ASSALAMUALAIKUM

ASSALAMUALAIKUM

Selasa, 24 April 2012

FITNAH WANITA MENURUT SAID AL MUSAYYID

Siapakah Said Bin Al Musayyib
Beliau adalah pembesar para tabi’in yang sezaman dengan para sahabat senior yaitu Umar bin Al-Khathab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah, sayyidah Aisyah dan Ummu Salamah ridhwanullah ‘alayhim ajma’in. Beliau juga perawi yang paling banyak meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu sehingga beliau pun menikahkan Said dengan putrinya.
Beliau adalah seorang yang tidak pernah ketinggalan shalat berjamaah selama 40 atau 50 tahun, juga tidak pernah melihat punggung orang orang yang sedang shalat karena dia selalu di barisan terdepan. Beliau juga seorang yang tegas dan tidak mau tunduk dengan kemauan para penguasa. Namun beliau tetaplah seorang yang lembut dan mengedepankan rasa persaudaraan dalam pergaulan terutama dengan orang orang yang shalih dan bertaqwa. Banyak sanjungan dan pujian terlontar kepada beliau mengenai wawasan, kehormatan dan kemuliaan beliau.
Belia menolak pinangan khalifah Abdul Malik bin Marwan untuk dinikahkan kepada putranya, Al-Walid untuk putrinya dan memilih menikahkan putrinya kepada Katsir bin Abdul Muthallib bin Abi Wada’ah hanya dengan dua atau tiga dirham. Karena penolakannya ini beliau dihukum 60 kali cambuk, disiramkan air dingin ke tubuhnya saat muslim dingin, dan dipakaikan kepadanya jubah yang terbuat dari kain sutera.
Ketakutan Beliau Akan Fitnah Wanita
Dari Ali bin Zaid dari Said bi Al-Musayyib, dia berkata, “Tidak ada yang lebih mudah bagi setan untuk menggoda kecuali melalui perempuan.” Kemudian, Said berkata “Tidak ada sesuatu yang lebih aku takutkan daripada perempuan.” Padahal saat itu umurnya sudah lanjut, tua renta dan salah satu penglihatannya telah buta sedangkan yang tersisa pun sudah kabur penglihatannya karena rabun.
Dari Imran bin Abdul Malik, dia berkata, “Said bin Al-Musayyib berkata, “Aku tidak pernah merasa takut kepada sesuatu pun seperti ketakutanku pada wanita.” Orang orang yang mendengarnya selanjutnya mengatakan, “Sesungguhnya orang seperti Anda tidak pernah menginginkan wanita (untuk dinikahi) dan tidak ada wanita yang mau mengawini anda,” Dia berkata, “Memang itulah yang aku katakan kepada kalian.”
Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam bersabda:
“Tidaklah aku tinggalkan setelahku suatu fitnah yang lebih berbahaya bagi laki laki (melainkan fitnah yang datang dari) wanita.” Dikeluarkan oleh Bukhari (9/5096); Muslim (4/2097), Ibnu Majah (3998) dan At-Tirmidzi (2780) dan dia berkata: “Hadits Hasan Shahih”
Demikianlah Said bin Al Musayyib. Bagaimana dengan para pemuda saat ini yang dikaruniai penglihatan sempurna, dan menemukan wanita wanita yang bahkan belum pernah ada di zaman Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam bebas berkeliaran di jalan jalan, sedangkan setan la’natullah ‘alayh menghiasi pandangan mereka terhadap wanita wanita tersebut?..
Hendaklah mereka takut akan apa yang telah diperingatkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alayhi wasallam. Hendaknya mereka khawatir diri mereka akan terjatuh kepada fitnah terbesar bagi kaum adam umat ini. Fitnah Wanita.
***
Artikel muslimah.or.id
Dikutip dengan sedikit gubahan dari 60 Biografi Ulama Salaf karya Syaikh Ahmad Farid (Penerjemah: Masturi Irham, Lc. dan Asmu’i Taman, Lc. penerbit Pustaka Al Kautsar, 2006)

KESEDERHANAAN KEHIDUPAN UMMAHATUL MUKMININ

Kehidupan rumah tangga yang dijalani Rasulullah shallallalhu ‘alaihi wa sallam bersama Ummahatul Mukminin mencerminkan kehidupan yang terhormat, mapan dan harmonis. Derajat mereka setingkat lebih tinggi dalam hal kemuliaan, kepuasan, kesabaran, tawadhu, pengabdian dan kewajiban memenuhi hak-hak suami. Padahal hidup beliau tak lekang dari keprihatinan, yang tak akan sanggup dijalani manusia. Anas pernah berkata, “Aku tidak pernah mengetahui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat adonan roti yang lebar lagi tipis hingga saat meninggal dunia dan tidak pula beliau melihat hidangan daging domba sama sekali.”
Aisyah berkata, “Kami benar-benar pernah melihat tiga kali kemunculan hilal selama dua bulan, namun tidak pernah kunyalakan tungku api di rumah-rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Lalu Urwah bertanya kepada Aisyah, “Kalau begitu apa yang membuat kalian bertahan hidup?”
Aisyah menjawab, “Dua hal, kurma dan air.”
Pengabaran lain yang menggambarkan keadaan rumah tangga beliau seperti ini cukup banyak.
Sekalipun dalam keadaan yang serba kekurangan dan memprihatikan seperti ini, istri-istri beliau tidak pernah mencaci dan mengumpat, kecuali sekali saja, sebagai tuntunan yang layak bagi manusia biasa dan sekaligus sebagai sebab turunnya hukum syariat, lalu Allah menurunkan ayat yang memberikan pilihan kepada mereka,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ إِنْ كُنْتُنَّ تُرِدْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا فَتَعَالَيْنَ أُمَتِّعْكُنَّ وَأُسَرِّحْكُنَّ سَرَاحًا جَمِيلا (٢٨)وَإِنْ كُنْتُنَّ تُرِدْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالدَّارَ الآخِرَةَ فَإِنَّ اللَّهَ أَعَدَّ لِلْمُحْسِنَاتِ مِنْكُنَّ أَجْرًا عَظِيمًا (٢٩)
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu: “Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik.Dan jika kamu sekalian menghendaki (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik diantaramu pahala yang besar.” (QS. Al Ahzab: 28-29)
Di antara bukti kemuliaan dan kehormatan mereka, maka mereka memilih Allah dan Rasul-Nya. Tak seorang pun di antara mereka yang berpaling kepada keduniaan.
***
muslimah.or.id
Potongan tulisan dari buku Sirah Nabawiyah karya Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri, Pustaka Al-Kautsar

HUKUM WANITA BEKERJA DAN BERDAGANG



Pertanyaan: Apakah islam melarang wanita bekerja dan berdagang?
Jawaban Syaikh Bin Baz rahimahullah:
Islam tidak melarang seorang wanita bekerja ataupun berdagang bahkan sebaliknya Allah Azza wa Jalla memerintahkan para hambaNya untuk beramal dan bekerja.
Allah Ta’ala berfirman,
وَقُلِ اعْمَلُواْ فَسَيَرَى اللّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ
“Dan katakanlah, ‘Bekerjalah kamu maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin.’”(QS. At-Taubah: 105)
Dan juga firmanNya,
لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“Untuk menguji kalian siapakah diantara kalian yang paling baik amalnya.” (QS. Al Mulk: 2)
Ayat ini bersifat umum mencakup laki-laki dan perempuan. Allah Ta’ala membolehkan perdagangan juga untuk semua. Karena setiap manusia diperintahkan untuk berusaha, menempuh sebab serta beramal baik dia laki-laki ataupun perempuan.
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ
“Wahai orang-orang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan bathil. Kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka diantara kamu.” (QS. An Nisa: 29)
Ayat ini juga bersifat umum ditujukan untuk laki-laki dan perempuan.
Allah Ta’ala berfirman,
وَاسْتَشْهِدُواْ شَهِيدَيْنِ من رِّجَالِكُمْ فَإِن لَّمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّن تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاء أَن تَضِلَّ إْحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الأُخْرَى وَلاَ يَأْبَ الشُّهَدَاء إِذَا مَا دُعُواْ وَلاَ تَسْأَمُوْاْ أَن تَكْتُبُوْهُ صَغِيرًا أَو كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِندَ اللّهِ وَأَقْومُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلاَّ تَرْتَابُواْ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلاَّ تَكْتُبُوهَا
“Dan persaksikanlahlah dengan dua orang saksi laki-laki diantara kamu. Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki maka boleh satu orang laki-laki dan dua orang perempuan diantara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi yang ada, agar jika seorang lupa maka yang seorang lagi mengingatkannya. Dan janganlah saksi-saksi itu menolak apabila dipanggil. Dan janganlah kamu bosan menuliskannya untuk batas waktunya baik (utang itu) kecil atau besar. Yang demikian itu lebih adil disisi Allah, lebih dapat menguatkan kesaksian dan lebih mendekatkan kamu kepada ketidakraguan, kecuali jika hal itu merupakan perdagangan tunai yang kamu jalankan diantara kamu. Maka tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak menuliskannya.” (QS. Al Baqarah: 282)
Ayat ini ditujukan untuk laki-laki dan perempuan. Allah Ta’ala memerintahkan untuk mencatat ketika transaksi hutang piutang. Allah juga memerintahkan agar menghadirkan saksi saat transaksi tersebut. Kemudian Allah menjelaskan bahwa semua (peraturan) terkait dengan utang piutang ini berlaku umum (bagi laki-laki dan perempuan).
Kemudian Allah Ta’ala melanjutkan firmanNya,
إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلاَّ تَكْتُبُوهَا
“Kecuali jika hal itu merupakan perdagangan tunai yang kamu jalankan diantara kamu. Maka tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak menuliskannya.” (QS. Al Baqarah: 282)
Sementara isyhad (mempersaksikan), bentuknya adalah menghadirkan saksi. Karena itu Allah berfirman di ayat selanjutnya,
وَأَشْهِدُوْاْ إِذَا تَبَايَعْتُمْ
“Ambillah saksi jika kamu berjual beli.” (QS. Al Baqarah: 282)
Ayat-ayat diatas berlaku secara umum baik untuk laki-laki dan perempuan. (Perintah) mencatat hutang piutang ditujukan untuk laki-laki dan perempuan. Berdagang (jual-beli) dan menjadi saksi berlaku untuk lelaki dan perempuan. Mereka (laki-laki dan perempuan) boleh mengambil saksi untuk perdagangan serta pencatatan mereka. Hanya saja, jual beli secara tunai boleh tidak dicatat. [catatan: “حاضرة” artinya dilakukan secara tunai. Penjual dan pembelil hadir di tempat akad -ed] karena telah dibayar dengan tunai sehingga tidak menyisakan urusan. Semua peraturan ini berlaku bagi laki-laki dan perempuan.
Demikian juga yang terdapat dalam dalil lainnya, semuanya berlaku bagi laki-laki dan perempuan, seperti hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dimana beliau bersabda,
البيعان بالخيار ما لم يتفرقا، فإن صدقا وبينا بورك لهما في بيعهما وإن كتما وكذبا مُحِقت بركة بيعهما
“Dua orang yang melakukan transaksi jual beli itu punya hak khiyar (memilih) selama mereka belum berpisah. Bila keduanya jujur dan terus terang maka keduanya akan diberi barakah dalam jual belinya. Tetapi bila mereka berdusta dan menyembunyikan (cacat) maka akan dihilangkan keberkahan jual belinya itu.”(HR. Bukhari 2079 dan Muslim 1532)
Juga firman Allah Ta’ala,
وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dabn mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275)
Semuanya berlaku umum (bagi laki-laki dan perempuan).
Akan tetapi yang wajib diperhatikan ketika bekerja ataupun berdagang adalah hendaknya interaksi diantara mereka harus dalam bentuk interaksi yang jauh dan terbebas dari semua penyebab masalah dan yang menimbulkan perbuatan munkar.
Wanita bekerja (ditempat) yang tidak ada campur baur dengan laki-laki serta tidak memicu timbulnya fitnah. Demikian pula tatkala wanita berdagang, dalam keadaan yang bersih dari fitnah. Dengan tetap memperhatikan hijabnya, menutupi aurat, serta menjauhi sebab terjadinya fitnah.
Demikianlah yang sepatutnya diperhatikan dalam jual beli dan semua kegiatan wanita. Karena Allah berfirman,
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Dan hendaklah kamu tetap berada dirumahmu dan janganlah kamu berhias dan (bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliyah dahulu.”(QS. Al-Ahzab: 33)
وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِن وَرَاء حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ
“Apabila kamu meminta sesuatu keperluan kepada mereka (istri-istri Nabi) maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.” (QS. Al-Ahzab: 53)
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاء الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ
“Wahai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin,’Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’” (QS. Al-Ahzab: 59)
Karena itu, jual beli para wanita hanya dilakukan diantara para wanita, sementara jual beli para laki-laki di tempat tersendiri, hukumnya dibolehkan. Demikian pula untuk semua pekerjaan wanita. Seorang wanita menjadi dokter untuk pasien wanita, perawat wanita untuk pasien wanita, guru wanita mengajar wanita maka ini tidak masalah. Dokter laki-laki menangani pasien laki-laki, dan guru laki-laki mengajar laki-laki.
Adapun dokter wanita menangani pasien laki-laki atau dokter laki-laki menangani pasien wanita atau perawat wanita untuk laki-laki dan perawat laki-laki untuk pasien wanita maka inilah yang dilarang syariat, karena mengandung fitnah dan kerusakan.
Oleh karena itu, disamping adanya toleransi untuk bekerja dan berdagang bagi lelaki dan wanita, semua harus dilakukan dalam keadaan terbebas dari segala yang membahayakan agama dan kehormatan para wanita, serta tidak membahayakan bagi lelaki. Namun pekerjaan para wanita dilakukan dalam kondisi tidak memicu segala yang membahayakan agamanya, kehormatannya, dan tidak menimbulkan kerusakan dan godaan bagi lelaki. Demikian pula pekerjaan para lelaki yang terjadi diantara mereka, tidak boleh ada kehadiran wanita, yang bisa memicu godaan dan kerusakan.
Yang ini memiliki area pekerjaan sendiri, yang itu juga memiliki area pekerjaan sendiri, dengan meniti jalur selamat, yang tidak membahayakan kelompok pertama maupun kelompok kedua, serta tidak membahayakan masyarakat itu sendiri.
Akan tetapi menjadi pengecualian dari hal diatas bila dalam keadaan darurat. Jika keadaan mendesak dimana seorang lelaki harus bekerja menangani wanita, seperti melayani pasien wanita ketika tidak ada dokter laki-laki atau wanita melakukan pekerjaan laki-laki ketika tidak ada dokter lelaki yang menangani pasien lelaki, sementara wanita ini tahu penyakitnya dan bisa menanganinya, dengan tetap menjaga diri, menjauhi segala yang memicu godaan, dan menghindari kholwat (berdua-duaan), serta larangan semacamnya.
Karena itu, jika ada pekerjaan wanita yang dilakukan bersama lelaki atau sebaliknya karena kebutuhan yang mendesak atau darurat, dengan tetap menjaga sebab-sebab yang menimbulkan fitnah baik khalwat atau terbukanya (aurat) maka keadaan seperti ini dikecualikan (baca: diperbolehkan).
Tidaklah mengapa seorang wanita menolong laki-laki yang memerlukan bantuan. Begitu juga laki-laki menolong wanita yang perlu ditangani, dengan catatan tidak membahayakan keduanya. Seperti dokter wanita mengobati pasien laki-laki disaat tidak ada dokter laki-laki, sementara si wanita tahu penyakitnya dengan tetap menjaga diri dari fitnah dan khalwat. Demikian juga, yang dilakukan dokter laki-laki pada pasien wanita karena tidak dijumpai dokter wanita yang mengobatinya maka keadaan ini termasuk keadaan yang mendesak.
Demikian pula kegiatan di pasar, wanita melakukan jual beli yang mereka butuhkan, dengan tetap menutup aurat dengan benar dari pandangan laki-laki. Demikian juga tatkala wanita shalat berjama’ah dimasjid hendaknya tetap menjaga diri, menutup aurat, berada di belakang shaf laki-laki. Serta kegiatan serupa yang dilakukan wanita, yang tidak menimbulkan fitnah dan bahaya bagi kedua pihak (laki-laki dan perempuan).
Demikianlah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu’alaihi wasallam. Terkadang beliau berbicara dengan wanita, para wanita berkumpul untuk mendengar kajian beliau lalu beliaupun memberi nasehat. Inilah yang boleh dilakukan laki-laki kepada wanita.
Ketika shalat Ied, seusai berkhutbah di hadapan lelaki beliau mendatangi jamaah wanita, mengingatkan mereka, menasehati mereka untuk beramal kebaikan.
Demikian juga di beberapa kesempatan, para wanita berkumpul dan beliau memberi peringatan, mengajari mereka (perkara agama) serta menjawab pertanyaan mereka. Semua aturan di atas termasuk dalam kasus ini.
Demikian pula generasi sepeninggal beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seorang laki-laki memberi peringatan kepada kaum wanita, menasehati mereka, mengajari mereka ketika berkumpul (disuatu tempat) dan dengan cara yang terpuji, menjaga hijab dan menjauhi sebab-sebab timbulnya fitnah.
Jika semua itu dibutuhkan, seorang laki-laki boleh melakukan hal penting yang mereka butuhkan (mengajar, memberi peringatan dan nasehat) (para wanita), dengan menjaga hijab, menutup (aurat) dan menjauhi semua bentuk fitnah bagi keduanya.
Catatan Redaksi:
Syaikh Bin Baz rahimahullah telah memberikan jawaban dengan sangat rinci. Bahkan beliau memberikan permisalan dan contoh hingga berulang kali. Hal ini menandakan kesungguhan beliau untuk memberi penjelasan agar masalah ini bisa difahami si penanya khususnya dan umumnya kaum muslimah. Betapa banyak orang yang menganggap remeh permasalahan ini namun tidak bagi beliau. Tidaklah cukup beliau menjawab dengan cara singkat akatetapi beliau menjelasakannya dengan jelas dan gamblang. Maka adakah orang yang mau mengerti?
***
Sumber: http://www.binbaz.org.sa/mat/4110
Diterjemahkan oleh: Tim Penerjmah Muslimah
Muroja’ah: Ust. Ammi Baits
Artikel Muslimah.or.id

Sabtu, 18 Februari 2012

ALLAH MAHA PEMBOLAK BALIK HATI

بسم الله الرحمن الرحيم

Subhaanallaah....
Maha Suci Allah Dzat Pembolak Balik Hati....
Bahwa Allah menguji pada setiap hamba-Nya, baik dalam keadaan lapang maupun sempit.

Hari yang indah saat bercakap dengan kawan....

"Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh....Rindu enggak denger khabarnya..."

"Wa'alaikumussalam Warahmatullai Wabarakatuh.....wah ana jarang buka fb ukht, paling buka liat inbox aja, rindu juga kayaknya lama gak ada khabar ya ukht....sehatkan kan ukht....?

"Alhamdulillah ana punya kabar baik, mudah-mudahan ikutan senang. Liburan kemaren kami pulang ke Medan dan Alhamdulillah keluarga telah menerima ana pakai cadar"

"Alhamdulillah senangnya ukht. susah memang meyakinkan keluarga, anapun begitu, mudah-mudahan jurus muka tembok and cuek ana bisa ana gunakan. Mudah-mudahan keluarga ukhti yang lainnya bisa cepat menerima, itun suatu kebahagiaan ya ukht"

"Alhamdulillah keluarga, intinya mama tersayang sudah menerimanya dan tak protes sama sekali, Allah dengan mudah membolak-balikan hati,  ana sangat bersyukur sekali dan sekarang tidak ada acara lagi buka pasang cadar. Puji syukur yang tidak terhingga"

"Alamdulillah ukht, Hidayah Allah telah menghampirinya. Tidak ada yang mustahil bagi Allah, yang tentunya berkat doa-doanya ukht, semoga tetap istiqamah ya ukht"

"InsyaAllah bantu dg doa ya ukhti, semoga kebahagiaan yang ana bagi ke ukhti walau cuma cerita dapat membuat ukhti senang dan keluarga juga dengan mudah menerima dakwah yang haq ini"

"InsyaAllah ana merasakan kebahagiaan ukhti, dan ana berharap keluarga anapun demikian, saling mendoakan ya ukht"

"Iya lumayan 4 tahun berfikir untuk itu dan sejak agustus tidak dibuka cadarnya dan kucing-kucingan dengan keluarga, Alhamdulilla mereka lihat dan kalimat yang keluarpun tidak menyakitkan. Yakin Allah membantu itu membuat senang. Ada cobaan lain tapi ana pasrahkan diri pada Allah. Kedalaman Tauid ini penting dan sangat menolong dalam semua kejadian, jadi tenang, semoga Allah memudahkan kita menegakkan sunnah di keluarga"

"AAmien Yaa Rabb"
"senyum"
"senyum"

Tak bisa berkata apa-apa, terharu juga senang , sahabatku di mudahkan Allah dalam menggapai harapannya.
Semoga Allah menetapkan kita ....mengistiqamahkan kita di Jalan Yang di Ridhai-Nya...(Aamien Yaa Rabb)

اللهم ثبت قلبي على دينك
"Wahai dzat pembolak balik hati,  tetapkanlah hati kepada Agama-Mu"
Maka jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu, dan jagalah Allah niscaya engkau mendapatkan-Nya dihadapanmu.

ومن يتق الله يجعل له من امره يسرا
"barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya " (At-Thalaq:4)

Imam Al-Bukhari telah meriwayatkan dari hadits yang bersumber dari Anas Bin Malik Radhiyallahu 'anhu, Ia bertutur, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaii Wasallam bersabda: Allah Subhanahu Wata'ala berfirman;

"اذا تقرب العبد الى شيبرا تقربت اليه ذراعا, واذا تقرب الي ذراعا تقربت اليه با,واذا اناني بمشي آتيته هروله
"Apabila seorang Hambaku mendekatkan diri kepadaKu sejengkal, maka Aku mendekat kepadanya sehasta, dan apabila ia mendekatkan diri kepada-Ku sehasta, maka Aku mendekat kepadanya sedepa, dan apabila ia datang kepada-Ku dengan berjalan, maka aku datang kepadanya berjalan dengan cepat". ( Shahih Bukhari no 7405)

Demi Allah, sesungguhnya yang mempunyai perhatian besar kepada masalah agamanya, dan sadar dengan kelalaiannya dan berharap pada hari kiamat kelak termasuk orang-orang yang selamat, pasti ia akan bersungguh-sungguh sepenuh hati untuk mengetahui hal-hal apa saja yang dapat menyelamatkan hati dan terapi penyembuhannya disamping ia menghindari dan menjauhi segala hal yang dapat merusak atau membinasakannya.

Do'a ku selalu menyertaimu sahabatku tersayang....uhibbuki fillah....


Rabu, 04 Januari 2012

HUKUM MENINGGALKAN SHALAT

Oleh : Syaikh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin Masalah ini termasuk salah satu masalah ilmu yang amat besar, diperdebatkan oleh para ulama dahulu dan sekarang. Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan :“ orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, kekafiran yang menyebabkan orang tersebut keluar dari Islam, diancam hukuman mati, jika tidak bertaubat dan tidak mengerjakan shalat. Sementara Imam Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i mengatakan :“ orang yang meninggalkan adalah fasik dan tidak kafir”, namun, mereka berbeda pendapat mengenai hukumannya, menurut Imam Malik dan Syafi’i “diancam hukuman mati sebagai hadd”, dan menurut Imam Abu Hanifah “diancam hukuman ta’zir, bukan hukuman mati”. Apabila masalah ini termasuk masalah yang diperselisihkan, maka yang wajib adalah dikembalikan kepada kitab Allah subhaanahu wa ta’aala dan sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam, karena Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman : وما اختلفتم فيه من شيء فحكمه إلى الله . “Tentang sesuatu apapun yang kamu perselisihkan, maka putusannya dikembalikan kepada Allah.” ( QS. As Syura, 10 ). Dan Allah Ta'ala juga berfirman : فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله والرسول إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الآخر ذلك خير وأحسن تأويلا . “Jika kamu belainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah ( Al Qur’an ) dan Rasul ( As Sunnah ), jika kamu benar benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama ( bagimu ) dan lebih baik akibatnya.” ( QS. An Nisa’, 59 ). Oleh karena masing masing pihak yang berselisih pendapat, ucapannya tidak dapat dijadikan hujjah terhadap pihak lain, sebab masing masing pihak menganggap bahwa dialah yang benar, sementara tidak ada salah satu dari kedua belah pihak yang pendapatnya lebih patut untuk diterima, maka dalam masalah tersebut wajib kembali kepada juri penentu diantara keduanya, yaitu Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam. Kalau kita kembalikan perbedaan pendapat ini kepada Al Qur’an dan As Sunnah, akan kita dapatkan bahwa Al Qur’an maupun As Sunnah keduanya menunjukkan bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, dan kufur akbar yang menyebabkan ia keluar dari islam. PERTAMA : DALIL DARI AL QUR’AN : Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman dalam surat At Taubah : فإن تابوا وأقاموا الصلاة وآتوا الزكاة فإخوانكم في الدين . “Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu ) adalah saudara saudaramu seagama.” ( QS. At Taubah, 11 ). Dan dalam surat Maryam, Allah berfirman : فخلف من بعدهم خلف أضاعوا الصلاة واتبعوا الشهوات فسوف يلقون غيا إلا من تاب وآمن وعمل صالحا فأولئك يدخلون الجنة ولا يظلمون شيئا . “Lalu datanglah sesudah mereka pengganti (yang jelek) yang menyia nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan, kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal shaleh, maka mereka itu akan masuk surga dan tidak akan dirugikan sedikitpun.” (QS. Maryam, 59-60 ). Relevansi ayat kedua, yaitu yang terdapat dalam surat Maryam, bahwa Allah berfirman tentang orang orang yang menyia nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya :” kecuali orang yang bertaubat, beriman …”. Ini menunjukkan bahwa mereka ketika menyia nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsu adalah tidak beriman. Dan relevansi ayat yang pertama, yaitu yang terdapat dalam surat At Taubah, bahwa kita dan orang orang musyrik telah menentukan tiga syarat : · Hendaklah mereka bertaubat dari syirik. · Hendaklah mereka mendirikan shalat, dan · Hendaklah mereka menunaikan zakat. Jika mereka bertaubat dari syirik, tetapi tidak mendirikan shalat dan tidak pula menunaikan zakat, maka mereka bukanlah saudara seagama dengan kita. Begitu pula, jika mereka mendirikan shalat, tetapi tidak menunaikan zakat maka mereka pun bukan saudara seagama dengan kita. Persaudaraan seagama tidak dinyatakan hilang atau tidak ada, melainkan jika seseorang keluar secara keseluruhan dari agama ; tidak dinyatakan hilang atau tidak ada karena kefasikan dan kekafiran yang sederhana tingkatannya. Cobalah anda perhatikan firman Allah subhaanahu wa ta’aala dalam ayat Qishash karena membunuh : فمن عفي له من أخيه شيء فاتباع بالمعروف وأداء إليه بإحسان . “Maka barang siapa yang diberi maaf oleh saudaranya, hendaklah ( yang memaafkan ) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah ( yang diberi maaf ) membayar ( diyat ) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik ( pula ).” ( QS. Al Baqarah, 178 ). Dalam ayat ini, Allah subhaanahu wa ta’aala menjadikan orang yang membunuh dengan sengaja sebagai saudara orang yang dibunuhnya, padahal pidana membunuh dengan sengaja termasuk dosa besar yang sangat berat hukumannya, Karena Allah Subhaanahu wa ta’aala berfirman : ومن يقتل مؤمنا متعمدا فجزاؤه جهنم خالدا فيها وغضب الله عليه ولعنه وأعد له عذابا أليما . “Dan barang siapa yang membunuh seorang mu’min dengan sengaja, maka balasannya ialah neraka jahannam, kekal ia didalamnya dan Allah murka kepadanya dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” ( QS. An Nisa’, 93 ). Kemudian cobalah anda perhatikan firman Allah subhaanahu wa ta’aala tentang dua golongan dari kaum mu’minin yang berperang : وإن طائفتان من المؤمنين اقتتلوا فأصلحوا بينهما, فإن بغت إحداهما على الأخرى فقاتلوا التي تبغي حتى تفيء إلى أمر الله، فإن فاءت فأصلحوا بينهما بالعدل وأقسطوا إن الله يحب المقسطين، إنما المؤمنون إخوة فأصلحوا بين أخويكم . “Dan jika ada dua golongan dari orang orang mu’min berperang, maka damaikanlah antara keduanya, jika salah satu dari dua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali ( kepada perintah Allah ), maka damaikanlah antara keduannya dengan adil dan berlaku adillah, sesungguhnya Allah menyukai orang orang yang berbuat adil, sesungguhnya orang orang mu’min adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu…” ( QS. Al Hujurat, 9 ). Di sini Allah subhaanahu wa ta’aala menetapkan persaudaraan antara pihak pendamai dan kedua pihak yang berperang, padahal memerangi orang mu’min termasuk kekafiran, sebagaimana disebutkan dalam hadits shoheh yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan periwayat yang lain, dari Ibnu Mas’ud rodhiallohu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda : " سباب المسلم فسوق وقتاله كفر ". “Menghina seorang Muslim adalah kefasikan, dan memeranginya adalah kekafiran.” Namun kekafiran ini tidak menyebabkan keluar dari Islam, sebab andaikata menyebabkan keluar dari islam maka tidak akan dinyatakan sebagai saudara seiman. Sedangkan ayat suci tadi telah menunjukkan bahwa kedua belah pihak sekalipun berperang mereka masih saudara seiman. Dengan demikian jelaslah bahwa meninggalkan shalat adalah kekafiran yang menyebabkan keluar dari Islam, sebab jika hanya merupakan kefasikan saja atau kekafiran yang sederhana tingkatannya ( yang tidak menyebabkan keluar dari Islam ) maka persaudaraan seagama tidak dinyatakan hilang karenanya, sebagaimana tidak dinyatakan hilang karena membunuh dan memerangi orang mu’min. Jika ada pertanyaan : apakah anda berpendapat bahwa orang yang tidak menunaikan zakat pun dianggap kafir, sebagaimana pengertian yang tertera dalam surat At Taubah tersebut ? Jawabnya adalah : orang yang tidak menunaikan zakat adalah kafir, menurut pendapat sebagian ulama, dan ini adalah salah satu pendapat yang diriwayatkan dari Imam Ahmad Rahimahullah. Akan tetapi pendapat yang kuat menurut kami ialah yang mengatakan bahwa ia tidak kafir, namun diancam hukuman yang berat, sebagaimana yang terdapat dalam hadits hadits Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam, seperti hadits yang dituturkan oleh Abu Hurairah rodhiallohu ‘anhu, bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam ketika menyebutkan hukuman bagi orang yang tidak mau membayar zakat, disebutkan dibagian akhir hadits : " ثم يرى سبيله إما إلى الجنة وإما إلى النار ". “ … Kemudian ia akan melihat jalannya, menuju ke sorga atau ke neraka.” Hadits ini diriwayatkan secara lengkap oleh Imam Muslim dalam bab “dosa orang yang tidak mau membayar zakat”. Ini adalah dalil yang menunjukkan bahwa orang yang tidak menunaikan zakat tidak menjadi kafir, sebab andaikata menjadi kafir, tidak akan ada jalan baginya menuju sorga. Dengan demikian manthuq (yang tersurat) dari hadits ini lebih didahulukan dari pada mafhum ( yang tersirat ) dari ayat yang terdapat dalam surat At Taubah tadi, karena sebagaimana yang telah dijelaskan dalam ilmu ushul fiqh bahwa manthuq lebih didahulukan dari pada mafhum. KEDUA : DALIL DARI AS SUNNAH : 1- Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah rodhiallohu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda : " إن بين الرجل وبين الشرك والكفر ترك الصلاة ". “Sesungguhnya ( batas pemisah ) antara seseorang dengan kemusyrikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat.” ( HR. Muslim, dalam kitab al iman ). 2- Diriwayatkan dari Buraidah bin Al Hushaib rodhiallohu ‘anhu, ia berkata : aku mendengar Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda : " العهد الذي بيننا وبينهم الصلاة فمن تركها فقد كفر ". “Perjanjian antara kita dan mereka adalah shalat, barang siapa yang meninggalkannya maka benar benar ia telah kafir.” ( HR. Abu Daud, Turmudzi, An Nasai, Ibnu Majah dan Imam Ahmad ). Yang dimaksud dengan kekafiran di sini adalah kekafiran yang menyebabkan keluar dari Islam, karena Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam menjadikan shalat sebagai batas pemisah antara orang orang mu’min dan orang orang kafir, dan hal ini bisa diketahui secara jelas bahwa aturan kafir tidak sama dengan aturan Islam, karena itu, barang siapa yang tidak melaksanakan perjanjian ini maka dia termasuk golongan orang kafir. 3- Diriwayatkan dalam shoheh Muslim, dari Ummu Salamah Radliallahu anha, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda : " ستكون أمـراء ، فتعرفون وتنكـرون ، فمن عرف برئ ، ومن أنكـر سلم ، ولكن من رضي وتابع ، قالوا : أفلا نقاتلهم ؟ قال : لا ما صلوا ". “Akan ada para pemimpin, dan diantara kamu ada yang mengetahui dan menolak kemungkaran kemungkaran yang dilakukan, barang siapa yang mengetahui bebaslah ia, dan barang siapa yang menolaknya selamatlah ia, akan tetapi barang siapa yang rela dan mengikuti, ( tidak akan selamat ), para sahabat bertanya : bolehkah kita memerangi mereka ?, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam menjawab :” Tidak, selama mereka mengerjakan shalat.” 4- Diriwayatkan pula dalam shaheh Muslim, dari Auf bin Malik rodhiallohu ‘anhu ia berkata : Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda : " خيار أئمتكم الذين تحبونهم ويحبونكم، ويصلون عليكم وتصلون عليهم، وشرار أئمتكم الذين تبغضونهم ويبغضونكم، وتلعنونهم ويلعنونكم، قيل: يا رسـول الله، أفلا ننابذهم بالسيف ؟ قال : لا، ما أقاموا فيكم الصلاة ". “Pemimpinmu yang terbaik ialah mereka yang kamu sukai dan merekapun menyukaimu, serta mereka mendoakanmu dan kamupun mendoakan mereka, sedangkan pemimpinmu yang paling jahat adalah mereka yang kamu benci dan merekapun membencimu, serta kamu melaknati mereka dan merekapun melaknatimu, beliau ditanya : ya Rasulallah, bolehkan kita memusuhi mereka dengan pedang ?, beliau menjawab :” tidak, selama mereka mendirikan shalat dilingkunganmu.” Kedua hadits yang terahir ini menunjukkan bahwa boleh memusuhi dan memerangi para pemimpin dengan mengangkat senjata bila mereka tidak mendirikan shalat, dan tidak boleh memusuhi dan memerangi para pemimpin, kecuali jika mereka melakukan kakafiran yang nyata, yang bisa kita jadikan bukti dihadapan Allah nanti, berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ubadah bin Ash Shamit rodhiallohu ‘anhu : دعانا رسول الله صلى الله عليه وسلم، فبايعناه ، فكان فيما أخذ علينا أن بايعنا على السمع والطاعة في منشطنا ومكرهنا وعسرنا ويسرنا وأثرة علينا ، وأن لا ننازع الأمـر أهله، قال : إلا أن تروا كفرا بواحا عندكم من الله فيه برهان. “Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam telah mengajak kami, dan kamipun membaiat beliau, diantara bai’at yang diminta dari kami ialah hendaklah kami membai’at untuk senantiasa patuh dan taat, baik dalam keadaan senang maupun susah, dalam kesulitan maupun kemudahan, dan mendahulukannya atas kepentingan dari kami, dan janganlah kami menentang orang yang telah terpilih dalam urusan ( kepemimpinan ) ini, sabda beliau :” kecuali jika kamu melihat kekafiran yang terang terangan yang ada buktinya bagi kita dari Allah.” Atas dasar ini, maka perbuatan mereka meninggalkan shalat yang dijadikan oleh Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam sebagai alasan untuk menentang dan memerangi mereka dengan pedang adalah kekafiran yang terang terangan yang bisa kita jadikan bukti dihadapan Allah nanti. ***** Tidak ada satu nash pun dalam Al Qur’an ataupun As Sunnah yang menyatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat itu tidak kafir, atau dia adalah mu’min. kalaupun ada hanyalah nash nash yang menunjukkan keutamaan tauhid, syahadat “La ilaha Illallah wa anna Muhammad Rasulullah”, dan pahala yang diperoleh karenanya, namun nash nash tersebut muqoyyad (dibatasi ) oleh ikatan ikatan yang terdapat dalam nash itu sendiri, yang dengan demikian tidak mungkin shalat itu ditinggalkan, atau disebutkan dalam suatu kondisi tertentu yang menjadi alasan bagi seseorang untuk meninggalkan shalat, atau bersifat umum sehingga perlu difahami menurut dalil dalil yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan shalat, sebab dalil dalil yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan shalat bersifat khusus, sedangkan dalil yang khusus itu harus didahulukan dari pada dalil yang umum. Jika ada pertanyaan : apakah nash nash yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan shalat itu tidak boleh diberlakukan pada orang yang meninggalkannya karena mengingkari hukum kewajibannya ? Jawab : tidak boleh, karena hal itu akan mengakibatkan dua masalah yang berbahaya : Pertama : menghapuskan atribut yang telah ditetapkan oleh Allah dan dijadikan sebagai dasar hukum. Allah telah menetapkan hukum kafir atas dasar meninggalkan shalat, bukan atas dasar mengingkari kewajibannya, dan menetapkan persaudaraan seagama atas dasar mendirikan shalat, bukan atas dasar mengakui kewajibannya, Allah tidak berfirman :” jika mereka bertaubat dan mengakui kewajiban shalat”, Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam pun tidak bersabda :” batas pemisah antara seseorang dengan kemusyrikan dan kekafiran adalah mengingkari kewajiban shalat”, atau “perjanjian antara kita dan mereka ialah pengakuan terhadap kewajiban shalat, barang siapa yang mengingkari kewajibannya maka dia telah kafir”. Seandainya pengertian ini yang dimaksud oleh Allah subhaanahu wa ta’aala dan Rasul-Nya, maka tidak menerima pengertian yang demikian ini berarti menyalahi penjelasan yang dibawa oleh Al Qur’an. Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman : ونزلنا عليك تبيانا لكل شيء . “Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab ( Al Qur’an ) untuk menjelaskan segala sesuatu …” ( QS. An Nahl, 89 ). وأنزلنا إليك الذكر لتبين للناس ما نزل إليهم . “Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab ( Al Qur’an ) agar kamu menerangkan kepada umt manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka …” ( QS. An Nahl, 44 ). Kedua : menjadikan atribut yang tidak ditetapkan oleh Allah sebagai landasan hukum. Mengingkari kewjiban shalat lima waktu tentu menyebabkan kekafiran bagi pelakunya, tanpa alasan karena tidak mengetahuinya, baik dia mengerjakan shalat atau tidak mengerjakannya. Kalau ada seseorang yang mengerjakan shalat lima waktu dengan melengkapi segala syarat, rukun, dan hal hal yang wajib dan sunnah, namun dia mengingkari kewajiban shalat tersebut, tanpa ada suatu alasan apapun, maka orang tersebut kafir, sekalipun dia tidak meninggalkan shalat. Dengan demikian jelaslah bahwa tidak benar jika nash nash tersebut dikenakan pada orang yang meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya, yang benar ialah bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir dengan kekafiran yang menyebabkannya keluar dari Islam, sebagaimana secara tegas dinyatakan dalam salah satu hadits riwayat Ibnu Abi Hatim dalam kitab Sunan, dari Ubadah bin Shamit rodhiallohu ‘anhu ia berkata : Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam telah berwasiat kepada kita : " لا تشركوا بالله شيئا ، ولا تتركوا الصلاة عمدا ، فمن تركها عمدا متعمدا فقد خرج من الملة ". “Janganlah kamu berbuat syirik kepada Allah sedikitpun, dan janganlah kamu sengaja meninggalkan shalat, barang siapa yang benar benar dengan sengaja meninggalkan shalat maka ia telah keluar dari Islam”. Demikian pula jika hadits ini kita kenakan pada orang yang meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya, maka penyebutan kata “shalat” secara khusus dalam nash nash tersebut tidak ada gunanya sama sekali. Hukum ini bersifat umum, termasuk zakat, puasa, dan haji, barang siapa yang meninggalkan salah satu kewajiban tersebut karena mengingkari kewajibannya, maka ia kafir, jika tanpa alasan karena tidak mengetahui. Karena orang yang meninggalkan shalat adalah kafir menurut dalil sam’i atsari ( Al Qur’an dan As Sunnah ), maka menurut dalil aqli nadzari ( logika ) pun demikian. Bagaimana seseorang dikatakan mempunyai iman, sementara dia meninggalkan shalat yang merupakan sendi agama, dan pahala yang dijanjikan bagi orang yang mengerjakannya menuntut kepada setiap orang yang berakal dan beriman untuk segera melaksanakan dan mengerjakannya, serta ancaman bagi orang yang meninggalkannya menuntut kepada setiap orang yang berakal dan beriman untuk tidak meninggalkan dan melalaikannya. Dengan demikian, apabila seseorang meninggalkan shalat, berarti tidak ada lagi iman yang tersisa pada dirinya. Jika ada pertanyaan : apakah kekafiran bagi orang yang meninggalkan shalat tidak dapat diartikan sebagai kufur ni’mat, bukan kufur millah ( yang mengeluarkan pelakunya dari agama Islam ), atau diartikan sebagai kekafiran yang tingkatannya dibawah kufur akbar, seperti kekafiran yang disebutkan dalam hadits dibawah ini, yang mana Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda : " اثنان بالناس هما بهم كفر : الطعن في النسب ، والنياحة على الميت ". “Ada dua perkara terdapat pada manusia, yang keduanya merupakan suatu kekafiran bagi mereka, yaitu : mencela keturunan dan meratapi orang mati”. " سباب المسلم فسوق ، وقتاله كفر ". “Menghina seorang muslim adalah kefasikan, dan memeranginya adalah kekafiran”. Jawab : pengertian seperti ini dengan mengacu pada contoh tersebut tidak benar, karena beberapa alasan : Pertama : bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam telah menjadikan shalat sebagai batas pemisah antara kekafiran dan keimanan, antara orang orang mu’min dan orang orang kafir, dan batas ialah yang membedakan apa saja yang dibatasi, serta memisahkannya dari yang lain, sehingga kedua hal yang dibatasi berlainan, dan tidak bercampur antara yang satu dengan yang lain. Kedua : shalat adalah salah satu rukun Islam, maka penyebutan kafir terhadap orang yang meninggalkannya berarti kafir dan keluar dari Islam, karena dia telah menghancurkan salah satu sendi Islam, berbeda halnya dengan penyebutan kafir terhadap orang yang mengerjakan salah satu macam perbuatan kekafiran. Ketiga : di sana ada nash nash lain yang menunjukkan bahwa oang yang meninggalkan shalat adalah kafir, yang dengan kekafirannya menyebabkan ia keluar dari Islam. Oleh karena itu kekafiran ini harus difahami sesuai dengan arti yang dikandungnya, sehingga nash nash itu akan sinkron dan harmonis, tidak saling bertentangan. Keempat : penggunaan kata kufur berbeda beda, tentang meninggalkan shalat beliau bersabda : " إن بين الرجل وبين الشرك والكفر ترك الصلاة ". “Sesungguhnya ( batas pemisah ) antara seseorang dengan kemusyrikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat.” ( HR. Muslim, dalam kitab al iman ). Di sini digunakan artikel “ al ”, dalam bentauk ma’rifah ( definite ), yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan kufur di sini adalah kekafiran yang sebenarnya, berbeda dengan penggunaan kata kufur secara nakirah ( indefinite ), atau “kafara” sebagai kata kerja, atau bahwa dia telah melakukan suatu kekafiran dalam perbuatan ini, bukan kekafiran mutlak yang menyebabkan keluar dari Islam. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya yang bernama Iqtidha ashshirath al mustaqim cetakan As Sunnah al Muhammadiyah, hal 70, ketika menjelaskan sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam : اثنان في الناس هما بهم كفر ... ” Ia mengatakan : sabda Nabi “ Keduanya merupakan kekafiran” artinya : kedua sifat ini adalah suatu kekafiran yang masih terdapat pada manusia, jadi, kedua sifat ini adalah suatu kekafiran, karena sebelum itu keduanya termasuk perbuatan perbuatan kafir, tetapi masih terdapat pada manusia. Namun, tidak berarti bahwa setiap orang yang terdapat pada dirinya salah satu bentuk kekafiran dengan sendirinya menjadi kafir karenanya secara mutlak, sehingga terdapat pada dirinya hakekat kekafiran. Begitu pula, tidak setiap orang yang terdapat dalam dirinya salah satu bentuk keimanan dengan sendirinya menjadi mu’min. Penggunaan kata “ Al Kufr ” dalam bentuk ma’rifah ( dengan artikel “ al”) sebagaimana disebut dalam sabda Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam : " إن بين الرجل وبين الشرك والكفر ترك الصلاة ". “Sesungguhnya ( batas pemisah ) antara seseorang dengan kemusyrikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat.” ( HR. Muslim, dalam kitab al iman ). Berbeda dengan kata “ Kufr ” dalam bentuk nakirah ( tanpa artikel “ al ” ) yang digunakan dalam kalimat positif. ***** Apabila sudah jelas bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, keluar dari Islam, berdasarkan dalil dalil ini, maka yang benar adalah pendapat yang dianut oleh Imam Ahmad bin Hanbal, yang juga merupakan salah satu pendapat Imam Asy Syafii, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya tentang firman Allah subhaanahu wa ta’aala : فخلف من بعدهم خلف أضاعوا الصلاة واتبعوا الشهوات فسوف يلقـون غيا إلا من تاب وآمن وعمل صالحا فأولئك يدخلون الجنة ولا يظلمون شيئا . “Lalu datanglah sesudah mereka pengganti ( yang jelek ) yang menyia nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan, kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal shaleh, maka mereka itu akan masuk surga dan tidak akan dirugikan sedikitpun.” (QS. Maryam, 59-60 ). Disebutkan pula oleh Ibnu Al Qoyyim dalam “ Kitab Ash Shalat ” bahwa pendapat ini merupakan salah satu dari dua pendapat yang ada dalam madzhab Syafi’i,Ath Thahaqi pun menukilkan demikian dari Imam Syafii sendiri. Dan pendapat inilah yang dianut oleh mayoritas sahabat, bahkan banyak ulama yang menyebutkan bahwa pendapat ini merupakan ijma’ (consensus) para sahabat. Abdullah bin Syaqiq mengatakan :” para sahabat Nabi berpendapat bahwa tidak ada satupun amal yang bila ditinggalkan menyebabkan kafir, kecuali shalat.” ( diriwayatkan oleh Turmudzi dan Al Hakim menyatakannya shahih menurut persyaratan Imam Bukhori dan Muslim ). Ishaq bin Rahawaih, seorang Imam terkenal mengatakan : “telah dinyatakan dalam hadits shohih dan Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, dan demikianlah pendapat yang dianut oleh para ulama sejak zaman Nabi sampai sekarang ini, bahwa orang yang sengaja meninggalkan shalat tanpa ada suatu halangan sehingga lewat waktunya adalah kafir.” Dituturkan oleh Ibnu Hazm bahwa pendapat tersebut telah dianut oleh Umar, Abdurrahman bin Auf, Muadz bin Jabal, Abu Hurairah, dan para sahabat lainnya, dan ia berkata : “ dan sepengetahuan kami tidak ada seorang pun diantara sahabat Nabi yang menyalahi pendapat mereka ini ”, keterangan Ibnu Hazm ini telah dinukil oleh Al Mundziri dalam kitabnya At Targhib Wat Tarhib, dan ada tambahan lagi dari para sahabat yaitu Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, Jabir bin Abdillah, Abu Darda’ rodhiallohu ‘anhu, ia berkata lebih lanjut : “ dan diantara para ulama yang bukan dari sahabat adalah Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih, Abdullah bin Al Mubarak, An Nakhoi, Al Hakam bin Utbaibah, Ayub As Sikhtiyani, Abu Daud At Thayalisi, Abu Bakar bin Abi Syaibah, Zuhair bin Harb, dan lain lainnya.” Jika ada pertanyaan : apakah jawaban atas dalil dalil yang dipergunakan oleh mereka yang berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat itu tidak kafir ? Jawab : Tidak disebutkan dalam dalil dalil ini bahwa orang yang meninggalkan shalat itu tidak kafir, atau mu’min, atau tidak masuk neraka, atau masuk sorga, dan yang semisalnya. Siapapun yang memperhatikan dalil dalil itu dengan seksama pasti akan menemukan bahwa dalil dalil itu tidak keluar dari lima bagian dan kesemuanya tidak bertentangan dengan dalil dalil yang dipergunakan oleh mereka yang berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir. Bagian pertama : hadits hadits dhaif dan tidak jelas, orang yang menyebutkannya berusaha untuk dapat dijadikan sebagai landasan hukum, namun tetap tidak membawa hasil. Bagian kedua : pada dasarnya, tidak ada dalil yang menjadi pijakan pendapat yang mereka anut dalam masalah ini, seperti dalil yang digunakan oleh sebagian orang, yaitu firman Allah subhaanahu wa ta’aala : إن الله لا يغفر أن يشرك به ويغفر ما دون ذلك لمن يشاء . “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari ( syirik ) itu.” ( QS. An Nisa’, 48). Firman Allah “ ما دون ذلك ” artinya : “dosa dosa yang lebih kecil dari pada syirik ”, bukan “ dosa yang selain syirik ”, berdasarkan dalil bahwa orang yang mendustakan apa yang diberitakan Allah dan RasulNya adalah kafir, dengan kekafiran yang tidak diampuni, sedangkan dosa orang yang meninggalkan shalat tidak termasuk syirik. Andaikata kita menerima bahwa firman Allah “ ما دون ذلك ” artinya adalah “dosa dosa selain syirik”, niscaya inipun termasuk dalam bab Al Amm Al Makhsus ( dalil umum yang bersifat husus ), dengan adanya nash nash lain yang menunjukkan adanya kekafiran yang menyebabkan keluar dari Islam termasuk dosa yang tidak diampuni, sekalipun tidak termasuk syirik. Bagian ketiga : dalil umum yang bersifat husus, dengan hadits hadits yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan shalat. Contohnya : sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam dalam hadits yang dituturkan oleh Mu’adz bin Jabal rodhiallohu ‘anhu : " ما من عبد يشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا عبده ورسوله إلا حرمه الله على النار ". “Tidak ada seorang hamba yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusanNya, kecuali Allah haramkan ia dari api neraka.” Inilah salah satu lafadznya, dan diriwayatkan pula dengan lafadz seperti ini dari Abu Hurairah, Ubadah bin Shamit dan Atban bin Malik radhiyallohu ‘anhu. Bagian keempat : dalil umum yang muqoyyad ( dibatasi ) oleh suatu ikatan yang tidak mungkin baginya meninggalknan shalat. Contohnya : sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam dalam hadits yang dituturkan oleh Itban bin Malik rodhiallohu ‘anhu : " ما من أحد يشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله صدقا من قلبه إلا حرمه الله على النار ". “Tidak ada seorang hamba yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah, dengan ihlas dalam hatinya ( semata mata karena Allah ), kecuali Allah haramkan ia dari api neraka.” Dan sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam dalam hadits yang dituturkan oleh Mu’adz bin Jabal rodhiallohu ‘anhu : " ما من أحد يشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله صدقا من قلبه إلا حرمه الله على النار ". “Tidak ada seorang hamba yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah, dengan ihlas dalam hatinya ( semata mata karena Allah ), kecuali Allah haramkan ia dari api neraka.”( HR. Bukhori). Dengan dibatasinya pernyataan dua kalimat syahadat oleh keihlasan niat dan kejujuran hati, menunjukkan bahwa shalat tidak mungkin akan ditinggalkan, karena siapapun yang jujur dan ihlas dalam pernyataannya niscaya kejujuran dan keihlasannya akan mendorong dirinya untuk melaksanakan shalat, dan tentu saja, karena shalat merupakan sendi Islam, serta media komunikasi antara hamba dan Tuhan. Maka apabila ia benar benar mengharapkan perjumpaan dengan Allah, tentu akan berbuat apapun yang dapat menghantarkannya ke tujuannya itu, dan menjauhi apa yang menjadi pengahalangnya. Demikian pula orang yang mengucapkan kalimat “La Ilaha Illallah wa anna Muhammad Rasulullah” secara jujur dari lubuk hatinya, tentu kejujurannya itu akan mendorong dirinya untuk melaksanakan shalat dengan ikhlas semata mata karena Allah, dan mengikuti tuntunan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam, karena hal itu termasuk syarat syarat syahadat yang benar. Bagian kelima : dalil yang disebutkan secara muqoyyad (dibatasi ) oleh suatu kondisi yag menjadi alasan bagi seseorang untuk meninggalkan shalat. Contohnya : hadits riwayat Ibnu Majah, dari Hudzaifah bin Al Haman, ia menuturkan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda : " يدرس الإسلام كما يدرس وشي الثوب " وفيه " وتبقى طوائف من الناس الشيخ الكبير والعجوز يقولون : أدركنا آباءنا على هذه الكلمة لا إله إلا الله فنحن نقولها ". “Akan hilang Islam ini sebagaimana akan hilang ornamen yang terdapat pada pakaian”… “dan tinggallah beberapa kelompok manusia, yaitu kaum lelaki dan wanita yang tua renta, mereka berkata :”kami mendapatkan orang tua kami hanya menganut kalimat “La Ilaha Illallah” ini, maka kamipun menyatakannya ( seperti mereka ).” Shilah berkata kepada Hudzaifah :” Tidak berguna bagi mereka kalimat “La Ilah Illallah”, bila mereka tidak tahu apa itu shalat, apa itu puasa, apa itu haji, apa itu zakat.”, maka Hudzaifah rodhiallohu ‘anhu memalingkan mukanya dengan menjawab :” wahai Shilah, kalimat itu akan menyelamatkan mereka dari api neraka”, berulangkali dia katakan seperti itu kepada Shilah, dan ketiga kalinya dia mengatakan sambil menatapnya. Orang orang yang selamat dari api neraka dengan kalimat syahadat saja, mereka itu dimaafkan untuk tidak melaksanakan syariat Islam, karena mereka sudah tidak mengenalnya, sehingga apa yang mereka kerjakan hanyalah apa yang mereka dapatkan saja, kondisi mereka adalah serupa dengan kondisi orang yang meninggal dunia sebelum diperintahkannya syariat, atau sebelum mereka mendapat kesempatan untuk mengerjakan syariat, atau orang yang masuk Islam di negara kafir tetapi sebelum sempat mengenal syariat ia meninggal dunia. Kesimpulannya, bahwa dalil-dalil yang dipergunakan oleh mereka yang berpendapat bahwa tidak kafir orang yang tidak shalat atau meninggalkannya, tidak dapat melemahkan dalil dalil yang dipergunakan oleh mereka yang berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, karena dalil dalil yang mereka pergunakan itu dhaif, dan tidak jelas, atau sama sekali tidak membuktikan kebenaran pendapat mereka, atau dibatasi oleh suatu ikatan yang dengan demikian tidak mungkin shalat itu ditinggalkan, atau dibatasi oleh suatu kondisi yang menjadi alasan untuk meninggalkan shalat, atau dalil umum yang bersifat husus dengan adanya nash nash yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan shalat. Dengan demikian jelaslah bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, berdasarkan dalil yang kuat yang tidak dapat disanggah dan disangkal lagi, untuk itu harus dikenakan kepadanya konsekwensi hukum karena kekafiran dan riddah ( keluar dari Islam ), sesuai dengan prinsip “hukum itu dinyatakan ada atau tidak ada mengikuti ilat ( alasan) nya”. KONSEKWENSI HUKUM KARENA RIDDAH YANG DISEBABKAN KARENA MENINGGALKAN SHALAT ATAU SEBAB YANG LAINNYA Ada beberapa kosekwensi hukum baik yang bersifat duniawi, maupun ukhrawi, yang terjadi karena riddah ( keluar dari Islam ) : PERTAMA : KONSEKWENSI HUKUM YANG BERSIFAT DUNIAWI : 1- Kehilangan haknya sebagai wali. Oleh karena itu, dia tidak boleh sama sekali dijadikan wali dalam perkara yang memerlukan persyaratan kewalian dalam Islam, dengan demikian, ia tidak boleh dijadikan wali untuk anak anaknya atau selain mereka, dan tidak boleh menikahkan salah seorang putrinya atau putri orang lain yang dibawah kewaliannya. Para ulama fiqh kita - Rahimahumullah – telah menegaskan dalam kitab kitab mereka yang kecil maupun besar, bahwa disyaratkan beragama islam bagi seorang wali apabila mengawinkan wanita muslimah, mereka berkata : “ tidak sah orang kafir menjadi wali untuk seorang wanita muslimah.” Ibnu Abbas rodhiallohu ‘anhu berkata : “ Tidak sah suatu pernikahan kecuali disertai dengan seorang wali yang bijaksana, dan kebijaksanaan yang paling agung dan luhur adalah agama Islam, sedang kebodohan yang paling hina dan rendah adalah kekafiran, kemurtaddan dari Islam. Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman : ومن يرغب عن ملة إبراهيم إلا من سفه نفسه . “Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri …” ( QS. Ibrahim, 130 ). 2- Kehilangan haknya untuk mewaris harta kerabatnya. Sebab orang kafir tidak boleh mewarisi harta orang Islam, begitu pula orang Islam tidak boleh mewarisi harta orang kafir, berdasarkan hadits Nabi yang diriwayatkan dari Usamah bin Zaid rodhiallohu ‘anhu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda : " لا يرث المسلم الكافر ولا الكافر المسلم ". “Tidak boleh seorang muslim mewarisi orang kafir, dan tidak boleh orang kafir mewarisi orang muslim.” ( HR. Bukhori dan Muslim ). 3- Dilarang baginya untuk memasuki kota Makkah dan tanah haramnya. Berdasarkan firman Allah subhaanahu wa ta’aala : يا أيها الذين آمنوا إنما المشركون نجس فلا يقرب المسجد الحرام بعد عامهم هذا . “Hai orang orang yang beriman, sesungguhnya orang orang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Al Masjidil Haram sesudah tahun ini …” ( QS. At Taubah, 28 ). 4- Diharamkan makan hewan sembelihannya. Seperti onta, sapi, kambing, dan hewan lainnya, yang termasuk syarat dimakannya adalah sembelih, karena salah satu syarat penyembelihannya adalah bahwa penyembelihnya harus seorang muslim atau ahli kitab ( Yahudi dan Nasrani ), adapun orang murtad, paganis, majusi, dan sejenisnya, maka sembelihan mereka tidak halal. Al Khazin dalam kitab tafsirnya mengatakan : “Para ulama telah sepakat bahwa sembelihan orang orang majusi dan orang orang musyrik seperti kaum musyrikin arab, para penyembah berhala, dan mereka yang tidak mempunyai kitab, haram hukumnya.” Dan Imam Ahmad mengatakan : “Setahu saya, tidak ada seorangpun yang berpendapat selain demikian, kecuali orang orang ahli bid’ah.” 5- Tidak boleh dishalatkan jenazahnya dan tidak boleh dimintakan ampunan dan rahmat untuknya. Berdasarkan firman Allah subhaanahu wa ta’aala : ولا تصـل على أحد منهم مات أبدا ولا تقـم على قبـره إنهم كفروا بالله ورسوله وماتوا وهم فاسقون . “Dan janganlah kamu sekali kali menshalatkan ( jenazah ) seorang yang mati diantara mereka, dan janganlah kamu berdiri ( mendoakan ) di kuburannya, sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan RasulNya, dan mereka mati dalam keadaan fasik.” ( QS. At Taubah, 84). Dan firmanNya : ما كان للنبي والذين آمنوا أن يستغفروا للمشركين ولو كانوا أولي قربى من بعد ما تبين لهم أنهم أصحاب الجحيم . وما كان استغفار إبراهيم لأبيه إلا عن موعدة وعدها إياه ، فلما تبين له أنه عدو لله تبرأ منه إن إبراهيم لأواه حليم . “Tidak sepatutnya bagi Nabi dan orang orang yang beriman memintakan ampun ( kepada Allah ) bagi orang orang musyrik, walaupun mereka itu adalah kaum kerabatnya, sesudah jelas bagi mereka bahwa orang orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahim, dan permintaan ampun dari Ibrahim ( kepada Allah ) untuk bapaknya, tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu, tetapi ketika jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka berlepas diri darinya, sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.” Doa seseorang untuk memintakan ampun dan rahmat untuk orang yang mati dalam keadaan kafir, apapun sebab kekafirannya, adalah pelanggaran dalam doa, dan merupakan suatu bentuk penghinaan kepada Allah, dan penyimpangan dari tuntunan Nabi dan orang orang yang beriman. Bagaimana mungkin orang yang beriman kepada Allah dan hari kiamat mau mendoakan orang yang mati dalam keadaan kafir, agar diberi ampun dan rahmat, padahal dia adalah musuh Allah ? sebagaimana firman Allah subhaanahu wa ta’aala : من كان عدوا لله وملائكته ورسله وجبريل وميكال فإن الله عدو للكافرين . “Barang siapa yang menjadi musuh Allah, Malaikat malaikat-Nya, Rasul rasul-Nya, Jibril dan Mikail, maka sesungguhnya Allah adalah musuhnya orang orang kafir.” ( QS. At Taubah, 98 ). Dalam ayat ini, Allah telah menjelaskan bahwa Dia adalah musuh nya semua orang orang kafir. Yang wajib bagi orang mu’min ialah melepaskan diri dari setiap orang kafir, karena firman Allah subhaanahu wa ta’aala : وإذ قال إبراهيم لأبيه وقومه إنني براء مما تعبدون إلا الذي فطرني فإنه سيهدين . “Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapak dan kaumnya : “Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu sembah, kecuali Tuhan yang menjadikanku, karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku.” ( QS. Az Zukhruf, 26 –27 ). Dan firmanNya : قد كانت لكم أسوة حسنة في إبراهيم والذين معه إذ قالوا لقوهم إنا برءاؤ منكم ومما تعبدون من دون الله كفرنا بكم وبدا بيننا وبينكم العـداوة والبغضاء أبدا حتى تؤمنوا بالله وحده . “Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang orang yang bersama dengan dia, ketika mereka berkata kepada kaum mereka : “sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari ( kekafiran ) mu, dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja …” ( QS. Al Mumtahanah, 4 ). Untuk mencapai demikian adalah dengan mutaba’ah ( meneladani ) Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam, Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman : وأذان من الله ورسوله إلى الناس يوم الحج الأكبر أن الله بريء من المشركين ورسوله “Dan ( inilah ) suatu permakluman dari Allah dan RasulNya kepada umat manusia pada hari haji akbar bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang orang musyrik .” (QS. At Taubah, 3 ). 6- Dilarang menikah dengan wanita muslimah. Karena dia kafir, dan orang kafir tidak boleh menikahi wanita muslimah, berdasarkan nash dan ijma’. Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman : يا أيها الذين آمنوا إذا جاءكم المؤمنـات مهاجـرات فامتحنوهن الله أعلم بإيمانهـن فإن علمتموهـن مؤمنات فلا ترجـعوهن إلى الكفار لا هن حل لهم ولا هم يحلون لهن . “Hai orang orang yang beriman, apabila perempuan perempuan yang beriman datang berhijrah kepadamu, maka hendaklah kamu uji ( keimanan ) mereka, Allah lebih mengetahui tentang mereka, jika kamu telah mengetahui bahwa mereka ( benar benar ) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka ) orang orang kafir, mereka tidak halal bagi orang orang kafir itu, dan orang orang kafir itu tidak halal bagi mereka …”( QS. Al Mumtahanah, 10 ). Dikatakan dalam kitab Al Mughni, jilid 6, hal 592 : “Semua orang kafir, selain Ahli kitab, tidak ada perbedaan pendapat diantara para ulama, bahwa wanita wanita dan sembelihan sembelihan mereka haram bagi orang Islam …, dan wanita wanita yang murtad ( keluar dari Islam ) ke agama apapun haram untuk dinikahi, karena dia tidak diakui sebagai pemeluk agama baru yang dianutnya itu, sebab kalau diakui sejak semula sebagai pemeluk agama itu, maka kemungkinan bisa dihalalkan.” ( seperti wanita yang berpindah dari agama Islam ke agama ahli kitab, maka diharamkan untuk dinikahi, tetapi bila wanita itu sejak semula telah memeluk agama ahli kitab ini, maka dihalalkan untuk dinikahi, pent ). Dan disebutkan dalam bab “ orang murtad ”, jilid 8, hal 130 : “Jika dia kawin, tidak sah perkawinannya, karena tidak ditetapkan secara hukum untuk menikah, dan selama tidak ada ketetapan hukum untuk pernikahannya, dilarang pula pelaksanaan pernikahannya, seperti pernikahan orang kafir dengan wanita muslimah.” Sebagaimana diketahui, telah dikemukakan dengan jelas, bahwa dilarang menikah dengan wanita yang murtad, dan tidak sah kawin dengan laki laki yang murtad. Dikatakan pula dalam kitab Al-Mughni, jilid 6, hal 298 : “apabila salah soerang dari suami istri murtad sebelum sang istri digauli, maka batallah pernikahan mereka seketika itu, dan masing masing pihak tidak berhak untuk mewarisi yang lain, namun, jika murtad setelah digauli maka dalam hal ini ada dua riwayat : pertama : segera dipisahkan, kedua : ditunggu sampai habis masa iddah.” Dan disebutkan dalam Al-Mughni, jilid 6, hal 639 : “Batalnya pernikahan karena riddah sebelum sang istri digauli adalah pendapat yang dianut oleh mayoritas para ulama, berdasarkan banyak dalil, adapun bila terjadi setelah digauli, maka batallah pernikahan seketika itu juga, menurut pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah, dan menurut pendapat Imam Syafii : ditunggu sampai habis masa iddahnya, dan menurut Imam Ahmad ada dua riwayat seperti kedua madzhab tersebut.” Kemudian disebutkan pula pada halaman 640 : “apabila suami istri itu sama sama murtad, maka hukumnya adalah seperti halnya apabila salah satu dari keduanya murtad, jika terjadi sebelum digauli, segera diceraikan antara keduanya. Dan jika terjadi sesudahnya, apakah segera diceraikan atau menunggu sampai habis masa iddah ? ada dua riwayat, dan inilah madzhab Syafi’i. Selanjutnya disebutkan bahwa menurut Imam Abu Hanifah, pernikahannya tidaklah batal berdasarkan istihsan ( kebijaksanaan yang diambil berdasarkan suatu pertimbangan tertentu, tanpa mengacu kepada nash secara khusus, pent ), karena dengan demikian, agama mereka berbeda, sehingga ibaratnya seperti kalau mereka sama sama beragama Islam. Kemudian analogi yang digunakan itu disanggah oleh penulis al Mughni dari segala segi dan aspeknya. Apabila telah jelas dan nyata bahwa pernikahan orang murtad dengan laki laki atau perempuan yang beragama Islam itu tidak sah, berdasarkan dalil Al Qur’an dan As Sunnah, dan orang yang meninggalkan shalat adalah kafir berdasarkan dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah serta pendapat para sahabat, maka jelaslah bagi kita bahwa seseorang apabila tidak shalat, dan mengawini seorang wanita muslimah, maka pernikahannya tidak sah, dan tidak halal baginya wanita itu dengan akad nikah ini, begitu pula hukumnya apabila pihak wanita yang tidak shalat. Hal ini berbeda dengan pernikahan orang orang kafir, ketika masih dalam keadaan kafir, seperti seorang laki laki kafir kawin dengan wanita kafir, kemudian sang istri masuk Islam, jika ia masuk Islam sebelum digauli, maka batallah pernikahan tadi, tapi jika masuk Islam sesudah digauli, belum batal pernikahannya, namun ditunggu : apabila sang suami masuk Islam sebelum habis masa iddah, maka wanita tersebut tetap menjadi istrinya, tetapi apabila telah habis masa iddahnya sang suami belum masuk Islam, maka tidak ada hak baginya terhadap istrinya, karena dengan demikian nyatalah bahwa pernikahannya telah batal, semenjak sang istri masuk Islam. Pada zaman Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam ada sejumlah orang kafir yang masuk Islam bersama istri mereka, dan pernikahan mereka tetap diakui oleh Nabi, kecuali jika terdapat sebab yang mengharamkan dilangsungkannya pernikahan tersebut, seperti apabila suami istri itu berasal dari agama majusi dan terdapat hubungan kekeluargaan yang melarang dilangsungkannya pernikahan di antara keduanya, maka kalau keduanya masuk Islam, diceraikan seketika itu juga antara mereka berdua, karena adanya sebab yang mengharamkan tadi. Masalah ini tidak seperti halnya orang muslim, yang menjadi kafir karena meninggalkan shalat, kemudian kawin dengan seorang wanita muslimah, wanita muslimah itu tidak halal bagi orang kafir berdasarkan nash dan ijma’, sebagaimana telah diuraikan di atas, sekalipun orang itu aslinya kafir bukan karena murtad, untuk itu, jika ada seorang laki laki kafir kawin dengan wanita muslimah, maka pernikahannya batal, dan wajib diceraikan antara keduanya. Apabila laki laki itu masuk Islam dan ingin kembali kepada wanita tersebut, maka harus dengan akad nikah yang baru. 7- Hukum anak orang yang meninggalkan shalat dari perkawinannya dengan wanita muslimah. Bagi pihak istri, menurut pendapat orang yang mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat itu tidak kafir, maka anak itu adalah anaknya, dan bagaimanapun tetap dinasabkan kepadanya, karena pernikahannya adalah sah. Sedang menurut pendapat yang mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat itu kafir, dan pendapat ini yang benar sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, pada fasal pertama, maka kita tinjau terlebih dahulu : · Jika sang suami tidak mengetahui bahwa pernikahannya batal, atau tidak meyakini yang demikian itu, maka anak itu adalah anaknya, dan dinasabkan kepadanya, karena hubungan suami istri yang dilakukannya dalam keadaan seperti ini adalah boleh menurut keyakinannya, sehingga hubungan tersebut dihukumi sebagai hubungan syubhat ( yang meragukan ), dan karenanya anak tadi tetap diikutkan kepadanya dalam nasab. · Namun jika sang suami itu mengetahui serta meyakini bahwa pernikahannya batal, maka anak itu tidak dinasabkan kepadanya, karena tercipta dari sperma orang yang berpendapat bahwa hubungan yang dilakukannya adalah haram, karena terjadi pada wanita yang tidak dihalalkan baginya. KEDUA : KONSEKWENSI HUKUM YANG BERSIFAT UKHRAWI. 1- Dicaci dan dihardik oleh para malaikat. Bahkan para malaikat memukuli seluruh tubuhnya, dari bagian depan dan belakangnya. Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman : ولو ترى إذ يتوفى الذين كفروا الملائكة يضربون وجوههم وأدبارهم وذوقوا عذاب الحريق ذلك بما قدمت أيديكم وأن الله ليس بظلام للعبيد . “Kalau kamu melihat ketika para malaikat mencabut nyawa orang orang yang kafir, seraya memukul muka dan belakang mereka ( dan berkata ) : “Rasakanlah olehmu siksa nereka yang membakar”, ( tentulah kamu akan merasa ngeri ). Demikian itu disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, sesungguhnya Allah sekali kali tidak menganiaya hambaNya.” ( QS. Al Anfal, 50 –51 ). 2- Pada hari kiamat ia akan dikumpulkan bersama orang orang kafir dan musyrik, karena ia termasuk dalam golongan mereka. Firman Allah subhaanahu wa ta’aala : احشروا الذين ظلموا وأزواجهم وما كانوا يعبدون من دون الله فاهـدوهم إلى صراط الجحيم . “( Kepada para malaikat diperintahkan ) : “Kumpulkanlah orang orang yang dzalim beserta orang orang yang sejenis mereka dan apa apa yang menjadi sesembahan mereka, selain Allah, lalu tunjukkanlah kepada mereka jalan ke neraka.” ( QS. Ash Shaffat, 22 –23 ). Kata “ أزواج ” bentuk jama’ dari “ زوج ” yang berarti : jenis, macam. Yakni : “Kumpulkanlah orang orang yang musyrik dan orang orang yang sejenis mereka, seperti orang orang kafir dan yang dzalim lainnya.” 3- Kekal untuk selama lamanya di alam neraka. Berdasarkan firman Allah subhaanahu wa ta’aala : إن الله لعن الكافـرين وأعد لهم سعيرا خالدين فيها أبدا لا يجدون وليا ولا نصيرا يوم تقلب وجوههم في النار يقولون يا ليتنا أطعنا الله وأطعنا الرسولا . “Sesungguhnya Allah melaknati orang orang kafir dan menyediakan bagi mereka api yang menyala nyala (neraka), mereka kekal di dalamnya selama lamanya, mereka tidak memperoleh seorang pelindungpun dan tidak ( pula ) seorang penolong. Pada hari ketika muka mereka dibolak balikkan dalam neraka, mereka berkata : Alangkah baiknya, andaikata kami taat kepada Allah, dan taat ( pula ) kepada Rasul.” ( QS. Al Ahzab, 64 – 66 ). PENUTUP Hanya sampai di sini apa yang ingin penulis sampaikan, tentang permasalahan yang besar ini, yang telah melanda banyak orang. Pintu taubat masih terbuka bagi siapapun yang hendak bertaubat, karena itu, saudaraku se Islam, segeralah bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan iklas semata mata kepada-Nya, menyesali apa yang telah diperbuat dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi, serta memperbanyak amal ketaatan. Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman : إلا من تاب وعمل عملا صالحا فأولئك يبدل الله سيئاتهم حسنات وكان الله غفورا رحيما ومن تاب وعمل صالحا فإنه يتوب إلى الله متابا . “Kecuali orang orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shaleh, maka kejahatan mereka diganti dengan kebajikan, dan Allah adalah maha pengampun lagi maha penyayang, dan orang yang bertaubat dan mengerjakan amal shaleh, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar benarnya.” ( QS. Al Furqon, 70 – 71 ). Semoga Allah melimpahkan taufikNya kepada kita dalam urusan ini, menunjukkan kepada kita semua jalan-Nya yang lurus, jalan orang orang yang dikaruniai keni’matan oleh Allah, yaitu para Nabi, shiddiqin, syuhada dan shalihin, Bukan jalan orang orang yang dimurkai atau orang orang yang tersesat. Selesai ditulis oleh : Al faqir Ilallahi ta’ala Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin Pada tanggal 23 Shafar 1407 H. (Dinukil dari حكم تارك الصلاة, Edisi Indonesia Hukum orang yang meninggalkan sholat, penulis Syaikh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin rahimahullah) Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=544 Read more: http://abuayaz.blogspot.com/2010/06/hukum-orang-yang-meninggalkan-shalat.html#ixzz1iVfWSJh1