “Mana orang yang bertanya tadi?” Ia berkata: “Saya.” Beliau bersabda: “Ambillah ini dan sedekahkanlah dengannya.” Orang tersebut berkata: “Apakah ada orang yang lebih fakir dariku ya Rasulullah? Demi Allah tidak ada di antara dua kampung ini rumah yang lebih fakir dari rumahku.” Tertawalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sampai nampak gigi taringnya, kemudian beliau bersabda: “Berikan ini kepada keluargamu.”

Pertama, sebagian ulama dalam memandang hadits ini ada yang memahami, bahwa Nabi memerintahkan kepada orang yang berjima’ itu membayar kaffarah dan secara otomatis si istri terikutsertakan di dalamnya. Pengertiannya, bahwa si istri terkena kewajiban membayar kaffarah juga. Dan ini pendapat jumhur ulama.

Kedua, di antara mereka (para ulama) ada yang mengatakan: Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan sang suami untuk membayar kaffarah dan tidak memerintahkan kepada si wanitanya, dengan alasan ini, maka wanita tidak terkena apa-apa sedikitpun.

Ketiga, dan sebagian dari mereka ada yang mengatakan: Wajib bagi keduanya membayar kaffarah sekali saja, kecuali puasa, keduanya harus melakukannya.

Keempat, di antara mereka ada yang membedakan antara yang dipaksa dan yang suka sama suka (kemauan untuk melakukan hubungan seksual di siang hari bulan Ramadhan tersebut dari kedua belah pihak, yaitu suami dan istri -pent.), maka diharuskan membayar kaffarah baginya dan tidak diwajibkan bagi istri yang melakukan hubungan tersebut karena dipaksa oleh sang suami. Wallahu a’lam.

PERTANYAAN: Seseorang menyetubuhi istrinya pada waktu terbitnya fajar, akan tetapi ia meyakini, bahwa waktu malam masih ada (belum masuk waktu fajar), kemudian setelah itu nampak bahwa fajar telah terbit, maka apa yang wajib diperbuat oleh orang tersebut?

JAWABAN:

Telah ditanya Asy-Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah tentang pertanyaan ini, lalu beliau menjawab dengan ucapannya:

Segala puji bagi Allah, dalam masalah ini terdapat tiga pendapat ulama:

1. Bahwa wajib baginya untuk mengqadha puasanya dan membayar kaffarah dan pendapat ini yang masyhur di dalam madzhab Ahmad.

2. Baginya wajib mengqadha saja dan ini merupakan pendapat kedua di dalam madzhab Ahmad dan madzhab Abu Hanifah dan Asy-Syafi’i serta Malik.

3. Tidak (wajib) mengqadha dan tidak pula membayar kaffarah dan ini merupakan pendapat segolongan orang salaf, seperti Sa’id bin Jubair, Mujahid, Al-Hasan, Ishaq, Dawud dan teman-temannya dan Al-Khalaf, mereka mengatakan: “Barangsiapa makan dengan keyakinan bahwa waktu fajar belum terbit, kemudian nampak baginya bahwa waktu fajar telah terbit, maka tidak ada qadha baginya.”

Dan pendapat ini adalah pendapat yang paling shahih dan yang paling menyerupai/mendekati dengan Ushul Syari’at serta dalil Al-Kitab dan As-Sunnah dan ini merupakan qiyas Ahmad dan selainnya.

Sesungguhnya Allah telah mengangkat sanksi/siksa atas orang yang lupa dan tersalah, sedangkan dalam hal ini orang tersebut telah tersalah (tidak sengaja -pen.). Sungguh Allah telah membolehkan makan, minum dan berjima’, sampai nampak dengan jelas benang putih dari benang hitam dari waktu fajar. Dan juga disunnahkan untuk mengakhirkan waktu sahur. Orang yang telah melakukan sesuatu sesuai dengan yang telah dianjurkan dan diperbolehkan baginya serta tidak melampaui batas, maka orang yang demikian ini lebih utama untuk mendapakatkan udzur daripada orang yang lupa. Wallahu a’lam.

Ibu Taimiyyah rahimahullah telah menjawab dengan jawaban yang sama atas pertanyaan yang serupa. Dan di dalam jawabannya, beliau berkata: “Orang yang ragu akan terbitnya fajar, dibolehkan baginya makan, minum dan melakukan hubungan seksual secara ittifaq (berdasarkan kesepakatan para ulama) dan tidak ada qadha baginya jika keraguan itu masih berlangsung pada dirinya.”

PERTANYAAN: Bolehkah orang yang sedang berpuasa mencium dan mencumbu [4] istrinya? Apa dalil atas perkara tersebut?

JAWABAN:

Ya, perbuatan itu dibolehkan dan dalil untuk hal tersebut banyak sekali.

Pertama: Hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang telah dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim menyebutkan: “Pernah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mencium dan mencumbu, sedangkan beliau dalam keadaan puasa.” Ia berkata: “Dan beliau paling bisa menguasai hasratnya daripada kalian.”

Kedua: Di dalam riwayat ‘Aisyah juga di dalam Al-Bukhari: “Sungguh beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mencium sebagian istri-istrinya dan beliau berpuasa, kemudian ia tertawa.” (yang tertawa di sini adalah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha -pent.)

Ketiga: Juga dalam riwayat ‘Aisyah dengan sanad yang shahih di atas syarat Muslim, telah dikeluarkan oleh Abu Dawud: “Dan adalah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menciumku, sedangkan beliau berpuasa dan aku pun berpuasa.”

Keempat: Dan apa yang telah dikeluarkan oleh Muslim dari hadits Ummul Mukminin Hafshah radhiyallahu ‘anha ia berkata: “Pernah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mencium dan beliau sedang berpuasa.”

Kelima: Dan apa yang telah dikeluarkan oleh Al-Bukhari, dari hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menciumnya dan beliau sedang berpuasa.

Keenam: Dan apa yang telah dikeluarkan oleh Ahmad, Abu Dawud, Abdun bin Humaid dan selain mereka dari hadits Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma bahwa ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata: “Pada suatu hari aku menginginkannya, lalu aku menciumnya, sedang aku dalam keadaan berpuasa, kemudian aku mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan aku katakan: “Hari ini aku telah melakukan suatu perbuatan yang besar.” Beliau berkata: “Apa itu?” Aku berkata: “Aku mencium istriku dan aku sedang berpuasa.” Beliau menjawab: “Bagaimana pendapatmu kalau kamu berkumur dengan air di waktu puasa?” Aku berkata: “Kalau begitu perbuatan itu tidak merusak puasaku.” Beliau menjawab: “Apa yang dirusaknya?!”

PERTANYAAN: Bagaimana keshahihan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhu yang di dalamnya mengatakan: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah menyentuh wajahku sama sekali, selama aku berpuasa.”?

JAWABAN:

Hadits dengan lafadz yang demikian ini adalah hadits mungkar.

PERTANYAAN: Ada orang yang mengatakan, bahwa bolehnya mencium dalam keadaan puasa itu khusus untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saja dan hal ini dilandasi oleh ucapan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha: “… Dan beliau paling bisa menguasai hasratnya daripada kalian.” Adakah di sana yang dapat membantan ucapan ini?

JAWABAN:

Ya, di sana ada yang membantah dengannya ucapan dan ada beberapa masalah dalam hal ini:

Pertama: Apa yang telah dikeluarkan oleh Muslim di dalam Shahih-nya dari hadits ‘Umar bin Abi Salamah radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia telah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Apakah boleh orang yang berpuasa mencium istrinya?” Berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepadanya: “Tanyakan kepada ini, yakni Ummu Salamah, lalu dikabarkan kepadanya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan hal itu, ia berkata: “Ya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bukankah Allah telah mengampuni dosamu yang terdahulu dan yang akan datang.” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya: “Ketahuilah, demi Allah, sesungguhnya aku lebih bertaqwa kepada Allah daripada kalian dan lebih takut kepada Allah daripada kalian.

Kedua: Telah ada riwayat dari beberapa sahabat dan tabi’in tentang bolehnya mencium bagi orang yang berpuasa, di antaranya dari Ibnu Mas’ud. Telah shahih riwayat darinya, bahwa ia pernah mencumbu mesra istrinya di pertengahan siang sedangkan dia berpuasa. Dan ada pula riwayat dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa ia ditanya tentang apa yang dihalalkan bagi suami dari istrinya ketika sedang berpuasa, ia menjawab: “Segala sesuatu, kecuali jima’.”

Ketiga: Dan telah shahih dari Sa’ad bin Malik, bahwa ia menggosok-gosok kemaluan istrinya dengan tangannya dan dia sedang berpuasa.

Keempat: Dan telah shahih riwayat dari Ikrimah, Asy-Sya’bi dan Said bin Jubair, bahwa mereka membolehkan bagi orang yang berpuasa untuk mencium istrinya.

Kelima: Bahwa Abu Muhammad bin Hazm rahimahullah telah menjawab dengan hujjah atas ucapan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhu: “Dan beliau paling bisa menguasai hasratnya daripada kalian”: Tidak ada hujjah bagimu di dalam ucapan ‘Aisyah karena ‘Aisyah mengatakan: “Dahulu, apabila salah seorang dari kami (istri-istri Nabi) sedang haid dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ingin mencumbuinya, beliau memerintahkan kepada istrinya untuk memakai kain sarung guna menutupi bagian kemaluannya, kemudian mencumbuinya. Dan ia berkata: “Siapakah dari kalian yang mampu menguasai hasratnya, sebagaimana dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menguasai dan mengendalikan hasrat jima’nya?” Bahwa ucapannya tentang ciuman orang yang sedang berpuasa tersebut menuntut kekhususan baginya. Sedangkan ucapan ‘Aisyah dalam hadits tersebut di atas tentang menggauli wanita yang sedang haid yang mengharuskan adanya kekhususan juga baginya atau bahwasanya itu perkara yang dibenci atau dibolehkan hanya untuk orang yang sudah tua, bukan seorang yang masih muda [5] dan tidaklah mungkin mereka di sini menganggap adanya ijma’ karena Ibnu Abbas dan selainnya tidak menyukai menggauli wanita yang sedang haid secara mutlaq dan demi umurku, sesungguhnya menggauli wanita yang sedang haid sungguh sangat membahayakan, karena sang suami berada di dalam keadaan tanpa melakukan hubungan badan dengan si istri berhari-hari, maka memuncaklah kemauan/hasratnya, adapun orang yang berpuasa pada malam harinya dia dapat menyetubuhi istrinya dan malam yang berikutnya pun akan dapat dilakukan hubungan badan dengan si istri sampai dia bosan dari hubungan badan tersebut …. kemudian beliau rahimahullah menyebutkan riwayat atsar di dalam bab.

PERTANYAAN: Adakah di sana sandaran bagi orang yang berpendapat adanya pembagian antara pemuda dan orang laki-laki yang sudah tua, pemudi dan wanita yang sudah lanjut usia dalam masalah mencium? Apa batasan yang selamat untuk sandaran ini?

JAWABAN:

Ya, mereka mempunyai sandaran dalam hal itu, akan tetapi sandaran mereka lemah. Dan sandaran itu adalah yang telah dikeluarkan oleh Abu Dawud dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa seseorang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang menggauli wanita (istri) bagi orang yang berpuasa, beliau membolehkannya. Lalu datang kepadanya orang yang lainnya dan bertanya tentangnya dan beliau melarangnya. Ternyata yang diberikan keringanan adalah seorang yang sudah tua renta dan yang dilarang oleh beliau seorang pemuda, akan tetapi sanadnya lemah sebagaimana telah dijelaskan dalam penjelasan terdahulu. Kemudian terdapat pula riwayat yang di dalamnya juga terdapat kelemahan.

Dan yang akan membantah atas pemilahan antara pemuda dan orang yang sudah tua renta dalam masalah mencium adalah (riwayat) yang telah dikeluarkan oleh Muslim dari hadits Umar bin Abi Salamah, bahwasanya ia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Apakah orang yang berpuasa boleh mencium (istrinya -pent.)?” Berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepadanya: “Tanyakan kepada ini, yakni Ummu Salamah, lalu dikabarkan kepadanya, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan hal itu. Ia berkata: “Ya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bukankah Allah telah mengampuni dosamu yang terdahulu dan yang akan datang?” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya: “Ketahuilah demi Allah, sesungguhnya aku lebih bertaqwa kepada Allah dari kalian dan lebih takut kepada Allah dari kalian. Dan merupakan perkara yang dimaklumi, bahwa Umar bin Abi Salamah pada masa itu adalah seorang pemuda yang berada pada puncak semangat kepemudaan dan kekuatan.

Dan telah dikeluarkan oleh Malik di dalam Muwatha’ dari Abi An-Nadhr maula ‘Umar bin Ubaidullah, bahwa ‘Aisyah binti Thalhah telah mengabarkan kepadanya, bahwasanya ia pernah berada di tempatnya ‘Aisyah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu masuklah suaminya, Abdullah bin Abdurrahman bin Abi Bakar Ash-Shiddiq, ketika itu dan dia sedang berpuasa. Berkata ‘Aisyah kepadanya: “Apa yang mencegahmu untuk mendekati istrimu, sehingga kamu dapat mencium dan mencumbuinya/bersenang-senang dengannya?” Ia berkata: “Menciumnya, sedang aku dalam keadaan puasa?” ‘Aisyah berkata: “Ya.”

Merupakan perkara yang dimaklumi, bahwa ‘Aisyah binti Thalhah adalah wanita yang paling cantik di jamannya dan ia serta suaminya masih muda belia.

Dan juga, bahwa Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhu, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat berumur 18 tahun dan wanita yang berada di dalam umur sekian ini adalah seorang wanita yang dikategorikan muda belia dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu menciumnya, sedangkan dia (‘Aisyah) wanita yang muda belia. Wallahu ta’ala a’lam.

PERTANYAAN: Apabila seorang suami mencium istrinya yang sedang berpuasa, lalu si istri atau si suami mengeluarkan madzi, apakah ada yang harus dilakukan oleh salah satunya?

JAWABAN:

Apabila seorang suami mencium istrinya yang sedang berpuasa, lalu keluar madzi, maka tidaklah mengapa, karena tidak ada dalil yang mengharuskan untuk berbuat sesuatu. Wallahu a’lam.

PERTANYAAN: Apabila seseorang mencium istrinya atau mencumbunya (yang selain jima’) atau si istri ditindihnya/didekapnya, sehingga dia mengeluarkan sperma (air mani) sedang si istri puasa, apakah batal puasanya?

JAWABAN:

Sebagaimana yang telah lalu, bahwa boleh bagi seorang lelaki untuk mencium dan menggauli istri (kecuali jima’/hubungan badan) padahal si istri sedang berpuasa. Akan tetapi tidak diperkenankan bagi si suami dan istri mengeluar sperma dengan sengaja, hal ini karena dua perkara:

Pertama: Firman Allah Tabaraka wa Ta’ala di dalam hadits qudsi tentang orang yang berpuasa: “Meninggalkan makan, minum dan syahwatnya karena Aku.” Perkara yang dimaklumi, bahwa orang yang sengaja mengeluarkan sperma (air mani), berarti tidak meninggalkan syahwatnya, bahkan telah menyalurkan syahwat dan menyempurnakannya.

Kedua: Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada ‘Umar tentang urusan mencium: “Bagaimana menurutmu andai kamu berkumur.” Maka mencium itu perkara yang dibolehkan, sebagaimana dibolehkannya berkumur, akan tetapi barangsiapa sengaja menelan air yang untuk berkumur ke dalam kerongkongannya, maka dengan itu ia telah batal puasanya. Demikian pula orang yang sengaja mengeluarkan sperma, berarti ia telah berbuka. Wallahu a’lam. Kemudian tidak ada riwayat yang sampai kepada kami, bahwa sahabat -semoga Allah meridhai mereka semua- sengaja mengeluarkan sperma padahal ia berpuasa di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan ditetapkannya oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam permasalahan itu.

Ketiga: Adapun jika dia tidak sengaja, lalu spermanya keluar, maka kedudukannya seperti orang yang berkumur kemudian dengan tidak sengaja air yang ada di dalam mulutnya tertelan, sehingga air masuk ke dalam rongga tenggorokannya, dengan perasaan tidak senang akan hal itu. Untuk hal yang terakhir ini (yakni berkumur) dihukumi dengan tidak dipermasalahkan, maka untuk hal yang pertama (keluarnya sperma dengan tidak disengaja) juga tidaklah mengapa. Dan untuk wanita, dalam hal ini seperti kaum lelaki, sesuai dengan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Para wanita itu merupakan saudara laki-laki.”

PERTANYAAN: Seandainya ada seorang wanita yang melakukan hal sebagaimana yang dilakukan oleh wanita-wanita jalang, yakni perbuatan memainkan dengan dirinya sendiri, lalu keluar spermanya [6], padahal ia sedang berpuasa, apakah dengan ini batal puasanya? Wajibkah baginya membayar kaffarah tertentu? Dan apa itu?

JAWABAN:

Satu kelompok dari kalangan ahli ilmu berpendapat, bahwa wanita itu telah berbuka (batal puasanya) sesuai dengan hadits qudsi: “Meninggalkan makan, minum dan syahwatnya karena Aku.” Dan ini adalah pendapat jumhur ulama. Namun di sana ada orang yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan syahwat adalah syahwat jima’. Dengan didasari pendapat ini, maka perbuatan tersebut tidak membatalkan puasa. Wallahu a’lam.

Adapun untuk kaffarah, maka tidak aku ketahui bahwa baginya ada kaffarah tertentu. Tidaklah dibolehkan menyejajarkan perbuatan tersebut dengan perbuatan orang yang melakukan jima’ dan ini dinilai sangatlah jauh (berbeda). Wallahu a’lam.

Catatan kaki:

[1] Kaffarah adz-dzihar dari jima’ adalah penghapus dosa orang yang menyatakan kepada istrinya, kamu seperti punggung ibuku (berarti orang tersebut mengharamkan dirinya untuk menggauli istrinya) tentang hukum orang yang melakukan perbuatan ini dapat dilihat di dalam Al-Qur’an surat Al-Mujadilah ayat 1-4 (-pent).

[2] Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Ini merupakan keringanan dari Allah Ta’ala untuk kaum muslimin dan mengangkat hal yang dulu di awal permulaan Islam, bahwasanya apabila salah seorang dari mereka telah berbuka, dihalalkan baginya makan dan minum serta jima’ sampai batas waktu shalat Isya’, atau tidur sebelum itu, maka kapanpun ia tidur atau menegakkan shalat Isya’ diharamkan baginya makan dan minum serta jima’ hingga malam berikutnya, untuk itu mereka menjumpai keberatan yang besar dan “ar-rats” bermakna jima’ (bersetubuh).

Aku (Mustafa) berkata: Ayat ini diturunkan dalam rangka memberi keringanan bagi mereka dalam mendatangi istri-istri mereka sepanjang malam sampai batas waktu terbitnya fajar. Wallahu a’lam.

[3] Dan ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala di dalam hadits qudsi: “Dia meninggalkan makan, minum dan syahwatnya karena Aku ….” Dan orang ini tidak meninggalkan syahwatnya. Wallahu a’lam.

[4] Maksud mencumbu di sini hanya sekedar bercumbu mesra dengan melakukan ciuman, pelukan dan lain-lain, selain hubungan badan (jima’). Sebab jima’ adalah termasuk hal yang membatalkan puasa tanpa ada khilaf padanya -pent.

[5] Keterangan di atas menjelaskan, bahwa dalil yang digunakan oleh orang yang mengkhususkan ciuman di waktu sedang berpuasa hanya untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan dalil yang dibawakan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang menyatakan: “Siapakah yang paling bisa menahan hasratnya dari kalian.” Padahal hadits ini dalam kaitan dengan cumbuan Nabi dengan istrinya ketika istrinya sedang haid, sebagaimana dalam riwayat, beliau memerintahkan kepada istrinya untuk menutupi kemaluannya dengan sarung apabila si istri sedang haid, lalu setelah itu beliau mencumbuinya. Barulah setelah itu ucapan ‘Aisyah: “Siapakah yang paling bisa ….” Kalau memang ada kekhususan bagi orang yang berpuasa, maka menggauli wanita yang sedang haid tentunya ada kekhususannya pula, jika demikian keadaannya, karena menggauli wanita yang sedang haid itu lebih berbahaya daripada menggauli wanita dalam keadaan berpuasa. Mengapa? Karena ketika wanita sedang haid, sang suami akan menunggu berhari-hari tanpa jima’/hubungan badan dengannya, sehingga syahwatnya benar-benar (akan) memuncak yang dikhawatirkan sulit untuk dikendalikan. Adapun bagi orang yang berpuasa tidaklah demikian, emosi syahwatnya lebih bisa dikendalikan karena pada waktu malam mereka bisa menggauli istri-istrinya (-pent.).

[6] Maksud pertanyaan di atas adalah tentang bagaimana hukum seorang wanita yang sedang berpuasa melakukan masturbasi (yaitu mempermainkan alat kelaminnya dengan tangan atau lainnya sampai mengeluarkan sperma), sedangkan untuk kaum lelaki perbuatan itu disebut onani. Kedua perbuatan tersebut (masturbasi dan onani) sesuai dengan pendapat kebanyakan para ulama diharamkan, lebih-lebih bila dilakukan di bulan Ramadhan (-pent.).

Sumber: Tuntunan Ibadah Ramadhan & Hari Raya oleh Syaikh Bin Baz, Syaikh Bin Utsaimin, Syaikh ‘Ali Hasan, Syaikh Salim al-Hilaly dan Syaikh bin Jibrin (penerjemah/penyusun: Hannan Hoesin Bahannan dkk), penerbit: Maktabah Salafy Press, Tegal. Cet. Pertana, Rajab 1423 H / September 2002 M. Hal. 183, 186-202.

* * *

Memaksa Isteri untuk Tidak Berpuasa dengan Cara Mencampurinya


Pertanyaan ke-333: Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya: Jika seorang pria mencampuri istrinya di siang hari pada bulan Ramadhan, yang mana hal itu dilakukan karena dipaksa suaminya. Perlu diketahui, bahwa kedua orang itu tidak sanggup memerdekakan budak dan tidak mampu berpuasa selama dua bulan berturut-turut karena kesibukan keduanya dalam mencari nafkah, apakah tebusannya cukup dengan memberi makan kepada orang miskin dan berapa ukurannya serta apa jenisnya?

Jawaban:

Jika seorang pria memaksa istrinya untuk bersenggama saat keduanya berpuasa, maka puasa sang istri sah dan tidak dikenakan kaffarah (tebusan) baginya, namun sang suami dikenakan kaffarah karena persetubuhan yang ia lakukan itu jika dilakukan pada siang hari di bulan Ramadhan. Kaffarahnya adalah memerdekakan seorang hamba sahaya, jika ia tidak menemukan hamba sahaya maka hendaknya ia berpuasa selama dua bulan berturut-turut, jika ia tidak sanggup maka hendaknya ia memberi makan orang miskin sebanyak enam puluh orang berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang telah disebutkan dalam Ash-Shahihain, dan bagi sang suami harus mengqadha puasanya. (Fatawa Ash-Shiyam, hal. 80-81)


Seorang Pria Musafir Tiba di Rumahnya Pada Siang Hari Ramadhan Lalu Ingin Menggauli Istrinya


Pertanyaan ke-335: Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya: Seorang pria melakukan perjalanan pendek, perjalanan itu dilakukan di bulan Ramadhan, maka ia pun tidak berpuasa. Ketika ia tiba di rumahnya pada siang hari Ramadhan, ia ingin menggauli istrinya dengan atau tanpa ridha istrinya, bagaimana hukum perbuatan suaminya itu dan bagaimana hukum istrinya jika melayani suaminya dengan ridha atau dengan paksaan?

Jawaban:

Mengenai suaminya, sebagaimana yang anda dengar bahwa ia adalah seorang musafir yang tidak berpuasa lalu kembali ke kampungnya dalam keadaan tidak berpuasa. Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat di antara ulama. Ada yang berpendapat: Bahwa seorang musafir jika ia telah sampai di kampung halamannya dalam keadaan tidak berpuasa maka ia harus imsak (menahan dari yang membatalkan) sebagai penghormatan terhadap hari itu, walaupun puasanya itu tidak dihitung karena ia diharuskan mengqadha puasa pada hari itu. Sebagian ulama lainnya berpendapat: Bahwa seorang musafir jika telah sampai di kampung halamannya dalam keadaan tidak berpuasa, maka tidak diharuskan baginya untuk berpuasa dan boleh baginya untuk makan pada sisa hari itu.

Kedua pendapat ini diriwayatkan dari Imam Ahmad, pendapat yang paling benar di antara kedua pendapat ini adalah tidak diwajibkan baginya untuk berpuasa pada sisa hari itu, karena jika ia berpuasa pada sisa hari itu maka puasanya tidak mendatangkan faedah apa pun, karena waktu tersebut bagi musafir itu bukan waktu yang harus dihormati, sebab pada hari itu dibolehkan baginya untuk makan dan minum sejak permulaan hari, sedangkan puasa sebagaimana yang telah kita ketahui, adalah menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari.

Karena itu, diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwa ia berkata: “Barangsiapa yang makan di permulaan hari maka hendaknya ia makan di akhir hari, karena siang hari baginya tidak terhormat (karena tidak berpuasa).” Berdasarkan ungkapan ini maka musafir yang sampai ke tempatnya dalam keadaan tidak berpuasa dibolehkan baginya untuk makan dan minum pada sisa hari itu.

Adapun bersetubuh, tidak boleh baginya menyetubuhi istrinya yang sedang menjalankan puasa fardhu, karena hal itu akan merusak puasanya. Jika sang suami memaksanya dan menyetubuhinya, maka tidak ada kaffarah pada sang istri, dan tidak ada pula kaffarah bagi suaminya karena tidak diwajibkan baginya berpuasa sebab ia tiba di kampung halamannya dalam keadaan sedang tidak berpuasa. (Durus wa Fatawa Al-Haram Al-Makki, Syaikh Ibnu Utsaimin, 3/85)


Menggauli Istri Pada Siang Hari Ramadhan Tiga Hari Berturut-turut


Pertanyaan ke-339: Syaikh Shalih Al-Fauzan ditanya: Seorang pria menggauli istrinya pada siang hari Ramadhan selama tiga hari berturut-turut, apa yang harus ia lakukan?

Jawaban:

Jika seorang yang berpuasa bersetubuh saat berpuasa, maka ia telah melakukan dosa yang besar, wajib baginya untuk bertaubat kepada Allah dari dosa yang ia lakukan itu dan mengqadha puasanya itu. Di samping itu wajib baginya untuk melaksanakan kaffarah (memenuhi tebusan), yaitu memerdekakan hamba sahaya, jika tidak bisa maka ia harus berpuasa selama dua bulan berturut-turut, jika tidak sanggup maka ia harus memberi makan kepada enam puluh orang miskin, setiap orang miskin mendapatkan setengah sha’ makanan pokok. Kaffarah itu dilakukan sesuai dengan jumlah hari yang ia gunakan untuk bersetubuh yaitu setiap hari satu kaffarah tersendiri. Wallahu a’lam. (Kitab Al-Muntaqa min Fatawa Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, 1/116)


Faedah: Syaikh Ibnu Utsaimin telah menerangkan dalam salah satu fatwanya: …, yaitu jika orang ini tidak mampu memerdekakan budak, tidak mampu berpuasa selama dua bulan berturut-turut dan tidak mampu memberi makan enam puluh orang miskin, maka kewajiban kaffarah itu hilang karena Allah tidak akan memberi beban kepada seseorang kecuali sesuai kemampuannya, sebab tidak ada kewajiban jika disertai ketidakmampuan. (Durus wa Fatwa Al-Haram Al-Makki, Syaikh Ibnu Utsaimin, 3/46-47)


Sumber: Fatwa-fatwa tentang Wanita jilid 1, penyusun: Amin bin Yahya Al-Wazan, penerjemah: Amir Hamzah Fakhruddin, penerbit: Darul Haq, cet. III, Syawal 1423 H/ Januari 2003 M.

* * *

Seorang Pemuda yang Menjima’i Istrinya Pada Bulan Ramadhan


Pertanyaan: Fadhilah Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu ditanya: Saya seorang pemuda, saya menjima’i istri saya di siang bulan Ramadhan, apakah ada kewajiban bagi saya membeli kurma untuk saya sedekahkan?

Jawaban:

Apabila dia seorang pemuda dan mampu, maka berpuasa dua bulan berturut-turut. Kita memohon kepada Allah semoga membanttnya melakukan hal itu. Seorang laki-laki, apabila berkeinginan kuat untuk melakukan sesuatu akan menjadi ringan. Adapun apabila dirinya dihinggapi oleh rasa malas dan berat, maka perkara tersebut akan sulit baginya. Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan di dunia ini beberapa perkara yang apabila kita lakukan akan gugur dari kita azab akhirat.

Saya katakan kepada saudara, puasalah dua bulan berturut-turut! Apabila waktu sedang panas dan siang lebih panjang, maka ada keringanan bagimu untuk mengakhirkannya hingga musim dingin. Dan istri seperti suani, apabila dia melayaninya dengan senang hati. Namun apabila dia dipaksa dan tidak mampu untuk melepaskan diri, maka puasanya sempurna dan tidak ada kaffarah baginya dan tidak pula mengqadha. (Durus wa Fatawa Al-Haram Al-Makki, Syaikh Ibnu Utsaimin, 3/60)


Faedah: Setelah menyebutkan hadits tentang kaffarah jima’ di siang hari bulan Ramadhan, Syaikh Ibnu Utsaimin menerangkan: Hadits ini sebagai dalil wajibnya membayar kaffarah bagi orang yang melakukan jima’ di siang bulan Ramadhan dalam keadaan dia wajib berpuasa. Dan kaffarah ini dengan urutan bukan sesuai dengan pilihan. Pertama membebaskan budak, apabila tidak mendapatkannya maka dengan berpuasa dua bulan secara berturut-turut, tidak berbuka antara puasa tersebut kecuali dengan udzur syar’i. Seperti safar atau sakit pada sela-sela dua bulan tersebut, maka tidak halal baginya untuk melakukannya berturut-turut.

Apabila dia berbuka pada sela-sela waktu dua bulan tersebut tanpa adanya udzur yang syar’i, maka dia harus mengulanginya dari awal, meskipun tidak tersisa kecuali tinggal satu hari saja. Apabila dia tidak mampu, yaitu tingkatan yang kedua, maka dia memberi makan kepada enam puluh orang miskin untuk makan pagi atau malam. Wallahul muwafiq. (Fatawa Manarul Islam)


Sumber: Bingkisan ‘tuk Kedua Mempelai karya Abu ‘Abdirrahman Sayyid bin ‘Abdirrahman Ash-Shubaihi (alih bahasa: Abu Hudzaifah), penerbit: Maktabah Al-Ghuroba’, cet. Kedua, Mei 2009.

Sumber: http://fadhlihsan.wordpress.com/2010/08/31/tanya-jawab-seputar-hubungan-suami-istri-di-bulan-ramadhan/

WASPADAILAH PENGHAPUS PAHALA SEDEKAH


Di antara amal kebaikan yang banyak dilakukan kaum muslimin di bulan Ramadhan adalah memberi sedekah. Tidak diragukan lagi bahwa bersedekah di bulan mulia ini memiliki nilai lebih tersendiri. Namun perlu diwaspadai, jangan sampai pahala sedekah yang melimpah menjadi terhapus sia-sia.

Pembaca yang budiman, Allah ta’ala mengingatkan kita dalam firman-Nya :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تُبْطِلُواْ صَدَقَاتِكُم بِالْمَنِّ وَالأذَى كَالَّذِي يُنفِقُ مَالَهُ رِئَاء النَّاسِ وَلاَ يُؤْمِنُ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْداً لاَّ يَقْدِرُونَ عَلَى شَيْءٍ مِّمَّا كَسَبُواْ وَاللّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir . “ (Al Baqarah:264)

[Tiga Perbuatan Penghapus Pahala Sedekah]

Dalam ayat di atas, Allah menjelasakan ada tiga perbuatan yang dapat menghapus pahala sedekah :

Pertama. Menyebut-nyebut pemberian sedekah. ( ِالْمَنِّ) al mann : maksudnya adalah menyebut-nyebut pemberian sedekah di hadapan orang yang diberi sedekah untuk menunjukkan kelebihan dirinya dibanding orang yang diberi sedekah tersebut.

Seperti misalnya si A memberikan sedekah kepada si B. Dia selalu menyebt-nyebut sedekah pemberiannya tersebut di hadapan si B. Seperti ini adalah termasuk perbuatan ( ِالْمَنِّ) al mann yang tercela seperti tersebut dalam ayat di atas. Perbuatan ini mencakup seluruh bentuk sedekah, baik itu sedekah terhadap teman, tetangga, kerabat, maupun istri dan anak-anaknya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :

ثلاثة لا يكلمهم الله يوم القيامة ، ولا ينظر إليهم ، ولا يزكيهم ، ولهم عذاب أليم ، قال فقرأها رسول الله صلى الله عليه وسلم ثلاث مرار . قال أبو ذر : خابوا وخسروا . من هم يا رسول الله ؟ قال : المسبل والمنان والمنفق سلعته بالحلف الكاذب


“ Ada tiga golongan, yang tidak akan Allah ajak bicara pada hari kiamat, tidak akan Allah lihat, dan tidak akan Allah sucikan, serta baginya adzab yang pedih. Rasulullah mengulang sebanyak tiga kali. Abu Dzar bertanya : Siapa mereka wahai Rasulullah ? Sabda beliau : Al musbil (lelaki yang menjulurkan pakaiannya melebihi mata kaki, al mannaan (orang yang suka menyebut-nyebut sedekah pemberian), dan pedagang yang bersumpah dengan sumpah palsu” (H.R. Muslim:106)

Kedua. Menyakiti orang yang diberi sedekah. (َالَّذِي ) al adzaa: secara bahasa maknanya adalah setiap perbuatan yang merugikan atau menyakiti orang lain, baik dalam hal agamanya, kehormatannya, badannya, maupun hartanya. Adapaun (َالَّذِي ) al adzaa yang menghapus pahala sedekah yaitu bersikap sombong terhadap orang yang diberi sedekah dan menyakitinya dengan kalimat yang menyakitkannya, atau dengan sesuatu yang mencela kehormatannya dan merendahkan kemuliaan dan kedudukan orang tersebut.

Ketiga. Perbuatan riya’. ( الرياء ) ar riyaa’ : yakni perbuatan seorang hamba menampakkan amalnya kepada manusia karena ingin mendapat pujian. Jika seseorang riya’ dalam amalan sedekahnya maka akan menghapus pahala sedekah tersebut. Bahkan perbutan riya’ tidah hanya dalam masalah sedekah saja. Riya’ dapat terjadi pada setiap amal dan menghapus pahala amal tersebut. [Lihat Nidaa-atu ar Rahman li Ahlil iman 21-22, Syaikh Abu Bakr Al Jazaairy]

Imam Ibnu Katsir menjelasakan : “Dalam firman-Nya (لاَ تُبْطِلُواْ صَدَقَاتِكُم بِالْمَنِّ وَالأذَى ) (janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima)) Allah menerangkan bahwa pahala sedekah itu dapat hilang disebabkan karena menyebut-nyebut sedekah dan juga dengan tindakan menyakiti orang yang diberi sedekah.. Dosa menyebut-nyebut dan menyakiti itu menyebabkan hilangnya pahala sedekah. Kemudian Allah berfirman (كَالَّذِي يُنفِقُ مَالَهُ رِئَاء النَّاسِ ) (), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia). Maksudnya, janganlah kalian membatalkan pahala sedekah kalian dengan menyebut-nyebut sedekah dan menyakiti orang yang diberi sedekah, sebagaimana tidak bernilainya sedekah orang yang riya’ karena manusia. Orang yang riya’ adalah yang menampakkan dihadapan orang lain bahwa dia ikhlas dalam beramal, padahal maksud sebenarnya adalah agar dia dipuji oleh orang lain. atau agar terkenal dengan sifat-sifat terpuji sehingga banyak orang yang mengaguminya, atau beramal agar disebut sebagai orang dermawan, atau maksud-maksud duniawi lainnya. Pelaku riya’ tidak memiliki perhatian untuk taat kepada Allah, mencari ridha-Nya dan mengharap pahala-Nya. Oleh karena itu, Allah berfirman (وَلاَ يُؤْمِنُ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ) (dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian). ” [Lihat Tafsir al Quran al ‘Adzhim surat al Baqarah ayat 264, al Imam Ibnu Katsir]

Waspadailah saudaraku, ketiga perbuatan tersebut dapat merusak pahala sedekah yang kita lakukan.

[Faedah Ayat]

Firman Allah dalam surat al Baqarah 264 di atas mengandung beberapa faedah :

1.Amal keburukan akan menghapus amal kebaikan.

2.Dalam ayat tersebut terkandung perintah untuk tetap menjaga amalan-amalan yang sirr (tersembunyi) agar tidak diketahui orang lain.

3.Menyebut-nyebut pemberian sedekah, menyakiti orang yang diberi sedekah, dan perbuatan riya’ dapat menghapus pahala sedekah

4.Terhapusnya pahala sedekah karena perbuatan menyebut-nyebut pemberian sedekah dan menyakiti orang yang diberi sedekah, sama seperti hapusnya pahala sedekah karena riya’

5.Ketiga sifat di atas termasuk tanda kekufuran.

Semoga Allah ta’ala senantiasa memudahkan kita untuk ikhlas dalam setiap amal yang kita lakukan. Wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad.

* Faedah dari kajian kitab Nidaa-atu ar Rahman li Ahlil iman bersama Ustadz Zaid Susanto,Lc hafizhahullah, ba’da shubuh 14 Ramadhan 1432 H di Ma’had Jamilurrahman, Bantul, Yogyakarta.

Penyusun: Adika Mianoki

Artikel www.muslim.or.id

KEDUDUKAN AKAL DALAM ISLAM (1/3)


♥ Posted on March 13th, 2006 by admin ♥



Akal adalah kelebihan yang diberikan Allah kepada manusia dibanding dengan makhluk-makhluk-Nya yang lain. Dengannya, manusia dapat membuat hal-hal yang dapat mempermudah urusan mereka di dunia. Namun, segala yang dimiliki manusia tentu ada keterbatasan-keterbatasan sehingga ada pagar-pagar yang tidak boleh dilewati. Lalu bagaimana kedudukan akal di dalam Islam?



Pengkultusan kepada akal adalah sumber semua kerusakan di alam semesta, akal dijadikan hakim bagi semua perkara, jika datang syari’at yang tidak dipahami oleh akal, maka syari’at itu akan ditolak.



Dengan pengkultusan pada akal inilah, maka manusia menolak seruan para rasul, karena para rasul mengajak manusia untuk mendahulukan wahyu diatas semua akal dan pemikiran, maka terjadilah pertarungan diantara para pengikut rasul dan para penentangnya.



Para pengikut rasul mendahulukan wahyu diatas semua akal dan pemikiran, adapun para pengikut iblis maka mereka mendahulukan akal diatas semua wahyu!



Karena inilah kita melihat begitu banyak orang-orang awam yang pendek akalnya, sedikit ilmunya, dan lemah pandangannya terkena virus pengkultusan akal ini.



Begitu sering kita mendengar seorang yang jahil memprotes Sunnah Nabi!



Begitu sering kita mendengar seorang yang dungu menentang nash syar’i yang mutawatir!



begitu sering kita mendengar seorang yang baru belajar agama dengan lantang menolak aqidah-aqidah yang baku!



Dalam keadaan mereka ini semua menganggap diri-diri mereka pakar-pakar agama yang jempolan!!



Bahkan mereka kini dielu-elukan oleh manusia dengan sebutan-sebutan yang mentereng; Ustadz…Pemikir…Mujaddid…Filosof…Cendekiawan…dan sebutan-sebutan lain yang kosong dari hakekatnya.



Melihat ini semua, kami memohon taufiq kepada Allah untuk menjelaskan kedudukan akal secara syar’i sekaligus membantah dan mematahkan syubhat-syubhat para pendewa akal ini.





♥ DEFINIS AKAL ♥



Akal secara bahasa dari mashdar Ya’qilu, ‘Aqala, ‘Aqlaa, jika dia menahan dan memegang erat apa yang dia ketahui.1



Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,



‘Kata akal, menahan, mengekang, menjaga dan semacamnya adalah lawan dari kata melepas, membiarkan, menelantarkan, dan semacamnya. Keduanya nampak pada jisim yang nampak untuk jisim yang nampak, dan terdapat pada hati untuk ilmu batin, maka akal adalah menahan dan memegang erat ilmu, yang mengharuskan untuk mengikutinya. Karena inilah maka lafadz akal dimuthlakkan pada berakal dengan ilmu.2



Syaikh Al Albani berkata,



“Akal menurut asal bahasa adalah At Tarbiyyah yaitu sesuatu yang mengekang dan mengikatnya agar tidak lari kekanan dan kekiri. Dan tidak mungkin bagi orang yang berakal tersebut tidak lari ke kanan dan kiri kecuali jika dia mengikuti kitab dan sunnah dan mengikat dirinya dengan pemahaman salaf.”3



Al Imam Abul Qosim Al Ashbahany berkata,



”akal ada dua macam yaitu : thabi’i dan diusahakan. Yang thabi’i adalah yang datang bersamaan dengan yang kelahiran, seperti kemampuan untuk menyusu, makan, tertawa bila senang, dan menangis bila tidak senang.



Kemudian seorang anak akan mendapat tambahan akal di fase kehidupannya hingga usia 40 tahun. Saat itulah sempurna akalnya, kemudian sesudah itu berkurang akalnya sampai ada yang menjadi pikun. Tambahan ini adalah akal yang diusahakan.



Adapun ilmu maka setiap hari juga bertambah, batas akhir menuntut ilmu adalah batas akhir umur manusia, maka seorang manusia akan selalu butuh kepada tambahan ilmu selama masih bernyawa, dan kadang dia tidak butuh tambahan akal jika sudah sampai puncaknya.



Hal ini menunjukan bahwa akal lebih lemah dibanding ilmu, dan bahwasanya agama tidak bisa dijangkau dengan akal, tetapi agama dijangkau dengan ilmu.4





♥ PEMULIAAN ISLAM TERHADAP AKAL ♥



Islam sangat memperhatikan dan memuliakan akal, diantara hal yang menunjukan perhatian dan penghormatan islam kepada akal adalah :



Islam memerintahkan manusia untuk menggunakan akal dalam rangka mendapatkan hal-hal yang bermanfaat bagi kehidupannya.



Islam mengarahkan kekuatan akal kepada tafakkur (memikirkan) dan merenungi (tadabbur) ciptaan-ciptaan Allah dan syari’at-syari’atnya sebagaimana dalam firmanNya,



Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadiaan) diri mereka? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan (tujuan) benar dan waktu yang telah ditentukan, Dan sesungguhnya kebanyakan diantara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya. (QS. Ar-Rum : 8) ,



“ Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal”, (Al Baqarah : 184),



“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sholat pada hari Jum’at, maak bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. Jumu’ah : 9).



Islam melarang manusia untuk taklid buta kepada adat istiadat dan pemikiran-pemikiran yang bathil sebagaimana dalam firman Allah,



Dan apabila dikatakan kepada mereka, ”Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab, “(tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”, (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka tidak mengetahui sesuatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk? (QS. Al Baqarah : 170).



Islam memerintahkan manusia agar belajar dan menuntut ilmu sebagaimana dalam firman Allah,



”Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama.” (QS. At Taubah : 122).



Islam memerintahkan manusia agar memuliakan dan menjaga akalnya, dan melarang dari segala hal yang dapat merusak akal seperti khomr, Allah berfirman,



“Hai, orang-orang yang beriman sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkurban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (Al Maidah, 90).





♥ RUANG LINGLKUP AKAL DALAM ISLAM ♥



Meskipun islam sangat memperhatikan dan memuliakan akal, tetapi tidak menyerahkan segala sesuatu kepada akal, bahkan islam membatasi ruang lingkup akal sesuai dengan kemampuannya, karena akal terbatas jangkauannya, tidak akan mungkin bisa menggapai hakekat segala sesuatu.



Maka Islam memerintahkan akal agar tunduk dan melaksanakan perintah syar’i walaupun belum sampai kepada hikmah dan sebab dari perintah itu.



Kemaksiatan yang pertama kali dilakukan oleh makhluk adalah ketika Iblis menolak perintah Allah untuk sujud kepada Adam karena lebih mengutamakan akalnya yang belum bisa menjangkau hikmah perintah Allah tersebut dengan membandingkan penciptaannya dengan penciptaan Adam,



Iblis berkata: ”Aku lebih baik daripadanya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah..” (QS.Shaad ; 76).



Karena inilah islam melarang akal menggeluti bidang-bidang yang diluar jangkauannya seperti pembicaraan tentang Dzat Allah, hakekat ruh, dan yang semacamnya, Rasulullah bersabda,



”Pikirkanlah nikmat-nikmat Allah, janganlah memikirkan tentang Dzat Allah.5



Allah berfirman,



Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah,”Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (QS. Al Isra’ : 85).





Catatan Kaki



…1 Lihat Lisanul Arab, 11/458 dan Bughyatul Murtaad, hal. 249.

…2 Bughyatul Murtaad, hal. 250-251.

…3 Majalah Salafiyyah Riyadh, Edisi 2 tahun 1417 H hal. 24.

…4 Al Hujjah fi Bayanil Mahajjah 2 / 502-504.

…5 Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam silsilah shahihah: 1788.

______________________________________________________





^ KEDUDUKAN AKAL DALAM ISLAM (2/3) ^



♥ Posted on March 20th, 2006 by admin ♥



Setelah mengetahui definisi akal, ruang lingkup dan pemuliaan Islam terhadapnya, maka pembahasan selanjutnya mulai mengarah kepada segolongan manusia yang mendewakan akal, mendudukkan akal manusia dengan kedudukan yang sangat tinggi. Siapa-siapa saja mereka ini?





♥ KELOMPOK RASIONALIS (PENDEWA AKAL) ♥



Rasionalisme atau ‘Aqlaaniyyah adalah madzhab filsafat yang memandang segala sesuatu yang tunduk kepada kaidah-kaidah akal, bahkan makna-makna agama jika tidak sesuai dengan kaidah-kaidah akal harus ditolak!!6



Maka hakekat rasionalisme adalah membuang nash syar’i yang tidak sesuai dengan pandangan akal atau hawa nafsu.7



Bapak rasionalisme yang pertama kali adalah Iblis, dia mengandalkan akalnya yang memandang bahwa api lebih mulia dari tanah sehingga menolak perintah syar’i dari Allah untuk sujud kepada Adam.



Pemikiran Iblis ini kemudian diteruskan oleh para penerusnya seperti :



1. Kelompok Mu’tazillah



Kelompok ini adalah pioner semua kelompok rasionalis dalam Islam, mereka menjadikan akal sebagai hakim secara mutlak, mereka promosikan akal setinggi-tingginya, mereka mengatakan,



“Akal diciptakan dengan tujuan untuk mengetahui segala sesuatu, dia mampu mengetahui segala sesuatu yang terlihat dan yang tidak terlihat (?!)”



Mereka jadikan akal sebagai penentu kayakinan mereka di semua segi keyakinan mereka.



Karena itu mereka berbondong-bondong mempelajari filsafat Yunani, sekaligus mengikuti para filosof Yunani. Mereka jadikan dalil-dalil akal diatas dalil-dalil syar’i. Mereka dustakan hadits-hadits yang tidak sesuai dengan akal, walaupun hadits-hadits itu shahih! Mereka takwil ayat-ayat yang tidak mencocoki dengan pemikiran mereka, meskipun ayat-ayat itu sangat jelas!, bahkan mereka berusaha menyeret ibarat-ibarat dan tafsir-tafsir Al Qur’an kepada pemikiran mereka.8



Inilah beberapa perkataan gembong-gembong mereka :



Al Qodhi Abdul Jabbar menyebutkan urutan dalil-dalil syar’i menurutnya,



”Yang pertama adalah akal, karena dengannya bisa dibedakan baik dan buruk, dan dengan akallah bahwa kitab adalah hujjah, demikian juga Sunnah dan Ijma’(!!)9



Amr bin Ubaid menyebut hadits Shadiqul Mashduq dan berkomentar,



”Seandainya aku mendengar hadits ini langsung dari A’masy, pasti aku akan dustakan, seandainya aku mendengar dari Rasulullah mengatakannya pasti akan aku tolak! dan seandainya aku mendengar Allah mengatakannya maka akan aku katakan,’Bukan atas ini Engkau mengambil mitsaq (perjanjian) dari kami”!!!



Kami (penulis artikel ini -red. vbaitullah) katakan,” Sesungguhnya ini kesesatan dan kekufuran yang nyata…”



Az Zamakhsyari berkata,



”Berjalanlah dalam agamamu dibawah panji akal, jangan engkau cukup dengan riwayat dari fulan dan fulan!“10



2. Kelompok Asy’ariyyah



Kelompok ini tidak berbeda dengan kelompok Mu’tazilah, hanya saja ibarat mereka lebih samar, mereka ini disebut oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah sebagai Makhanits Mu’tazilah “bancinya kelompok mu’tazilah.11



Inilah beberapa perkataan dari gembong-gembong mereka :



Fakhrur Razy berkata,



”Akal adalah landasan naql (dalil syar’i), maka mencela akal untuk membenarkan naql akan membawa pencelaan kepada akal dan naql sekaligus dan ini adalah bathil!”12



Adhudhin Al Lijy berkata,



”Mendahulukan naql diatas akal adalah bathil…”13



Demikianlah ibarat-ibarat mereka menunjukan bahwa sumber pengambilan ilmu menurut kelompok Asy’ariyyah adalah akal.14



4.3 Kelompok Rasionalis Gaya Baru (Pengekor Mu’tazilah)



Mereka adalah gabungan dari aneka ragam pemikiran-pemikiran, diantara mer eka ada yang disebut pemikir muslim(!), ada yang disebut cendekiawan muslim(!), dan ada yang sekadar tukang tulis dan tukang omong dimedia massa!!



Inilah ibarat-ibarat mereka :



Muhammad Abduh berkata,



”Telah sepakat kelompok-kelompoak islam kecuali sedikit dari orang-orang yang tidak dianggap perkataannya bahwa jika terjadi pertentangan antara akal dan naql maka apa yang diambil apa yang ditunjukkan oleh akal”!!!15



Seorang wartawan yang menganggap dirinya cendekiawan muslim bernama Fahmi Huwaidi menulis sebuah ulasan yang berjudul para penyembah berhala adalah para penyembah nash-nash syar’i, dia katakan bahwa usaha pembekuan akal di depan nash menurut ungkapannya adalah



“Paganisme (penyembahan kepada berhala) gaya baru, karena paganisme tidak hanya menyembah kepada berhala saja, karena ini bentuk paganisme gaya lampau, tetapi paganisme gaya sekarang adalah penyembahan kepada nash-nash syar’i!”16



Muhammad al Ghazaly berkata,



”Hendaknya kita mengetahui bahwa apa saja yang dihukumi bathil oleh akal mustahil kalau dia itu adalah agama… Agama yang benar adalah kemanusiaan yang benar, sedangkan kemanusiaan yang benar adalah akal yang menentukan suatu hakekat… tidak henti-hentinya kita tegaskan bahwa setiap hukum yang ditolak oleh akal… mustahil kalau dia itu adalah agama“(!!)17



Karena inilah kita melihat Muhammad Al Ghazaly begitu berani menolak banyak sekali hadits hadits yang shahih karena tidak mencocoki akalnya, seperti hadits Musa yang menempeleng malaikat maut, hadits sholatnya wanita dimasjid, hadits mayit diadzab karena tangis keluarganya, dan masih banyak lagi yang lainnya. Untuk melihat bantahan kepada Al ghazaly dalam masalah ini bisa dilihat kitab Syaikhuna Al Allamah Rabi’ bin Hadi Al Madkhaly yang berjudul Kasyfu Mauqif Al Ghazaly minass Sunnati wa Ahliha.



Hasan At Turaby As Sudany berkata,



”Adapun rujukan yang wajib bagi kita anggap sebagai rujukan pokok maka adalah akal….”18



Dengan bimbingan akalnya maka dia berkata,



”Boleh bagi seorang muslim sebagaimana seorang masehi untuk mengganti agamanya”19



Dengan akalnya pula ia ingkari hukum rajam kepada pezina dan hukum dera kepada peminum khamr.20



Yusuf Qardhawy tidak berbeda jauh dengan Muhammad Al Ghazaly, dia merasa heran kepada orang-orang yang selalu menyebutkan kepada khalayak ramai hadits lalat (yang shahih) atau hadits (shahih) tentang Musa yang menempeleng malaikat maut…21



Di lain waktu dengan lantang dia berkata,



”Kami tidak memerangi orang-orang Yahudi dengan landasan aqidah tetapi karena masalah tanah, kami tidak memerangi mereka karena kekafiran mereka, tetapi kami memerangi mereka karena mereka merampas tanah-tanah kami…”22



-----------------------------------

Catatan Kaki



…6 Mu’jam Musthalahat Ilmiyyah, Yusuf Khoyyath.

…7 Fi Fiqh Waqi’, Abdus-salam Baisuny, hal. 29.

…8 Manhaj Madrasah Aqliyyah Hadiitsah fi tafsir, Fahd Ar Rumy, hal. 53-54.

…9 Fadhlul I’tizal, hal. 139).

…10 Athwaqu Dzahab fil Mawa’izh wal khuthub, hal. 28.

…11 Majmu Fatawa, 6/359.

…12 Asasut Taqdis, hal. 221.

…13 Mawaqif fi Ilmi kalam, hal. 40.

…14 Al Aqlaniyyun, hal. 60.

…15 Islam dan Nasraniyyah, hal. 59.

…16 Majalah Araby, Edisi 235, hal. 34 kanon kedua 1978.

…“(!!)17 Majalah Dauhah, Qathar, Edisi 101 Rajab 1404 H.

…18 Tajd Fikr Islamy, Hal. 26.

…19 Ceramah dengan judul Tahkim Syari’at, sebagaimana dalam Sharim Maslul ala at Turaby Syatimir Rasul, hal.12.

…20 Sharim Maslul ala At Turaby Syatimir Rasul, hal. 12.

…21 Kaifa Nata’amalu ma’a Sunnah Nabawiyyahm, hal. 86.

…22 Wawancara dengan koran Rayah Qathar Edisi 4696, 24 Sya’ban 1415 H.



semoga bermanfaat



_____________________________________________________





^ KEDUDUKAN AKAL DALAM ISLAM (3/3) ^



♥ Posted on March 21st, 2006 by admin ♥



(red. vbaitullah): Dari pembahasan yang kedua, nyatalah penolakan kaum ‘aqlaniyun (para pendewa akal) terhadap syari’at, terutama khabar-khabar yang tidak dapat dicerna oleh akal-akal mereka. Lalu (memangnya) kenapa pemikiran / paham mereka itu sesat? Di mana letak kesesatannya? Kalau sesat, bagaimana seharusnya kedudukan akal dan naql (wahyu) dalam Islam? Akhirnya, insya Allah pertanyaan-pertanyaan itu akan dijawab pada bagian akhir ini.





♥ MENGIKIS HABIS MODAL UTAMA KAUM RASIONALIS ♥



Demikianlah kaum rasionalis, mereka jadikan akal semata sebagai sumber ilmu mereka, mereka agungkan akal, dan mereka jadikan iman dan Al Qur’an tunduk dibawah akal23



Maka modal utama mereka adalah kaidah umum yang mereka dengung-dengungkan yaitu bahwa akal adalah landasan naql Dalil syar’i, maka mencela akal untuk membenarkan naql akan membawa pencelaan kepada akal dan naql sekaligus, dan ini adalah bathil!



Syubhat mereka ini telah dikikis habis dan dihancurkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya yang agung yang berjudul Dar’u Ta’arudh Aql wa Naql yang tersusun dalam 10 jilid, kemudian diringkas oleh muridnya Al Allamah Ibnul Qoyyim dalam kitabnya Shawa’iq Mursalah yang tersusun dalam dua jilid.



Ibnul Qoyyim menyebut dalam kitabnya tersebut 54 argumen dalam membantah syubhat mereka ini, diantaranya :



Perkataan mereka bahwa akal adalah landasan naql adalah bathil karena apa yang dikhabarkan oleh Allah dan Rasulnya adalah shahih dari dirinya, entah kita ketahui dengan akal kita atau tidak kita ketahui, entah dibenarkan oleh manusia atau didustakan oleh mereka, sebagaimana Rasulullah adalah haq, meskipun didustakan oleh manusia, dan sebagaimana wujud Allah dan keberadaan nama-nama dan sifat-sifatnya adalah haq, entah akal kita mengetahui atau tidak.



Mendahulukan akal atas naql adalah cela pada akal dan naql sekaligus, karena akal telah bersaksi bahwa wahyu lebih tahu daripada akal. Jika hukum akal didahulukan atas wahyu maka itu adalah cela pada persaksian akal, jika persaksiannya batal maka tidak boleh diterima ucapannya, maka mendahulukan akal atas wahyu adalah cela pada akal dan wahyu sekaligus.



Syari’at diambil dari Allah dengan perantaraan malaikat dan Rasul-Nya, dengan membawa ayat-ayat, mukjizat mukjizat, dan bukti-bukti atas kebenarannya, hal ini diakui oleh akal. lalu bagaimana perkataan Allah pencipta semesta alam ditentang oleh pemikiran-pemikiran Plato, Aristoteles, Ibnu Sina dan pengikut-pengikut mereka?



Bagaimana perkataan seorang Rasul ditentang oleh perkataan seorang filosof, padahal filosof wajib mengikuti Rasul, bukan Rasul yang mengikuti filosof, karena Rasul diutus oleh Allah dan filosof adalah Umatnya.



Syaikh Ali bin hasan Al Halaby berkata,



”Jika seorang rasionalis dan pendewa akal tertimpa penyakit, maka segera dia pergi ke seorang dokter yang terpercaya, kemudian dia mengadukan kepada dokter itu keluhan dan penyakitnya, dan dia serahkan dirinya kepada dokter itu untuk ditangani dengan kepasrahan yang sempurna, walaupun dokter itu membedah tubuhnya!!



Jika dokter itu kedudukannya diruang periksa dan dia sebutkan hasil diagnosa dan resep obatnya, maka dia ambil langsung tanpa menanyakan susunan obat dan susunan kimianya!!



Jika dia disuruh dokter untuk minum obat sehari tiga kali… maka dia lakukan tanpa membantah!!



… Subhanallah!! hukum-hukum dokter yang dia adalah manusia biasa bisa benar dan bisa salah dia terima tanpa perdebatan, bahkan tanpa akal!!



Sedangkan hukum-hukum Allah yang diwahyukan kepada Rasul-Nya maka dia membantahnya, membahasnya, mengeceknya, bahkan membantah dan menolaknya!! Manakah dua hukum diatas yang lebih wajib diterima secara akal!!24





♥ SIKAP SALAF TERHADAP AKAL DAN NAQL ♥



Salafush shalih memahami dangan yakin bahwasanya



“Agama adalah ketundukan dan kepasrahan, tanpa membantahnya dengan akal, karena akal yang sebenarnya adalah yang membawa pemiliknya untuk menerima sunnah, adapun yang membawa pemiliknya membatalkan sunnah maka dia adalah kejahilan, dan bukanlah akal.”25



Ketika Abdullah bin Mughaffal menyampaikan hadits tentang larangan Rasulullah dari melontar bintang dengan pelanting, ada seorang laki-laki berkata kepadanya,”Apa masalahnya dengan pelanting ini? “, maka Abdullah bin Mughaffal berkata,



”Aku sampaikan hadits Rasulullah kemudian kau katakan ini! Demi Allah aku tidak akan berbicara denganmu selama lamanya!”26



Lihatlah bagaimana orang ini memprotes hadits dengan akalnya! Bagaimana Abdullah bin Mughaffal menyikapinya?!



Padahal orang ini memprotes hadits dengan kata-kata yang sopan, tidak sebagaimana kelancangan kaum rasionalis abad ini yang dengan kasarnya menolak setiap hadits yang tidak masuk akalnya!!



Kita katakan kepada seluruh kaum rasionalis pendewa akal selama mereka masih mengaku muslim :



Apa logikanya sholat maghrib tiga raka’at, sedangkan sholat isya’ empat raka’at, padahal keduanya sama-sama dilaksanakan pada malam hari?! Apa logikanya perpindahan qiblat dari Baitul Maqdis ke Masjidil Haram?! Kenapa Thawaf harus ke Ka’bah?! Kenapa Thawaf harus tujuh putaran?!



Kami katakan tidak ada jalan bagi akal dalam hal-hal seperti ini kecuali mengimani dan melaksanakannya dengan keimanan yang sempurna, dan kepasrahan yang mutlak sebagaimana dalam firman Allah,



”Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al Ahzab : 36).



Maka para sahabat tidak pernah sekalipun mempermasalahkan nash-nash dengan akalnya padahal mereka manusia-manusia terbaik umat ini yang paling sempurna akalnya.



Para sahabat begitu sangat kepasrahannya kepada Sunnah, walaupun akal mereka belum bisa menerima, bahkan mereka begitu keras pengingkarannya kepada siapa saja yang menolak Sunnah.



Nash-nash yang datang dari Rasulullah lebih agung di hati-hati mereka dari membantahnya dengan sebab perkataan siapapun dari manusia.27



Pembahasan ini disarikan dari kitab Al Aqlaniyyun Afrakhu Mu’tazilah Al Ashriyyu, Syaikh Ali bin Hasan Al Halaby. Al Atsary).





♥ P E N U T U P ♥



Pemisah antara Ahli Sunnah dan Ahlil Bid’ah adalah dalam masalah akal: Ahlil Bid’ah menjadikan landasan agamanya adalah akal dan mereka jadikan Ittiba’ (mengikuti contoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam -red. vbaitullah) dan atsar sebagai pengikut akal.



Adapun Ahli Sunnah mengatakan bahwa landasan agama adalah Ittiba’ sedangkan akal sebagai pengikutnya. Seandainya agama didasarkan pada akal, maka sungguh para makhluk tidak butuh kepada wahyu, tidak butuh kepada para nabi, hilanglah makna perintah dan larangan, dan setiap orang akan mengatakan apa yang dia mau.



Jika kita mendengar sesuatu dari perkara-perkara agama, kemudian kita bisa memahaminya dengan akal kita, maka kita bersyukur kepada Allah atas Taufiq-Nya. Jika akal kita belum sampai kepadanya, maka kita beriman dan membenarkannya.



Maka kita memohon taufiq dan keteguhan kepada Allah, semoga Allah mewafatkan kita diatas agama Rasulullah dengan anugerah dan kemurahan-Nya28



Catatan Kaki



…23 Majmu’ Fatawa, Syaikhul Islam, 5/338.

…24 Al Aqlaniyyun, hal. 175.

…25 Al Hujjah fi Baynil Mahajjah, 2/509.

…26 Muttafaqun Alaih.

…27 Shawa’iq Mursalah, 3/1053,1065.

…28 Al Hujjah fi Bayanil Mahajjah, 1/317.



***fin



---------------------



Posted by : Putschy Nilakandi pada Group Jalan yang Lurus, tanggal. 10 Agustus 2011